5. Bocah Edan!

1038 Words
Menikah dengan Raga sama sekali tidak pernah menjadi bayangan dalam hidup Jelita, apalagi ia yang selalu menghindar ketika bertemu dengan laki-laki itu. Jelita tak menyangka kalau ia akan tinggal bersama dengan seseorang yang sangat ia hindari di dunia ini, bukan mantannya melainkan Ragata Sadewa, bocah ingusan yang selalu saja menggodanya. Jelita merasa ia bukan seorang istri, melainkan pengasuh Raga. Jelas saja! Usianya dan Raga itu terpaut jauh, ia lebih cocok menjadi kakak dari laki-laki itu ketimbang menjadi seorang istri. Ini semua salah kakeknya yang sudah berada di alam baka, mengapa pula kakeknya itu ada sebuah wasiat bahwa ia harus menikah dengan cecunguk itu. Semuanya menjadi kacau karena ulah kakeknya. Jelita sepertinya sudah gila, bisa-bisanya ia menyalahkan orang yang sudah meninggal lama. Ia sudah menjadi cucu durhaka karena terus mencak-mencak atas keputusan yang sudah lama dibuat oleh kakeknya dan kakek Raga. "Mbak!" teriak Raga memanggil nama Jelita. "Apaan?" tanya Jelita cuek tanpa menatap ke arah Raga. Wanita itu sedang berada di kamar, duduk di atas ranjang sambil memainkan ponselnya. Pemandangan di layar ponsel jauh lebih indah ketimbang wajah Raga yang aslinya ganteng, tetapi ia sama sekali tidak mengakui itu. "Cuek amat sih sama suami sendiri, Mbak?" tanya Raga sambil duduk di tepi ranjang. "Enggak usah ngomong aneh-aneh lo. Tinggal bilang aja apa mau lo? Enggak usah ganggu gue, gue lagi sibuk." Raga mengintip apa yang Jelita lihat, laki-laki itu mencibir. "Sibuk apaan? Cuma scroll insta doang, lihat-lihat cowok lain. Ngapain sih lo lihatin mereka, Mbak? Udah jelas-jelas ada yang lebih ganteng dari mereka. Orangnya udah jelas ada di depan lo, bisa lo apa-apain sesuka hati lo." Raga kesal ketika Jelita nampak sibuk melihat cowok-cowok berwajah glowing itu, padahal sudah jelas-jelas ia lebih tampan dan nyata. Ia manis, ia tampan, ia imut dan menggemaskan. "Enggak usah kepo lo!" Jelita mendelik kesal, wanita itu segera menjauhkan ponselnya dari Raga ketika laki-laki itu berani-beraninya mengintip dan mengomentari urusan pribadinya. "Mbak, gue laper. Masakin gue sesuatu dong," pinta Raga berupa rengekan. "Masak sendiri lah, punya tangan yang lengkap dan sehat 'kan? Lagian, kita itu bukan siapa-siapa. Lo enggak berhak minta sesuatu ke gue, begitupun juga gue. Urusin urusan lo dan gue juga akan urus urusan gue!" tukas Jelita tegas. "Heh, Mbak cantik! Gimanapun juga gue itu suami lo. Jadi lo punya kewajiban ngelayanin gue, mulai dari lo harus masak buat gue setiap hari, nyiapin seragam sekolah gue dan yang paling penting ... lo harus ngelayanin gue di ranjang tiap malem." Raga berbisik lirih di telinga Jelita di kalimat terakhir. Plakk! Satu tamparan mendarat dengan sempurna di pipi Raga. Bukannya marah, Raga malah tersenyum. "Dasar bocah edan! Sembarangan ya lo! Lo pikir gue babu lo!? Lo pikir gue istri beneran buat lo!? Lo yang udah ngejebak gue sampai gue dengan TERPAKSA NIKAH SAMA LO! Bocah edan kurang ajar!" teriak Jelita sambil memukul Raga membabi-buta. "A-aduh, sakit nih badan gue, Mbak. Lepasin!" pekik Raga berusaha melepaskan diri dari pukulan Jelita yang ternyata rasanya dashyat juga. "Bodo amat gue enggak peduli! Biar aja Lo kesakitan terus mati, Bocah Edan! Biar gue bisa jadi janda dan terlepas dari lo!" balas Jelita yang semakin mengencangkan pukulannya di tubuh Raga. "Auushh! Sadis amat sih lo, Mbak, sama suami