Aruna tidak tahu sudah berapa lama ia duduk di ruangan itu, hanya ditemani suara detik jam yang terdengar terlalu keras di tengah keheningan.
Sesekali matanya melirik ke arah Darren, yang sejak tadi menunduk menatap lantai, seolah mencari jawaban yang tidak pernah ada.
Tidak ada pembicaraan, tidak ada tawa, bahkan tidak ada amarah.
Hanya dua orang asing yang sama-sama patah, duduk dalam sunyi yang berat.
Aruna menggenggam jemari tangannya sendiri, berusaha menahan getaran kecil yang muncul setiap kali Darren bergerak sedikit.
Meski ia tidak menatapnya langsung, kehadiran Darren terasa seperti pusaran energi — begitu rapuh, namun sekaligus begitu menakutkan.
Seperti menginjakkan kaki di danau beku yang retaknya tak terlihat.
Saat Aruna mulai berpikir untuk pamit pulang, suara Darren memecah keheningan.
"Kamu tidak takut?" tanyanya, masih tanpa menatap.
Aruna mengangkat wajahnya, agak kaget.
"Takut?" ia mengulang, perlahan.
"Pada orang seperti aku," lanjut Darren, suara seraknya seakan membawa beban bertahun-tahun.
Ada getir dalam kata-katanya. Bukan arogansi, bukan ancaman.
Tapi ketakutan tulus dari seseorang yang percaya bahwa dirinya pantas ditakuti.
Aruna menghela napas perlahan, sebelum menjawab.
"Aku lebih takut pada orang yang berpura-pura baik," katanya lembut.
"Bukan pada mereka yang jujur menunjukkan lukanya."
Untuk pertama kalinya sejak Aruna datang, Darren menoleh.
Pandangan matanya tajam, tapi kosong, seperti seorang prajurit yang pulang tanpa kemenangan.
Tatapan itu bertahan hanya beberapa detik, tapi cukup bagi Aruna untuk melihat sekilas:
rasa sakit, kehilangan, dan sesuatu yang jauh lebih dalam — rasa bersalah.
Darren membuang muka cepat-cepat, seolah takut Aruna akan melihat terlalu banyak.
Ia menggerakkan jarinya di atas lutut, gelisah.
"Aku... bukan orang yang baik," gumamnya.
Aruna tersenyum kecil, tanpa rasa iba.
"Saya tidak mencari orang baik."
Darren memejamkan mata sejenak, seolah lelah bahkan untuk membantah.
Ia bersandar ke sofa, menutup wajahnya dengan satu tangan.
"Ayahku membayar kamu, ya?" tanyanya kemudian, dingin.
Aruna menegang, namun ia sudah siap dengan pertanyaan itu.
Ia mengangguk, meski tahu Darren mungkin tidak melihatnya.
"Ya," jawab Aruna jujur.
Darren tertawa pendek, sumbang.
"Ya.. dia selalu begitu"
Keheningan lagi.
Tapi kali ini, bukan keheningan yang dingin — melainkan semacam penerimaan getir.
Aruna menatap jari-jarinya sendiri yang terlipat di pangkuan, sebelum akhirnya berbicara.
"Dia... khawatir padamu.
Tapi tidak tahu bagaimana caranya mendekat."
Darren mengerutkan alis, membuka matanya perlahan.
"Jadi dia pikir mengirim orang asing akan membuatku membaik?"
Aruna menggeleng pelan.
"Aku tidak datang untuk membuatmu membaik, Darren," katanya serius.
"Aku datang... hanya untuk berada di sini.
Kalau kamu butuh."
Suasana terasa lebih berat, tapi juga sedikit lebih... manusiawi.
Untuk sesaat, Darren hanya diam, menatap kosong ke arah jendela.
Angin di luar berhembus pelan, menggerakkan tirai berat itu sedikit demi sedikit.
Seolah dunia di luar sana juga berusaha bernafas lebih lembut.
"Kalau aku bilang aku tidak butuh siapa-siapa?"
Suara Darren lirih, hampir tenggelam.
Aruna menatapnya dengan mata yang lembut tapi teguh.
"Aku tetap di sini."
Mata Darren bergetar sesaat, sebelum akhirnya ia memalingkan wajah lagi, membiarkan dirinya kembali tenggelam dalam diam.
Tapi kini ada sesuatu yang berbeda — dinding itu, yang tadi begitu kokoh, mulai memperlihatkan retakan kecil.
Dan Aruna tahu, untuk pertama kalinya, dia diterima... meski hanya sedikit.