"Musibah survival bukan pilihan,
namun kita tak bisa menolak bila nasib berkehendak.
Semua bergantung pada kesiapan kita sendiri."
Sabtu, 13 januari 2007
Pandangan Kikan beralih ke luar jendela. Menatap lalu-lalang kru bagasi dengan kendaraan pengangkut. Sibuk memasukkan bawaan penumpang ke lower deck cargo compartment[1] pesawat di seberang. Tampak pula kru teknis sedang mengisi bahan bakar pesawat lain.
Seorang pemuda tergesa memasuki kabin. Menuju bangku di sebelah Kikan. Sejenak pandangan mereka bertemu. Pemuda itu tersenyum. Kikan membalasnya sekilas, lalu kembali membuang pandangan ke luar jendela. Saat memasang sabuk pengaman tanpa sengaja tangan pemuda itu menyenggol Kikan. Tergesa ia meminta maaf. Hanya dibalas Kikan dengan anggukan.
Para penumpang makin memenuhi kabin pesawat. Wajah Kikan tampak makin gelisah. Sebentar-sebentar ia memandang ke luar jendela, lalu ke jam tangannya.
“Mmm—maaf...” Kalimat Kikan terhenti. Wajahnya tampak ragu. Pemuda di sebelahnya hanya menatap dengan dahi berkerut. “Sebenarnya aku nggak suka pesawat,” lanjut Kikan lagi.
“Ya?” sahut pemuda itu belum mengerti. Ditatap begitu Kikan makin kikuk. “Takut ketinggian?” Pemuda itu bertanya.
“Nggak juga!” potong Kikan cepat. Rautnya merona. “Boleh tukar tempat duduk?” tanya Kikan memberanikan diri. Pemuda berambut ikal itu tersenyum.
“Boleh—tapi ada syaratnya.” tawarnya.
“Syarat? Syarat apaan?!” potong Kikan dengan wajah memerah. “Kalo macem-macem, lebih baik nggak usah!” lanjutnya agak ketus. Pemuda itu hanya meringis.
“Takut ketinggian kan?” buru si Pemuda. Kikan terlihat menghela napas. Pasrah.
“Terserah apa namanya. Aku hanya nggak suka lihat atap-atap, jalan-jalan dan sungai-sungai mengecil di bawahku.” ucap Kikan perlahan. Mendengar itu, senyum pemuda itu kian mengembang. Malah nyaris tertawa.
“Emangnya lucu?!” protes Kikan.
“Sori. Lebih baik kalo terus terang aja.” Pemuda itu menetralisir. Kikan tetap bungkam. “Kalo jendelanya ditutup?” sambung si Pemuda.
“Aku juga nggak suka duduk di pinggir. Kalo keberatan, nggak apa-apa, kok,” tegas Kikan perlahan.
“OK, kalo itu bisa membuatmu lebih baik,” sahut pemuda itu santai.
“Makasih, ya,” ucap Kikan lega. Pemuda itu mengangguk.
“Di pinggir itu asyik. Apa lagi kalo dinding kabin ini transparan. Bisa luas memandang!” terang pemuda itu sambil tersenyum.
“Ngaco!” tukas Kikan membalas senyum. Pemuda itu terkekeh.
“Oh, ya, kenalkan—aku Alang!” Pemuda itu mengulurkan tangan.
“Kikan!” sambut Kikan ramah. Keduanya berjabat tangan. Tak lama keduanya sudah berusaha saling mengakrabkan diri.
Kikan, berusia sembilanbelas tahun. Mahasiswi semester satu, Fakultas Ekonomi. Alang, berusia duapuluh dua tahun. Mahasiswa tingkat akhir jurusan arkeologi. Mereka kuliah di kota yang sama, di Jakarta. Keduanya menumpang pesawat Madame Air tujuan Manado. Maskapai ini melayani penerbangan langsung Jakarta - Manado. Dengan waktu tempuh penerbangan lebih kurang tiga jam. Namun penerbangan ini tertunda dua jam lebih. Jadwal keberangkatan pukul tujuh, molor hingga pukul sembilan lewat.
Pengumuman keberangkatan sudah terdengar. Disusul safety talk diiringi peragaan penggunaan peralatan keselamatan oleh para pramugari.
Bergegas Alang membuka tas kamera. Mungkin itu salah satu alasan kenapa ia tak menaruhnya di bagasi atas. Kini ia sibuk membidik para pramugari. Memicingkan mata ke view finder. Lensa berputar maju mundur mencari fokus dan—klik! Kikan hanya tersenyum melihat ulah Alang.
Pesawat manuver perlahan menuju landasan pacu. Meluncur pelan, kemudian melesat dengan kecepatan penuh. Bergetar dan bergemuruh. Hentakan roda pesawat menggilas aspal, lalu melompat meninggalkan landasan.
Diam-diam Alang memerhatikan gadis di sebelahnya. Mata gadis itu terpejam. Raut mukanya tegang. Ujung jemarinya memutih kemerahan. Mencengkeram erat pegangan kursi. Mungkin proses ini yang paling dibenci oleh orang-orang seperti Kikan. Saat take off, landing, atau ketika kena turbulen[2]. Ketiga proses ini cukup memacu adrenalin.
Alang masih tersenyum. Diam-diam meng-close up Kikan dengan mimik penuh ketegangan itu.
“Udah stabil. Kita udah di angkasa.” tegur Alang seraya memasukkan kamera ke dalam tas. Perlahan mata Kikan terbuka. Wajahnya masih tampak pucat. Sementara pria tambun yang duduk di deretan mereka mulai terkantuk-kantuk. Dengkuran halusnya mulai terdengar. Beriringan dengan dengung mesin yang kian stabil. Burung besi itu telah meninggalkan permukaan bumi. Melayang membelah angin menuju langit biru.
“Kalo emang nggak suka, kenapa naik pesawat?” tanya Alang.
“Jalan darat? Lama, capek! Belum lagi naik kapalnya," terang Kikan serius. Alang tersenyum. “Oh ya, kalo boleh tahu, mau ngapain ke Manado, Lang? Tugas kuliah?” sambung Kikan penasaran.
“Acara keluarga. Keluargaku udah duluan berangkat.” jawab Alang.
“Lama?”
“Paling tiga hari. Selanjutnya ke Maros. Ada pendataan gua.” Alang memberi tahu.
“ Mau caving? Anak Mapala, ya?” tebak Kikan cerah.
“Mahasiswa Paling Lama," sahut Alang terkekeh.
“Heh! Aku serius?!” tegas Kikan. Mata bundar itu melotot indah.
“Sebenarnya tugas kuliah juga,” jawab Alang terus terang.
“Tugas—atau jalan-jalan?” tanya Kikan masih belum percaya.
“Dua-duanya. Ada ekskavasi[3] buat bahan skripsi,” jawab Alang jujur.
“Hmm. Pasti alasan bertualangnya lebih besar!” tebak Kikan.
“Yang penting tugasnya kelar,” sahut Alang nyengir sambil garuk-garuk kepala. Kikan tersenyum puas. Tebakannya benar.
“Enak, ya. Bisa jalan kemana aja," gumam Kikan pelan. Alang hanya tertawa kecil. “Kok, malah ketawa?” tambah Kikan.
“Kenapa banyak yang ngerasa lebih enak jadi orang lain, ya? Padahal belum tentu," tepis Alang serius.
“Tapi benar, Lang. Kau anggota Mapala. Doyan bertualang. Kuliahnya juga mendukung. Makin klop-kan?” Kikan memperkuat pendapatnya. “Kalo aku diatur mulu. Udah nasib kali!” tambahnya lagi dengan wajah kecut.
“Nasib jangan jadi alasan terakhir. Nanti hanya berhenti di situ. Hidup itu kan pilihan,” tepis Alang.
“Kau berfilosofi?” ujar Kikan tertawa kecil. Alang meringis. “Apa beda nasib dengan takdir?” tambah Kikan serius. Alang terdiam sejenak.
“Hampir sama. Keduanya diatur Tuhan. Nasib itu peruntungan hidup. Dan, takdir itu ketentuan, atau vonis akhir yang dijatuhkan," jelas Alang serius.
“Begitu?” Kikan memastikan. Alang mengangguk.
“Itu pendapatku. Proses menjalani hidup berada di garis nasib, tapi ending dari sebuah perjalanan adalah takdir.” tegas Alang lagi. Kikan terdiam mendengarnya.
“Kupikir sama aja,” gumam Kikan. Namun Alang menggeleng.
“Intinya, nasib masih bisa diprediksi, tapi takdir nggak.” tegas Alang.
Obrolan mereka terhenti sejenak. Saat dua pramugari menghampiri dengan kereta makanan. Mereka membagikan kotak berisi makanan dan minuman. “Silahkan. Selamat menikmati,” ucap mereka menawarkan dengan wajah ramah.
“Makasih, Mbak,” jawab Alang dan Kikan nyaris berbarengan. Keduanya menarik meja lipat yang ada di belakang bangku di depan mereka.
“Aku makan dulu, ya. Tadi nggak sempat sarapan,” ucap Alang sambil membuka kotak makanan. Kikan mengangguk. Saat Alang makan, Kikan kembali membaca buku di pangkuannya. Sebuah komik Jepang.
Sesekali terjadi hentakan halus, saat burung besi itu membentur udara atau gumpalan awan. Tubuh penumpang ikut bergetar. Kikan melempar pandangan ke luar jendela. Hari tampak cerah. Terlihat pegunungan awan. Awan terdekat tampak melesat berlari, sementara yang jauh seperti berjalan perlahan. Meski indah, tapi bagi Kikan tetap saja menakutkan. Segera ia mengalihkan pandangan. Waktu menunjukkan pukul sepuluh lewat limabelas menit. Kikan merasa penerbangan itu berjalan sangat lambat. Saat mulai merasa kedinginan, gadis itu mengenakan kardigannya.
“Nggak makan?” tanya Alang mengagetkan. Kikan menggeleng seraya menutup buku bacaannya.
“Masih kenyang. Oh ya, Lang, kau pasti sering naik gunung, ya?” tanya Kikan kembali mengajaknya mengobrol. Mungkin itu menurutnya lebih baik, ketimbang gelisah memikirkan lamanya penerbangan.
“Kalo ada waktu dan uang. Nggak maksa juga, kok,” jawab Alang singkat.
“Yakin begitu? Setahuku anak Mapala rela bolos demi mendaki!” ujar Kikan seraya mengerlingkan mata. Alang tersenyum kecut.
“Aku nggak menyangkal, tapi nggak semuanya gitu.”
“Oh, ya? Bedanya di mana?” tanya Kikan lagi.
“Motivasinya. Cuma ingin jalan aja, atau ingin belajar banyak hal,” terang Alang serius.
“Tapi ujung-ujungnya sama. Cari ilmu dan kawan jalan. Coba pikir, anak Mapala mana yang belum pernah naik gunung?” cecar Kikan tak kalah serius.
“Jangan naif, dong. Mapala itu nggak melulu soal petualangan. Apa lagi hanya untuk mendaki gunung. Banyak ilmu dan pengalaman lain yang bisa didapat,” tepis Alang kurang setuju. Kikan diam sebentar.
“Aku pernah diajak mendaki. Tapi dilarang ortu!” ceplos Kikan dengan wajah kecut.
“Oh, ya? Kenapa?” tanya Alang penasaran.
“Nggak usah, nanti celaka, kata mereka,” jawab Kikan jujur. Alang tersenyum meringis mendengarnya.
Tiba-tiba pesawat berguncang. Seolah ingin turun mendadak. Selain efek turbulen, guncangan itu bisa terjadi ketika pesawat bertumbukan dengan gumpalan awan dengan ketebalan tertentu.
Beberapa penumpang terpekik tertahan. Termasuk Kikan. Wajahnya terlihat pucat. Tak lama terdengar suara-suara gumaman tak jelas dari para penumpang. Tak lama terdengar himbauan. Menyuruh para penumpang tenang. Benar saja, tak lama pesawat kembali melayang tenang.
“Banyak yang menilai kegiatan alam hanya dari kaca mata resiko. Padahal resiko hidup itu udah kita hadapi setiap hari.” ucap Alang melanjutkan obrolan.
“Maksudmu, menjalani hidup keseharian aja beresiko? Apa itu nggak berlebihan, Lang?” tanya Kikan.
“Lho, bukankah tiap hari kita beraktivitas? Semua bisa jadi biasa, aman, atau malah membahayakan,” terang Alang. Dahi Kikan tampak berkerut.
”Maksudnya gimana? Aku kurang paham,” jawab Kikan jujur. Alang menghela napas sesaat.
“Contohnya, orang yang kerja di ketinggian, punya resiko jatuh. Pejalan kaki, resiko ketabrak. Kerja di jaringan listrik, bisa aja kesetrum. Kesimpulannya, hidup itu udah beresiko. Jadi sama aja dengan petualangan. Karena petualangan itu bagian dari hidup,” jelas Alang serius. Kikan terdiam. Berusaha mencerna kata-kata Alang. “Coba bandingkan, lebih banyak kecelakaan petualangan atau lalu lintas?” tambah Alang lagi. Kikan tampak berpikir sebentar.
“Ya—di jalan. Apa lagi saat arus mudik lebaran,” jawab Kikan sedikit bergumam.
