Darren tidak berkata apa-apa setelah itu.
Ia hanya kembali duduk di sudut ruangan, membiarkan keheningan mengisi celah di antara mereka.
Aruna berdiri canggung di dekat pintu, merasa seperti penyusup yang tidak diundang.
Di sekelilingnya, ruangan itu seperti pantulan dunia Darren: dingin, kosong, hampir tak bernyawa.
Dinding abu-abu, sofa hitam yang kaku, dan jendela besar yang bahkan tertutup tirai tebal — menolak cahaya masuk.
Aruna melangkah pelan, seolah takut setiap gerakannya akan memecahkan sesuatu yang rapuh.
Dia melihat sekilas meja di sudut: tumpukan buku tanpa urutan, beberapa sketsa lusuh, dan satu mug kopi yang sudah mengering.
"Aku tidak butuh teman," gumam Darren tanpa menoleh.
Suara itu tidak keras, tapi berat, seperti mengandung sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar penolakan.
Aruna menggigit bibirnya.
"Aku tidak datang untuk menjadi temanmu," jawabnya, setenang mungkin.
"Aku hanya... di sini. Kalau kau butuh sesuatu."
Senyuman tipis, hampir seperti ejekan, muncul di wajah Darren.
"Kalau aku butuh sesuatu, aku akan bilang."
Aruna mengangguk pelan. Ia paham — ini bukan tentang berbicara, ini tentang bertahan.
Darren bukan tembok yang bisa didobrak sekali sentuh. Ia adalah benteng sunyi yang dibangun dari tahun-tahun ketakutan dan kehilangan.
Aruna menarik napas dalam, lalu berjalan menuju kursi di seberang ruangan.
Dia duduk, menjaga jarak. Tidak memaksa, tidak menuntut.
Hanya hadir.
Detik-detik berlalu, terasa berat dan panjang.
Aruna menatap keluar jendela yang tertutup, membiarkan pikirannya mengembara.
Tentang dirinya sendiri.
Tentang kecelakaan itu.
Tentang ayahnya yang kini bahkan tak sanggup memandangnya tanpa kemarahan.
Tentang luka-luka yang tak pernah benar-benar sembuh.
Entah berapa lama, hingga suara Darren kembali terdengar — kali ini lebih pelan, hampir seperti bisikan.
"Kenapa kamu diam saja?"
Aruna menoleh, terkejut.
Darren masih tidak menatapnya. Hanya berbicara ke arah udara.
Aruna mengangkat bahu kecil.
"Aku pikir... kadang diam lebih nyaman daripada kata-kata."
Ada jeda.
Darren tertawa kecil — suara itu terdengar pahit, seperti seseorang yang lupa bagaimana rasanya tertawa.
"Diam tidak pernah nyaman," katanya.
"Hanya lebih mudah."
Aruna menatapnya lama, menghafal siluet lelaki itu di dalam pikirannya.
Patah, tapi masih bertahan.
Luka, tapi tetap berdiri.
Mungkin, pikir Aruna, dalam diam kita memang lebih jujur.
Mungkin dalam diam, luka mereka saling mengenal.