2. Pernikahan Absurd

1039 Words
"Saya terima nikah dan kawinnya Jelita Maharani binti Elang Prabu dengan mas kawin tersebut dibayar, tunai!" Satu kali tarikan napasnya Raga mengucapkan ijab kabul tersebut. "Bagaimana para saksi?" "Sahh!" Satu kata itu membuat Jelita yang sedari tadi menahan tangisnya kini tak dapat lagi menahan itu semua. Air matanya luruh seketika, bukan tangisan bahagia. Melainkan tangisan kekecewaan dan kesedihan karena ia harus menikah dengan bocah SMA bernama Raga. Setelah berusaha menjelaskan semua yang terjadi pada kedua orang tuanya, keluarganya tetap memaksanya menikah dengan Raga. Si bocah ingusan yang selalu ia hindari dan benci kehadirannya, kini bocah itu sudah resmi menjadi suaminya. Lelucon macam apa ini? Jelita sama sekali tidak pernah ikhlas menjadi istri Raga karena ia hanya mencintai Roni. "Jelita?" panggil Mama Lista ketika Jelita nampaknya hanya melamun saja. "Ah, iya." Jelita pun tersadar dari lamunannya, wanita itu mengusap pipinya yang terasa basah kemudian memasang wajah pura-pura tersenyum. Meskipun dirinya membenci pernikahan absurd ini, tetapi ia tidak ingin memperlihatkan kebenciannya itu pada semua orang. Apalagi di acara pernikahan ini ada teman-temannya yang juga ikut hadir. Ia tidak ingin mereka semua tahu kalau pernikahan absurd ini atas dasar keterpaksaan dan yang paling parah karena Raga yang menjebaknya. Ia tidak sudi diledek kalah dengan bocah ingusan yang sialnya sudah menjadi suaminya. "Pasangin cincinnya ke jari manis suami kamu," ujar Mama Lista membuat Jelita menatap ke arah jari manisnya yang sudah terselip cincin kawin. Kapan laki-laki itu memasangkan cincin ini? Apa ia terlalu asyik melamun tanpa sadar kalau tadi Raga sempat menyematkan cincin ini? Jelita menghela napasnya, wanita itu mau tidak mau mengambil cincin yang ada di kotak cincin kemudian menyematkan cincin itu di jari manis Raga. Catat! Ini semua atas keterpaksaan, bukan ia yang dengan suka rela memegang tangan bocah ingusan ini! "Akhirnya kita resmi, Mbak," bisik Raga kemudian meraih kepala Jelita untuk ia kecup keningnya. "Sampai kapanpun gue enggak pernah menerima pernikahan absurd ini," balas Jelita ikut berbisik. Raga hanya diam saja, ia terlalu berbahagia sehingga tidak mempedulikan perkataan ketus Jelita. Laki-laki itu meraih jemari Jelita untuk ia genggam, sebisa mungkin Jelita melepaskan genggaman tangan itu. Namun, Raga terlalu keras kepala sehingga sama sekali tidak mempedulikan berontakannya itu. Mereka saat ini sedang duduk di kursi pelaminan, menyalami satu persatu tamu yang naik dan mendoakan keharmonisan rumah tangga mereka yang Jelita yakini sama sekali tidak akan pernah bahagia. "Ish, lepasin enggak!? Malu tahu dilihat orang banyak!" tukas Jelita sambil mencubit lengan Raga hingga membuat laki-laki itu mengaduh. "A-aduh, sakit, Mbak Cantik Sayang." Raga mengusap-usap lengannya yang habis dicubit oleh Jelita. "Sayang-sayang, lo kata gue pacar lo!?" protes Jelita sambil mendelik. "Mbak Cantik 'kan memang bukan pacar gue, tapi istri gue. Aih, Mbak, baru beberapa menit lalu gue dengan gagah dan lantangnya nyebut nama lo di depan keluarga, penghulu dan para saksi. Masa udah lupa gitu aja sih?" Bibir Raga maju, cemberut karena semudah itu Jelita melupakan status mereka. "Bukan lupa, tapi menolak ingat. Kalo aja enggak ada orang di sini, udah gue tonjok itu muka lo yang sok kecakepan!" "Muka gue emang cakep kali, Mbak, buktinya banyak yang naksir sama gue. Cuma semua gue tolak karena gue cuma naksir sama lo seorang. Gimana? Setelah mendengar perkataan gue, lo jadi terharu 'kan? Sebegitu besarnya cinta gue ke lo, Mbak. Sampai tujuh belas tahun hidup gue, gue habiskan untuk mencintai lo sepenuh hati! Enggak ada wanita lain yang gue cintai, hanya lo seorang!" Raga bersikap mendramatisir membuat Jelita mual mendengarnya. "Jangankan terharu, senang aja enggak gue denger omongan lo itu. Yang ada gue malah mual," balas Jelita sadis. "Astaga!" Hal yang tidak Jelita duga adalah ketika Raha menutup mulutnya seakan terkejut dengan apa yang dikatakan Jelita. "Lo kenapa deh? Aneh banget. Ah gue lupa, lo 'kan emang absurd," ujar Jelita. Heran dengan tingkah Raga. "Lo beneran hamil, Mbak? Gimana bisa? Gue 'kan belum golin gawang lo. Gimana bisa lo hamil? Lagian, omongan gue kemarin-kemarin 'kan cuma ngibulin semua orang supaya kita dinikahkan. Enggak, gue enggak bisa terima! Bilang sama gue siapa yang udah ngehamilin lo, Mbak, biar gue hajar orangnya! Gue akan hajar tapi enggak nyuruh dia tanggung jawab. Enak aja! Gue baru nikah sama lo masa iya kita mau cerai?" Mendadak, kepala Jelita sakit mendengar celotehan Raga. "Heh! Bocah edan! Lo bisa diem enggak? Pusing kepala gue denger ocehan lo yang makin absurd itu!" tukas Jelita, sekali lagi wanita itu mencubit kencang lengan Raga. "Sadis lo, Mbak." Raga mencibir, mengusap bekas cubitan Jelita yang luar biasa rasanya. "Gue akan anggap cubitan ini bentuk sayang lo ke gue, Mbak," ujarnya. "Padahal, gue tadi 'kan nanyanya serius. Gue mau ngehajar orang yang udah berani-beraninya ngelecehin lo, Mbak." "Raga! Lo bisa diem enggak sih? Dari tadi ngoceh mulu! Berisik!" Jelita berbisik lirih karena tidak ingin orang lain mendengar ia memarahi Raga, tetapi nada suaranya tetap ia buat penuh penekanan agar laki-laki itu tahu kalau ia tidak main-main. Ia sangat marah pada Raga yang mulutnya lemes minta dicabein. "Makanya jawab dong, Mbak. Biar gue tenang ini. Bisa-bisanya lo bikin suami lo enggak tenang gini," balas Raga. "Pertama, gue mual bukan karena hamil tapi karena dengar ocehan lo yang enggak bermanfaat itu. Kedua, gue benci sama lo dan akan selalu benci. Ketiga, gue enggak suka lo terus nyerocos panjang kali lebar kali tinggi kali dalam atau kali apapun itu! Dan yang ketiga, ini yang paling terakhir, lo jangan usik ketenangan gue! Lo paham?" Dengan polos, Raga mengangguk. "Bagus, kalo lo paham. Sekarang diem, duduk anteng aja bocah ingusan!" Jelita kembali duduk dengan tenang. "Kalo mencintai lo sepenuh hati enggak masalah 'kan, Mbak? Kan cinta itu jatuh pada siapa aja, kita enggak bisa milihnya. Dan gue jatuh cinta sama lo dari gue kecil sampai sekarang, sejak dulu impian gue nikah sama lo. Sekarang, impian gue itu akhirnya tercapai, gue senang banget bisa nikah sama lo. Ya, meskipun gue harus bohongin semua orang supaya lo bisa jadi milik gue. Gue enggak akan pernah merasa kalo gue salah dalam hal itu, karena tentang cinta semua itu benar. Izinkan gue berjuang untuk pernikahan kita ya, Mbak. Gue akan buktiin kalo bocah tengil dan ingusan ini akan bikin lo jatuh cinta!" ujar Raga panjang lebar. Jelita hanya cuek saja mendengarnya karena ia yakin Raga tidak akan mampu karena rasa bencinya pada bocah ingusan itu jauh lebih besar ketimbang rasa cinta Raga pada dirinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD