Rabu, 17 Januari 2007
Kicau burung-burung membuka pagi. Kabut melayang di celah tiang-tiang kanopi hutan. Perlahan turun menyusup di sela-sela belukar pepohonan. Membagi rinai-rinai embun. Bagai mutiara bergelantungan di jaring laba-laba, rerumputan dan semak belukar. Sinar mentari menerobos kanopi dedaunan. Jemari cahayanya menerpa bumi. Menusuk ke ruang kabin. Lewat celah jendela-jendela yang pecah. Lewat pintu darurat, retakan kabin, juga ekor pesawat.
Prayit mengerjapkan kelopak mata beberapa kali. Mengurangi rasa silau yang menerpa mata. Lalu beranjak duduk. Seluruh badannya terasa ngilu dan pegal. Lambungnya masih terasa perih, dan tenggorokannya kehausan. Tak lama ia berdiri. Melangkah ke luar kabin. Lalu menatap ke perapian. Angin seolah tak berembus. Asap putih mengepul tegak lurus. Dari bara dan arang sisa pembakaran semalam. Prayit menebarkan pandangan. Sepi dan hening. Tak ada siapa pun di sana. Bahkan orang-orang yang biasanya tidur dekat perapian.
Prayit melangkah ke luar mendekati perapian. Berjongkok untuk memisahkan bara api dari abu dan arang. Menyatukan sisa-sisa bara yang masih menyala. Meniupnya berulang, sambil menaburkan rerumputan kering di atasnya. Tak lama api kembali menyala. Melumat rumput-rumput kering. Pria itu menambahkan ranting-ranting kecil di atasnya. Nyala api kian besar. Begitu asyiknya, hingga tak menyadari sosok lain yang mendekat.
“Pak!” Sapa orang itu. Prayit terlonjak kaget. Sosok itu berdiri sambil menutupi mulutnya yang menguap.
“Astaghfirullah! Bikin kaget saja!” seru Prayit. Alang hanya tersenyum meringis.
“Bapak, lihat Bang Endi?” tanya Alang seraya melempar potongan kayu ke perapian. Prayit sempat melihatnya. Sepotong kayu yang ujungnya arang padam.
“Sudah saya duga. Itu pasti ulahmu!” ujar Prayit seraya menoleh ke arah bangkai pesawat. Di antara jendela bagian ekor pesawat, ada tulisan baru. “Let’s Survive!” Jika dirangkai utuh kalimat itu berbunyi: We’re still alive, fight for life, let’s survive! “Buat apa tulisan-tulisan itu?” tanya Prayit penasaran.
“Untuk jaga semangat. Biar bisa k****a tiap bangun tidur,” jawab Alang polos. Prayit tersenyum. Semua tulisan memang jelas terbaca. Bahkan dari lokasi perapian. Terkesan hanya untuk menghibur diri. Bahkan beberapa survivor menganggapnya konyol. “Oh, ya, Bapak lihat Bang Endi?” Alang mengulangi pertanyaan. Prayit menggeleng.
“Yang berjaga semalam juga belum terlihat,” jelas Prayit.
“Apa mereka cari air? Jangan-jangan aku ditinggal!” ujar Alang sambil garuk-garuk kepala.
“Kalau iya, ini kemajuan,” sahut Prayit. Alang hanya tersenyum.
“Tekanan membuat orang berubah. Jadi lebih baik, atau sebaliknya,” ceplos Alang polos. Prayit hanya tersenyum. “Aku susul mereka, Pak!” sambung Alang.
“Berhati-hatilah!” Prayit mengingatkan. Alang mengangguk. Lalu bergegas melangkah ke barat. Menuju lembah. Tempat biasa mereka mencari air.
Setelah Alang pergi, Prayit melanjutkan pekerjaannya. Membenahi perapian. Api bagi survivor sebanding dengan harapan. Tak hanya sebagai penerang, memasak, atau penghangat, tapi sebagai pengusir hewan liar. Jadi harus dijaga bara dan nyalanya. Sepanjang waktu. Bahkan di saat hujan sekalipun. Api itu mereka lindungi dengan serpihan pesawat.
Mendadak terdengar suara gaduh. Prayit mendongak, seraya memandang curiga ke arah bangkai pesawat. Ia menajamkan pendengaran. Suara itu muncul dari kabin tengah. Tak menunggu lama, Prayit bergegas menuju ke sumber suara.
“Habis kita, Pak! Habis!” pekik Dewi begitu melihat kehadiran Prayit. Wajahnya panik dan pucat. Prayit masih belum mengerti. Orang-orang mulai terjaga. Terbangun akibat teriakan Dewi.
“Habis? Apanya yang habis?!” tanya Prayit belum mengerti.