sendiri," ujar Raga. Jelita tidak menanggapi, ia terfokus menyiksa Raga dengan pukulan mautnya. Raga yang tidak tahan pun, menarik Jelita hingga wanita itu jatuh ke atas tubuhnya. Laki-laki itu memeluk Jelita erat, menahan berontakan Jelita yang sangat dahsyat. "Lepasin!" teriak Jelita terus berontak. "Enggak mau! Kapan lagi 'kan gue bisa peluk lo, Mbak." Raga terkikik geli, merasa sangat senang karena ia bisa membalik keadaan. Sangat senang juga karena berhasil memeluk Jelita, kapan lagi ia bisa mendapat kesempatan dalam kesempitan. "Lepasin gue, Bocah Edan!" Jelita menarik rambut Raga hingga membuat laki-laki itu mengaduh kemudian secara refleks melepaskan pelukannya. Jelita tersenyum puas, wanita itu bangkit dari tubuh Raga, terduduk di atas ranjang. Raga pun ikut duduk sambil mengusap rambutnya yang habis dijambak oleh Jelita. "Sadis banget lo, Mbak. Bisa-bisa rontok ini rambut gue, aih enggak ganteng lagi ini rambut," gerutu Raga. "Biarin rontok, biar lo enggak bisa sok kegantengan lagi!" tukas Jelita. Jelita menyimpan ponselnya ke dalam saku celana pendek yang ia kenakan, bangkit dari ranjang kemudian berjalan menuju keluar kamar. "Mbak, lo mau ke mana!?" teriak Raga ikut bangkit untuk menyusul Jelita. "Oh ternyata lo mau masakin gue makanan, ah jadi seneng gue," ujar Raga saat ia berhasil menyusul Jelita hingga ke dapur. Raga langsung duduk di kursi meja makan, hendak menunggu Jelita yang ia kira akan memasakkan dirinya makanan. Karena sejujurnya via sudah sangat lapar. "Geer banget lo, siapa juga yang mau masakin lo? Orang gue mau ambil minum juga," balas Jelita yang mematahkan kebahagiaan Raga yang hadapannya dimasakkan olehnya membumbung tinggi kini jatuh sejatuh-jatuhnya. "Yaah, gue kecewa nih, Mbak. Padahal gue udah berharapnya kalo perut gue yang kelaparan ini terisi dengan makanan enak yang lo masak." Mendengar perkataan Raga, Jelita hanya memutar kedua bola matanya malas. "Emang gue pikirin!?" tanyanya ketus. "Harus dipikirin dong, Mbak. Gue 'kan suami lo, lo punya kewajiban ngasih nafkah makan ke gue. Atau kalau enggak ...." Raga sengaja menggantung perkataannya. "Apa?" tanya Jelita. Raga tersenyum, laki-laki itu berdiri dari duduknya kemudian berjalan menghampiri Jelita. "Ngapain lo dekat-dekat!? Jauh-jauh sana!" Jelita mendorong tubuh Raga yang terlalu dekat dengannya. "Kalo lo enggak masakin makanan buat gue, gue boleh dong minta nafkah lain, Mbak. Kayaknya nananinu di dapur bakalan seru, kita bisa coba berbagai macam gaya di pengalaman pertama kita." Raga berbisik lirih di telinga Jelita. Jelita bukan anak kemarin sore yang sama sekali tidak mengerti apa yang Raga katakan, ia jelas mengerti itu. "Dasar bocah edan!" teriak Jelita langsung memukul kepala Raga dengan botol air minum di tangannya. "Mbak, kok lo tega sih? Main kekerasan fisik mulu sama gue!" protes Raga merasa kesakitan di kepalanya. "Benjol nih pasti kepala gue," ujarnya sambil mengusap kepalanya. "Gue mukul lo itu enggak masalah, kecuali lo mukul gue baru jadi masalah. Lagian salah lo juga ngomong aneh-aneh! Belajar yang bener dulu! Enggak usah sok dewasa dengan ngomong masalah itu!" tukas Jelita kemudian berjalan melewati Raga dan dengan sengaja menyenggol bahu laki-laki itu. "Awas ya lo, Mbak. Gue pastiin nanti lo yang minta jatah itu sendiri ke gue!" teriak Raga. "Bodo amat, gue enggak dengar lo ngomong apa, Bocah Edan!" sahut Jelita.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD