02. Kebersamaan yang Tak Terduga

1612 Words
Sandra’s POV Aku bekerja sebagai pelayan di kafetaria di sekitar rumahku. Gajinya cukup baik untuk kebutuhan dan tabunganku, karena Bu Rosa, atasanku juga seorang wanita yang baik. Aku senang memiliki atasan seperti beliau. Ia mengerti akan keadaanku yang saat ini membutuhkan gaji darinya, terkadang dia memberikan makanan atau cemilan kepada staff lainnya setelah cafeteria tutup. Kurasa tidak hanya aku yang merasa dia adalah atasan terbaik. "Ting!" Suara dentingan itu terdengar dengan jelas, yang menandakan hidangan telah selesai. Aku mengambil pesanan meja 40, seperti yang sudah tertulis di sana. Aku masih menempelkan senyumanku di bibirku karena aku sangat menikmati pekerjaanku. Walaupun ini adalah pekerjaan yang biasa saja, namun aku bersyukur aku mendapat pekerjaan sampingan yang gajinya lumayan. Inilah yang membuatku selalu ingin memberikan yang terbaik dalam setiap pekerjaanku. "Permisi," kataku sambil meletakkan piring di meja mereka. Aku tidak sempat melihat wajah para pelangganku ini karena aku terlalu sibuk meletakkan makanan-makanan dan minuman ini ke meja. "Apa itu Sandra?" kata seseorang yang aku kenal suaranya. Aku sempat terdiam untuk sejenak dan ketika aku menoleh, ternyata ada... "Tante Fredela?" ujarku dengan sedikit kaget. "Aku sangat terkejut. Apakah kamu bekerja di sini?" tanyanya. Seperti biasanya, tante Fredela ini sangat cantik walaupun ia memakai pakaian biasa saja. Karena kecantikannya membuatku sedikit gugup karena aku merasa seluruh mata sedang tertuju kepadaku. "Y-ya tante," ujarku dengan gugup. "Sayang, kamu kenal gadis ini?" tanya seorang pria yang duduk di sampingnya, kurasa itu pria itu suaminya. Tunggu, jika pria itu adalah suaminya, berarti pria ini adalah ayahnya Peter? "Ya David, ini Sandra. Gadis yang pernah ku ceritakan, dia ini teman Peter," ujarnya yang kemudian kembali menatapku dengan senyuman, “Peter punya teman perempuan? Sungguh ajaib,” kata Pier, yang membuatku menyadari keberadaannya di sini. Jantungku berdetak sangat kencang ketika aku melihat senyumnya untukku. Aku mengangguk dengan senyuman ramahku padanya. Aku melihat sekitarku dan aku tidak melihat Peter di sini. "Lama tidak bertemu..." sapanya dengan ramah. Tante Fredela dan om David terlihat kaget ketika Pier menyapaku. “Kalian saling mengenal?” tanya tante Fredela kepada kami, “Iya, kami itu satu SMP ma…” jawab Pier kepada mamanya. Pier adalah teman sekelasku ketika kami masih SMP. Dia benar-benar banyak membantuku terutama ketika ujian akan segera dimulai. Sejujurnya, aku baru tahu bahwa Peter dan Pier adalah saudara kembar ketika Pier menjemput Peter di rumahku beberapa hari yang lalu. Mereka sepertinya tidak pernah satu sekolah karena Pier juga kali ini tidak satu sekolah dengan Peter. Mereka bukanlah kembar identik, namun meskipun begitu, ada beberapa bagian dari mereka yang mirip. Oke, jika kita melihat kepada Pier dan Peter, selain memiliki wajah yang berbeda, kepribadian mereka juga berbeda. Pier juga memiliki wajah yang tampan, hanya saja kesan yang mereka tinggalkan kepada orang-orang juga berbeda. Lebih tepatnya, mereka berdua bersaudara yang memiliki pesona berbeda. Aku lebih suka Pier daripada Peter karena Pier bersikap begitu hangat kepada orang-orang, dan juga dia sangat baik. Berbeda dengan Peter yang tampak pendiam dan pasif terhadap orang sekitarnya. Meskipun begitu, tetap saja banyak yang menggilai Peter di sekolah ku. Terdengar lagi sebuah dentingan bel yang membuatku harus segera menyelesaikan tugasku. Dengan sopan aku meminta izin untuk mengundurkan diri dari mereka dan mereka juga mempersilahkanku dengan sopan juga. Dengan segera aku berbalik dan berlari untuk mengambil pesanan yang akan kuantarkan. *** Aku tidak begitu suka olahraga, karena aku benar-benar payah dalam hal itu. Bukan hanya aku, Bianca juga merasakan hal yang sama. Tetapi bagian terbaik dari pelajaran olahraga adalah semua siswa seangkatan dari kelas yang berbeda bergabung bersama. Entah mengapa Bianca tampak bersemangat hari ini, padahal biasanya ia selalu mengeluh ketika pelajaran olahraga dimulai… “Baiklah, mari kita pergi ke lapangan,” ujar Bianca kepadaku dengan semangat. Aku mengangguk dan menjawab,”Oke.” Ketika kami ingin keluar, sekelompok gadis yang berisikan sekitar 3 orang melewatiku dengan sinis. Aku mengabaikannya seolah-olah mereka itu tidak pernah ada. Aku terlalu malas untuk berurusan dengan orang-orang itu. Mengabaikan keberadaan mereka akan menjadi pilihan terbaik jika kau tidak ingin terlibat dengan mereka. Kami berjalan dan akhirnya kami sampai di lapangan sekolah kami. Aku melihat sekelilingku dan aku melihat Peter yang sedang duduk di sudut lapangan olahraga sana. Dia sangat tampan jika dilihat dari samping. Sekali lagi, aku tidak bisa menyangkal ketampanannya, tetapi aku tidak benar-benar mengaguminya sebagai tipe idamanku. Karena pria yang aku sukai adalah... "Berhenti mengabaikan aku!" pekik Bianca dengan kesal. Aku terlalu fokus kepada Peter hingga aku tidak mendengar percakapan Bianca padaku. Ketika pak Rio, guru olahraga kami memasuki lapangan, kami segera berhamburan membentuk beberapa barisan. Kami merentangkan tangan dan melakukan stretching. Aku tetap fokus pada instruksi Pak Rio, sampai aku menyadari bahwa Peter ternyata sebaris dengan aku! Aku menghela nafas frustrasi, seperti yang pernah kukatakan, aku tidak pernah bermaksud untuk melakukan ini! Ini hanya kebersamaan yang tidak disengaja! Aku penasaran, apakah dia akan berpikir jika aku lah yang mencoba menguntitnya? Argh! Aku benar-benar ingin berteriak untuk membela diri walaupun aku tidak bisa memastikan apa yang ada di pikirannya. Aku benar-benar ingin hidup dengan damai! Terlibat dengannya adalah hal yang terburuk, karena aku tahu dia punya begitu banyak penggemar di sini, dan aku tidak ingin mendapat masalah dengan gadis-gadis lainnya. Aku pernah mendengar desas-desus mengenai seorang gadis yang menyukai Peter. Dia sengaja meminta Peter untuk membantunya dalam pelajarannya agar dia bisa dekat dengan Peter. Aku tidak mengetahuinya dengan jelas tetapi yang ku tahu, akhirnya gadis itu pindah sekolah karena dia tidak tahan ditindas oleh penggemar Peter. Dan tidak terasa, sudah waktunya untuk berlari lapangan. Aku berusaha untuk tidak melirik Peter, meskipun aku tahu bahwa beberapa gadis terlihat tidak senang padaku karena aku berada di sampingnya. Aku mencoba untuk melihat ke depan dengan serius, mengabaikan perasaan tidak nyaman di dalam diriku. Pada hitungan ketiga kami berlari, dengan sekuat tenaga aku berlari secepat mungkin untuk menyudahi semua ini sesegera mungkin. Brugh! Sial! Aku tersandung batu kecil dan terjatuh! Semua orang benar-benar menertawakanku. Ini sangat memalukan! Aku mencoba untuk berdiri, tetapi ketika aku hampir berdiri, aku terjatuh kembali. Pergelangan kakiku sangat sakit dan lutut aku juga berdarah. "Aw..." rintihku sembari aku memegang kakiku, Sakit sekali! "Apakah kamu baik-baik saja?" Pak Rio bertanya kepadaku. Sepertinya hanya bapak ini yang tidak menertawakanku. Aku mengangguk kepadanya karena aku tidak menganggap luka ini begitu serius, aku berpikir mungkin ini hanya lututku yang perih karena terluka, "Aku baik-baik saja, Pak- aw!" Aku merintih ketika seseorang memegang kakiku dan orang itu adalah Peter! “Sepertinya dia terkilir, Pak," ujar Peter dengan santai. Sejak kapan pria itu ada di sini?! Aku kira dia sudah berada di garis finish… Kenapa dia malah berhenti berlari dan malah kemari? Perlahan aku melirik ke gerombolan gadis yang tampak menatapku dengan jengkel. Aku menelan ludahku, lagi dan lagi aku harus terlibat lagi dengan Peter. Tapi kan ini bukan salahku! "Sepertinya begitu. Bisakah kamu berjalan?” tanya pak Rio kepadaku. Aku berusaha untuk bangkit dari tempatku dan aku berakhir terjatuh lagi. Mungkin aku terlihat seperti mendramatisir kesakitanku, tapi jujur ini benar-benar perih dan sakit. Aku tidak mengada-ngada dan menambah bumbu apapun, namun tampaknya bagaimana pun aku membela diri, aku tetap saja salah di mata gadis-gadis itu. "Aku ragu, Pak. Lihatlah, tadi dia tidak bisa bangkit berdiri,” jawab Bianca kepada pak Rio. Hah? Sejak kapan Bianca juga ada disini? Kenapa orang-orang jadi tiba-tiba muncul begini? "Peter, kamu bawa dia ke UKS," perintah pak Rio kepada Peter. Peter menatapku sejenak sebelum dia mengangguk paham pada pak Rio. Mendengar perintah pak Rio, aku menatap Peter sembari menggelengkan kepalaku. Digendong Peter? Yang benar saja! "Saya pikir ini bukan masalah besar, pak. Saya tidak harus pergi ke UKS," ujarku yang sebenarnya tidak ingin orang melihat jika aku digendong oleh Peter. Jika pria itu benar-benar menggendongku, aku tidak tahu lagi kemana mukaku harus aku sembunyikan. “Kamu harus dibawa ke UKS. Kakimu harus segera dirawat. Apa kamu ingin luka kamu semakin parah?" ujar Peter yang terkesan menakutkan bagiku. Aku membuang pandanganku dan berpikir sejenak, mungkin dengan adanya Bianca disini, Bianca bisa membantuku atau apalah itu. Aku merasa diriku melayang, aku bertanya-tanya mengapa aku bisa merasakannya? Dan oke, aku pikir aku tahu mengapa aku bisa merasa seperti itu. Itu semua karena tiba-tiba Peter menggendongku. Itu benar-benar mengejutkanku dan seluruh siswa di sini. Sementara, dia sendiri, terlihat sangat acuh tak acuh, mengabaikan orang-orang yang terus melirik kami. Aku menutupi wajahku karena aku tidak tahan dengan rasa malu ini. Pria itu tidak bergumam apa-apa ketika ia menggendongku, sesekali aku menatapnya, tidak ada rautnya yang menunjukkan kalau dia terbebani untuk menggendongku. Kami tidak bercakap apapun sampai kami tiba di UKS. Dengan perlahan, dia meletakkanku di ranjang, aku tidak memiliki kata apapun untuknya, namun aku cukup terkesan ketika ia memintaku untuk tetap diam dan menunggunya untuk mengambil obat dan P3K lainnya. Aku tidak bisa mengalihkan pandanganku darinya, apa ia merasa berhutang budi padaku karena aku menolongnya tempo hari? Tapi kan, aku tidak mengharapkan apapun dari pertolonganku kepadanya. Setelah mendapatkan kotak P3K, ia membawanya dan mulai mengobati lukaku. Aku menahan rintihanku ketika ia mulai membersihkan lukaku dengan air. Rasanya sangat perih ketika ia menotolkan alcohol di lututku. Aku memperhatikan wajahnya yang tampan dengan hati-hati saat dia merawat lukaku dengan hati-hati juga. Dia terlihat sangat tampan dengan wajah serius itu. Kami tidak berbicara apapun dan tampaknya pria itu tidak ingin berbicara banyak juga kepadaku. Ketika hampir selesai, Peter berdiri dan membereskan peralatan yang ia gunakan untuk merawat lukaku. Mataku terus mengikuti dia, bahkan ketika dia meletakkan kotak P3K kembali ke dalam lemari, mataku tidak terlepas darinya. "Terima kasih," kataku, membuatnya melirikku sebentar. Dia hanya mengangguk dan akhirnya meninggalkanku sendiri. Aku melihat lagi lukaku yang sudah dirawat oleh Peter. Aku bisa mengatakan bahwa dia adalah seorang yang baik dibalik sikapnya yang dingin. Aku rasa itu adalah sisi yang tidak semua orang bisa melihatnya. Atau mungkin dia hanya ingin membalasku karena sudah merawatnya sebelumnya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD