“Aku lumayan suka cerita petualangan. Tapi—bukan buku teks beginian juga kali, Lang?” protes Kikan dengan wajah masam.
“Eh, kaum urban sepertimu, emang perlu baca buku begituan!” tukas Alang serius. Kikan diam saja. Wajahnya masih terlihat masam. “Kalo aku jadi Menteri Pendidikan. Materi survival bakal jadi kurikulum wajib di sekolah-sekolah!” ucap Alang acuh sambil membuka komik di tangannya. Kening Kikan makin berkerut. Gadis itu makin yakin kalau Alang memang berlebihan.
Dengan malas, Kikan membuka halaman demi halaman. Sekilas ia membaca kalimat-kalimat isinya. Menurutnya artikel di buku itu terkesan mengada-ada. Akhirnya ia hanya menikmati gambar-gambar yang ada di dalamnya.
Suara dengung mesin terdengar stabil. Pesawat memasuki kawasan langit mendung berawan. Para penumpang banyak yang tertidur. Dibuai nyanyian mesin. Sesekali terdengar suara orang batuk. Hanya sedikit yang masih mengobrol, atau membaca majalah internal Madame Air. Alang makin asyik dengan komik pinjamannya. Sesekali bibirnya tersenyum. Sebaliknya, Kikan masih gelisah. Ia melirik jamnya lagi. Pukul sebelas lewat. Wajahnya mulai terlihat bosan.
“Lang...” Kikan mencolek bahu Alang.
“Ya?” Perlahan Alang menoleh.
“Apa buku ini selalu kau bawa?” tanya Kikan penasaran. Alang menggeleng.
“Itu hadiah buat saudaraku di Manado,” jelasnya.
”Bekas?” tanya Kikan lagi. Alang tersenyum.
“Itu buku langka. Lagian isinya tak mengenal kata bekas!” jelas Alang. Kikan meringis mendengarnya.
”Oh ya, satu lagi. Aku penasaran dengan pernyataanmu tadi,” ujar Kikan.
”Pernyataan yang mana?” Alang balik tanya. Dahinya berkerut.
”Soal survival. Kenapa orang perlu tahu? Bahkan menurutmu, harus jadi kurikulum wajib segala. Apa itu nggak berlebihan? Mungkin iya—tapi bagi mereka yang doyan bertualang. Gimana kalo sepanjang hidupnya, orang itu tinggal di kota. Penuh peradaban dan fasilitas?” tanya Kikan serius. Alang menghela napas.
“Karena orang akan bersosialisasi dan beraktivitas!” jawab Alang. Kikan kaget mendengar jawaban itu.
“Yah, Lang, orang hidup pasti begitu. Masalahnya—kenapa jadi harus tahu survival?” tegas Kikan tak puas dengan jawaban Alang.
“Upaya preventif. Bukankah saat bersosialisasi atau beraktivitas, mereka juga melakukan perjalanan?” jawab Alang. Sementara Kikan garuk-garuk kepala mendengarnya.
“Makin bingung, deh. Hubungannya dengan survival apa? Eh, sebentar—perjalanan?!” Kikan tak melanjutkan kata-katanya. Mendadak wajahnya tegang. Alang mengubah posisi duduk. Bersiap untuk menjelaskan.
“Begini—”
Kalimat Alang terputus, karena mendadak pesawat berguncang keras. Seakan tersedot ke bawah. Serentak para penumpang menjerit. Disusul tangisan anak-anak. Pesawat itu terbang limbung. Dari pengeras suara, awak pesawat berusaha menenangkan. Menyuruh penumpang mengikuti petunjuk-petunjuk awak kabin. Untuk segera mengenakan sabuk pengaman masing-masing. Menyuruh merunduk. Mencondongkan tubuh ke depan dengan tangan menempel ke sandaran bangku di hadapan mereka.
Sejenak pesawat terangkat normal. Namun lagi-lagi berguncang. Bahkan lebih keras. Penumpang makin panik. Tak hanya penumpang, para awak kabin malah ikut menjerit. Suasana makin gaduh oleh jerit ketakutan. Beberapa penumpang saling berpelukan.
Kikan mendongakkan kepala sambil menjerit histeris. Alang mencoba menenangkan. Menarik dan memeluknya agar tetap merunduk. Namun usaha itu terhalang oleh sabuk pengaman.
“Merunduk, Kan! Merunduk!” pekik Alang dengan suara bergetar.
“Mama! Mamaaa!” jerit Kikan tak menghiraukan. Alang kembali menariknya. Menyuruhnya agar tetap merunduk. Di tengah kegaduhan itu, samar-samar masih terdengar himbauan dari pengeras suara. Namun para penumpang tak lagi menghiraukan. Apa lagi sebelum himbauan itu selesai, sudah terdengar suara ledakan dari luar. Pesawat terasa melayang makin turun. Disusul bunyi berderak-derak menusuk jantung. Suara itu seakan mampu melepas semua baut yang mengikat badan pesawat. Jerit penumpang dan hiruk-pikuk yang ditimbulkan badan pesawat menyatu. Bagai sirene kematian. Jiwa mereka seakan melayang meninggalkan raga.
Braakk!
Ada benturan keras di bagian bawah pesawat. Masker-masker oksigen berjatuhan. Disusul benturan lagi dari arah kanan pesawat. Sayap kanan membentur sesuatu. Dari jendela tampak sayap itu melayang lepas dari badan pesawat. Melesat tertinggal di belakang. Muncul kilat api dan—buum! Turbin mesin itu meledak di udara. Serpihan ledakan menghantam kaca-kaca jendela bagian ekor. Melemparkan serpihan kaca sekuat berondongan peluru yang keluar dari moncong senjata. Mungkin bisa melukai apa pun yang dideranya. Detik selanjutnya, lubang-lubang di jendela berubah menjadi vacum cleaner raksasa. Berusaha menyedot apa pun yang ada di dalam kabin. Benda-benda ringan berebutan hendak ke luar kabin.
Tubuh-tubuh yang terikat di kursi pesawat serentak membanting ke muka. Lalu menghempas ke kiri dan kanan. Jeritan penumpang makin membahana. Beberapa saat laju pesawat oleng ke kiri. Hingga ada benturan keras dari arah kiri. Sayap kiri pesawat bernasib sama dengan yang kanan. Membentur sesuatu dan patah. Tapi masih menempel dan tidak meledak terbakar. Tubuh-tubuh tak berdaya itu terbanting ke kanan dengan keras.
Kedua sayap pesawat telah patah. Kini fuselage[5] meluncur tanpa penyeimbang. Bagai gelondong tombak. Menerobos rimbunan, tapi bukan awan. Itu pepohonan! Pesawat itu sudah berada di daratan. Suara benturan dan gesekan di perut pesawat makin jelas. Mendecit mengiris gendang telinga. Melintasi apa pun yang ada di bawahnya. Hingga terjadi benturan keras dari arah muka. Beberapa kursi di belakang terlempar ke depan. Membawa penumpang yang masih terikat di sabuk pengaman. Melayang-layang di lorong kabin. Lalu mendarat keras. Membentur penumpang lain, atap, serta dinding kabin. Jeritan ketakutan dan kesakitan makin memilukan. Seketika laju pesawat berhenti, lalu menghempas ke bawah.
Benturan itu menyudahi semua kebisingan dan hiruk-pikuk kabin. Daratan yang dilintasi fuselage tampak porak-poranda. Gundukan tanah tercongkel. Batang-batang pohon rebah, patah dan semak belukar tercabut. Akar membusai dari tanah. Lintasan itu bagai jalan yang ciptakan oleh ribuan gajah berlari kalap.
Hening.
Hanya deru hujan lebat yang menerpa dedaunan dan lembar-lembar logam pesawat. Badan pesawat berlabel Madame Air itu retak patah tiga bagian. Sekilas mirip huruf “Z” terbalik. Bagian kepala agak melesak ke tanah. Bagian tengah patah condong ke bawah, dan ekor menjungkit ke atas. Di tiap patahan terdapat celah retakan. Dua pintu darurat dekat pangkal sayap sudah lepas entah ke mana. Rintik hujan menerobos retakan, juga pintu pesawat yang menganga. Membasahi ruang kabin. Bercampur dengan cairan yang merembesi dinding dan lantai kabin. Cairan amis berwarna merah kental.
Itu darah!
***
Footnote:
[1]Bagasi bagian bawah pesawat.
[2]Gerakan udara tak beraturan yang terjadi kapan saja dan di mana saja. Terkadang tanpa tanda-tanda sama sekali. Bahkan di saat langit cerah tak berawan. Turbulen dapat terjadi pula akibat fenomena alam, seperti adanya jet stream (aliran udara yang sangat cepat dan relatif sempit), mountain wave (putaran gelombang udara yang terhalang akibat adanya gunung atau bukit), cold/ warm front (istilah meteorologi yang diberikan pada daerah perbatasan tempat bertemunya dua massa udara dingin atau udara panas. Mengakibatkan cuaca mudah berubah, berawan dan hujan, atau thunder storm (hujan badai dan petir).
[3]Penggalian situs purba.
[4]Situasi dan kondisi yang tidak menentu yang dialami oleh seseorang atau sekelompok orang di daerah asing (terisolir), akibat terjadinya peristiwa musibah, bencana alam atau kecelakaan. Survival berasal dari kata survive: bertahan hidup. Teknik Survival: Ilmu yang mempelajari tentang cara, taktik, tindakan dan usaha dalam mempertahankan hidup saat mengalami masa-masa survival.
[5]Badan pesawat.