"Apa, Ma!? Tinggal berdua aja di apartemen sama dia!?" tanya Jelita sambil berdiri dari duduknya kemudian menunjuk wajah Raga dengan jarinya.
"Huss, jangan tunjuk-tunjuk gitu. Enggak sopan kamu sama suami," tegur Mama Lista.
Jelita cemberut, wanita itu kembali duduk. Menatap Raga dengan penuh dendam, semua ini gara-gara bocah ingusan itu.
"Bukannya kamu dari dulu pengen banget tinggal di apartemen, giliran sekarang Papa dan Mama izinin kamu pindah ke sana sama Raga kenapa kamu nolak?" tanya Papa Elang.
"Pa, aku tuh mau pindah kalau sendiri. Bukan sama bocah itu!" tukas Jelita.
"Mana mungkin 'kan Papa biarin kamu pisah sama suami kamu? Kalian baru aja menikah. Lagian enggak ada salahnya juga kamu tinggal berdua sama Raga di sana. Itu bisa buat kamu dan Raga semakin dekat," ucap Papa Elang.
"Ini semua gara-gara Papa sama Mama! Papa dan Mama udah tahu kalau aku sama sekali enggak hamil, kenapa pernikahan ini harus terus terjadi? Ini enggak adil buat aku!" teriak Jelita.
"Terima aja nasib lo, Dek. Lo udah berjodoh sama Raga, lagian apa salahnya nikah sama berondong. Imut-imut gitu 'kan suami lo?" timpal Juna yang tak lain adalah kakak Jelita yang usianya terpaut tiga tahun dari sang adik.
Jelita mendelik, Juna sendiri hanya cengengesan melihatnya. Sama sekali tidak takut dengan tatapan penuh ancaman dari Jelita karena di sini ada kedua orang tuanya, tidak mungkin Jelita bisa menimpuknya dengan sandal.
"Mama emang dari dulu pingin kamu nikah sama Raga, bukan sama si Roni-Roni itu. Sedari dulu Mama enggak pernah setuju kamu sama dia, tapi kamu yang bebal. Beruntung ada alasan ini buat kalian pisah saat itu juga," ujar Mama Lista.
"Ma, kenapa Mama enggak setuju aku sama Roni? Roni jauh lebih baik daripada si anak mami yang sekarang udah jadi menantu Mama itu!" protes Jelita.
"Sudah, kamu jangan terus merendahkan suami kamu, tidak baik. Lagian kalian udah resmi jadi suami-istri, Mama sama Papa enggak mau ada kata perpisahan di pernikahan kalian. Kalian harus langgeng sesuai dengan wasiat dari almarhum kakek kalian!" ujar Mama Lista memutuskan.
"Besok kamu boleh pindah sama Raga, apartemen sudah Papa dan Mama siapkan. Kalian hari ini berkemas saja, lagi libur 'kan? Atau mau minta kemaskan Mbok Nini?" tanya Papa Elang.
"Enggak usah, Pa. Jelita bisa berkemas sendiri," ujar Jelita kemudian segera bangkit dari duduknya untuk pergi ke kamarnya. Percuma juga ia lama-lama di sini karena keputusan kedua orang tuanya sudah bulat, ia tidak dapat lagi protes karena protesannya itu sama sekali tidak berguna. Ia kalah suara kalau sudah melawan kedua orang tuanya yang sama-sama kompak ingin agar dirinya tinggal bersama dengan Raga si bocah ingusan itu.
Keesokan paginya, atas dasar keterpaksaan, Jelita sudah siap dengan pakaian kantornya. Ia akan pergi ke apartemen barunya bersama Raga barulah ia akan pergi ke kantor. Beruntung kantor masuk agak siang karena ada acara hari ini, sehingga ia tidak perlu takut kalau semisal ia terlambat.
"Mama sebenarnya agak berat minta kamu tinggal berdua aja sama Raga di apartemen, tapi apa mau dikata kalau ini semua demi kebaikan hubungan kalian. Mama ingin agar kalian bisa semakin mendekatkan diri, ya walaupun sedari kecil kalian sudah dekat, tapi sekarang status kalian udah beda. Bukan lagi tetangga, tapi udah jadi sepasang suami-istri." Mama Lista memasang wajah sedihnya, seakan begitu berat sekali merelakan putrinya pergi bersama suaminya.
"Kalo merasa berat, kenapa semalam maksa Jelita buat tinggal berdua aja sama cecunguk ini, Mama?" Inginnya Jelita mengatakan itu, tetapi kata-kata itu hanya bisa ia katakan dalam hati karena ia tidak ingin merusak drama keluarga yang dibuat oleh kedua orang tuanya.
"Kamu sering-sering main ke sini ya kalau senggang, ajak Raga juga. Mama pasti kangen banget sama kamu nantinya," ujar Mama Lista.
"Aku juga bakalan kangen banget sama Mama, jadi pindahnya batal aja ya, Ma? Aku sadar kalau aku enggak akan bisa pisah jauh sama Mama. Ya, Ma?" Mata Jelita menunjukkan kalau ia begitu berharap mamanya akan membatalkan rencananya untuk memindahkan dirinya ke apartemen berdua saja dengan bocah tengil itu.
"Biarpun Mama kangen berat sama kamu nantinya, Mama 'kan bisa berkunjung ke apartemen kamu atau kamu yang main ke sini sama Raga. Kamu hari ini tetap harus pindah, hitung-hitung belajar mandiri. Udah punya suami juga." Ternyata meskipun berkata begitu tadi, mamanya sama sekali tidak terpengaruh. Mama Lista tetap keukeh ingin agar putrinya bisa tinggal berdua saja dengan Raga.
Usai berpamitan dengan keluarganya dan juga keluarga Raga, Jelita dan Raga pun akhirnya langsung berangkat menuju apartemen yang akan mereka tinggali nanti. Mereka menaiki mobil Jelita dengan wanita itu yang menyetir, ia tidak bisa membiarkan Raga menaiki mobilnya karena ia tidak ingin bocah ingusan itu merusak mobilnya. Ya, walaupun pada kenyataannya kalau Raga itu sudah sangat mahir mengemudikan mobil. Jelita saja yang memang tidak ingin kalau Raga menyentuh barangnya sedikit pun.
Sesampainya di apartemen tempat mereka akan tinggal, Jelita berdecak kesal ketika hanya ada satu kamar saja. Padahal, harapannya tadi walaupun ia tidak rela tinggal berdua dengan Raga saja, ia ingin mereka pisah kamar. Minimal apartemen yang ada dua kamarnya lah, lah ini? Harapannya bisa pisah kamar ternyata sirna.
"Mama, kok kebangetan banget sih beliin apartemen yang cuma ada satu kamar? Sengaja banget ini kayaknya," tukas Jelita.
"Biarin aja sih, Mbak. Lagian buat apa banyak-banyak kamar? Buang-buang ruangan aja. Toh, kita juga bakalan tetap sekamar biarpun ada dua kamar." Seenaknya saja Raga yang baru muncul dari balik punggung Jelita langsung merangkul bahu wanita itu dengan mesra. Seakan hubungan pernikahan mereka itu atas dasar sama-sama cinta.
"Ish, apaan pake rangkul-rangkul segala!?" Jelita menepis kasar tangan yang merangkul bahunya.
"Baru ngerangkul bahu doang, belum yang lain, Mbak. Pelit amat sih!" Raga mencebik.
"Enggak usah sok imut lo, malah amit-amit gue lihatnya!" ujar Jelita galak.
"Lagian enggak usah ngarep lebih lo, Bocah. Awas aja lo macam-macam, habis lo sama gue!" Jelita menggerakkan jarinya ke lehernya seakan ingin menggorok siapa saja yang macam-macam dengannya.
"Serem lo, Mbak." Raga bergidik ngeri, begitu takut kalau sampai Jelita benar-benar melakukan hal itu padanya. Yang ia tahu kalau Jelita itu semasa sekolah sangat jago bela diri, bahkan sering menang lomba bela diri melawan siapapun itu.
"Gue enggak mau mati sebelum kita nananinuan dulu, Mbak. Masa iya keperjakaan gue tetap terjaga sampai akhir hayat padahal udah punya istri. Nanti malaikat nanyain kenapa bisa gue tetap perjaka padahal gue udah punya istri? Bingung entar gue jawabnya, Mbak." Kata-kata ngawur bin aneh itu membuat Raga mendapatkan hadiah jitakan di kepalanya dari Jelita.
"Dasar bocah edan! Malaikat enggak akan nanyain hal non faedah itu, yang malaikat tanyain nanti amal perbuatan lo saat di dunia yang kebanyakan cari masalah sama orang lain! Habis deh lo nanti!" ujar Jelita.