“Semuanya! Semuanya!”
“Bicara yang jelas, Bu!?” protes Prayit.
“Makanan kita! Air kita! Semuanya hilang!” Perempuan itu mulai menangis. Prayit melongo tak percaya. Dengan terbata Dewi menjelaskan logistik yang telah raib dari tempatnya.
Prayit bergegas memeriksa ulang. Memastikan kebenarannya. Memang hanya terlihat sisa-sisa kotak makanan. Bekas gelas plastik dan botol air mineral, serta dua pelampung kantung air yang kosong. Prayit meremas kotak-kotak itu. Lalu membantingnya ke lantai kabin dengan gemas. Kemudian ia duduk terhenyak. Napasnya memburu menahan emosi yang membludak.
“Pesawat ini dilengkapi enam buah pintu. Dua di depan, dua di belakang, dan dua pintu darurat di tengah. Satu di sebelah kiri, dan satu di sebelah kanan—.” Semua kaget dan menoleh. Mendapati Dini berdiri di tengah-tengah lorong kabin. Wajahnya tersenyum ramah. Seraya memperagakan safety talk. Layaknya pesawat hendak tinggal landas. Pramugari itu sudah tak mampu berpikir normal. Buru-buru Lia menghampiri hendak memapahnya ke pinggir. Tapi Dini menepisnya. Ia tak mau tugasnya dihalangi.
“Mbak. Pesawat kita sudah mendarat,” tegur Lia pelan. Dini kaget. Menoleh ke sekeliling. Semua mata menatap ke arahnya.
“Oh, maaf, maaf. Saya kira mau take-off,” ujarnya linglung. Lia mengangguk.
“Mbak, boleh istirahat,” ucap Lia makin kelu. Dini mengangguk berulang-ulang. Lia memapahnya dengan mata berkaca-kaca. Semua memandangi dengan batin teriris.
“Pak—.” Sam menyentuh bahu Prayit. Ia menunjuk ke satu arah. Mereka melihat ke arah yang ditunjuk Sam. Semua orang terkesima. Para perempuan itu memekik memalingkan muka. Mereka hanya terfokus pada berita hilangnya makanan. Tak menyadari sosok yang terkulai di antara kabin kepala dan kabin tengah. Di situ tubuh Darwis terbujur mengenaskan. Matanya melotot dengan mulut menganga. Bahkan lidahnya setengah terjulur. Tampak pula bercak darah di bagian perut. Merembes di celah-celah kain perca yang membungkus perut. Menetes mengalir ke lantai kabin. Darah itu sudah menghitam dan beku.
Perlahan Prayit mendekat. Mengusap wajah Darwis menutupkan matanya. Melihat kondisi itu, muncul banyak pertanyaan di benak Prayit. Laki-laki itu tercenung di samping jasad Darwis. Batinnya campur aduk. Merasa bingung, kecewa, panik, sedih dan marah. Mendadak matanya berubah liar. Bergantian memandangi wajah orang-orang di sekelilingnya. Di sana ada Kikan, Dewi, Sam, Ramon, Lia, dan Dini—yang sibuk dengan dunianya sendiri. Juga orang-orang yang tergolek lemah; Bella, Martha, dan Rara. Di ujung kabin jasad Anna terkulai. Ditutupi jaket di bagian wajah.
Wajah-wajah survivor yang tampak cemas dan takut. Tapi bukan takut layaknya orang yang menyembunyikan kesalahan. Melainkan shock dan kebingungan. Jika semua logistik hilang, apa lagi yang bisa mereka makan untuk bertahan. Beberapa wanita mulai menangis.
“Mana Jarot!? Mana orang-orang yang berjaga semalam?!” Mata Prayit berputar liar. Orang-orang serentak menggeleng. “Kita harus menanyai mereka!” sambung Prayit sembari tergesa melangkah ke luar kabin. Ramon dan Sam membuntuti.
Mereka berteriak-teriak memanggil Jarot, Endi, Henky, Kiki, Suba, juga Rusdi. Namun tak satu suara pun menyahut. Orang-orang itu bergerak berputar mengelilingi reruntuhan pesawat. Hingga mengarah ke pemakaman. Namun sampai kehabisan suara. Belum juga ada sahutan. Akhirnya mereka kembali ke kabin. Prayit memanggil Kikan. Masih dengan pipi basah oleh air mata Kikan mendekat.
“Kau pernah ikut cari air?” tanya Prayit. Gadis itu mengangguk. “Ayo! Kita cari mereka. Alang juga sedang ke sana!” lanjut Prayit. Sam dan Ramon hendak ikut, tapi Prayit melarang. Menyuruh mereka tetap berjaga di kabin.