“Tapi kenapa musibah petualangan seakan jadi pengecualian? Mereka pikir, orang yang bertualang dipastikan kena musibah, celaka, bahkan tewas? Padahal musibah itu bisa menimpa siapa pun, di mana pun. Bergantung sikon dan takdir masing-masing," jelas Alang panjang lebar. Kikan melongo melihat Alang begitu semangat. “Suatu saat, kau akan mengerti, beda antara musibah takdir, dengan musibah akibat kekonyolan sendiri,” tambah Alang makin membikin dahi Kikan berkerut kebingungan. Gadis itu tersenyum.
“Obrolannya makin serem. Ganti topik, yuk!” tepis Kikan kurang nyaman. Alang senyum diprotes begitu.
“Kita kan lagi ngomongin soal resiko, takdir dan nasib. Jelas berkaitan dengan untung-sial, selamat-celaka, lalu hidup dan mati," ujar Alang membela diri. Kikan makin meringis.
“Rada parno aja. Apa lagi sampai detail gitu," kilah Kikan bergidik. Alang tersenyum tipis.
“Ada perbedaan antara petualang baik, dengan petualang nekat," ujar Alang dengan mimik serius.
“O, ya? Apa bedanya?” tanya Kikan penasaran.
“Di bekal, dan cara menjemput takdir.”
“Bukannya mereka semua bawa bekal?” tanya Kikan lagi.
“Maksudku bukan bekal logistik doang, tapi ilmu. Ilmu bertualang dan manajemen perjalanan. Petualang yang baik tentu bisa mengukur kemampuan. Paham, kapan saatnya maju, berhenti, atau mundur. Jadi bukan cuma modal nekat,” papar Alang menjelaskan. Namun Kikan masih belum paham.
“Mmm—rumit juga,” jawab gadis itu meringis dengan mimik polos. Alang mengangguk.
“Memang rumit menjelaskan sesuatu yang bagi kita biasa, tapi nggak bagi orang lain,” sahut Alang tertawa kecil. Kikan menarik bibir seraya angkat bahu. “Mempelajari semesta itu perlu. Sebab alam semesta itu guru yang paling natural. Mengajarkan bagaimana menghargai sesuatu yang awalnya kita anggap remeh dan sepele,” tambah Alang serius. Kikan diam mendengarkan. Entah percaya atau tidak. “Nanti—anakku harus bisa bertualang!” ceplos Alang lagi.
“Kenapa jadi harus? Belum tentu mereka suka!” ujar Kikan mengingatkan. Alang terdiam sesaat.
“Ya—minimal mau belajar survival[4].” jawab Alang.
“Survival?” ulang Kikan. Pemuda itu mengangguk. ”Meski mereka nggak suka bertualang?” tegas Kikan dengan dahi berkerut.
“Iya. Biar mereka lebih bisa menghargai, dan kuat menghadapi resiko hidup. Sebenarnya hidup di jaman sekarang, orang perlu belajar teknik survival. Bila perlu bertualang,” papar Alang. Kikan diam mendengarkan. Berusaha memahami pernyataan Alang. Kesimpulannya, percuma berdebat tentang petualangan dengan Alang. Dan menurut Kikan, Alang memang agak berlebihan.
“Iya, deh. Kapan-kapan ajak aku, ya?” ujar Kikan tersenyum. Entah serius atau sekedar bercanda.
“Aku pikir-pikir dulu, ya. Ketimbang diomeli ortu-mu!” jawab Alang terkekeh. Kikan mendelikkan mata, seraya pura-pura hendak memukul Alang dengan buku komik. Alang tersenyum meringis.
“Eh, itu komik?” Bola mata Alang melirik ke sampulnya.
“Iya. Mau baca? Sepertinya kau perlu baca buku beginian. Biar nggak mikir petualangan melulu,” sahut Kikan seraya menyodorkan komiknya. Tersenyum Alang menerimanya.
“Eh, sebentar—aku juga bawa buku!” Mendadak Alang meraih tas kamera di bawah bangkunya. Ia mengeluarkan buku tebal bersampul hijau. Kikan melongo usai membaca judulnya.
“Nggak ada buku lain, ya? Novel petualangan aja, misalnya?” protes Kikan kurang tertarik.
“Sebentar—ada buku biografi petualang!” Pemuda itu kembali memeriksa isi tas. Tapi tampak kebingungan. “Astaga! Pasti lupa kumasukkan?!” serunya agak kesal. Buku Jejak Sang Beruang Gunung yang dicarinya tak ada di dalam tas. Kikan tersenyum kecut mendengarnya.
“Artinya—aku emang harus baca buku ini?” tanya Kikan memastikan.
“Tapi itu bagus juga, lho!” sahut Alang meringis. Sekali lagi Kikan melirik ke sampul buku itu. Ada gambar kompas mata angin. Dengan tulisan berwarna merah: Taktik Berpetualang Di Alam Bebas.