Tergesa Prayit dan Kikan menuju lembah. Gadis itu juga berteriak memanggil Alang. Namun tak ada sahutan. Mereka terus bergerak menuju lembah sungai pegunungan. Patahan-patahan tebing yang mencuat di lembah sudah terlihat. Kikan berhenti, sekali lagi dia berteriak memanggil Alang. Suaranya memantul hingga ke dalam lembah. Saat mereka menajamkan pendengaran. Dari arah lembah terdengar sahutan. Terdengar cukup jauh.
“Itu Alang, Pak!” seru Kikan. Prayit mengangguk. Mereka bergegas melangkah turun. Suara teriakan Alang terdengar lagi. Makin dekat dan jelas. Sepertinya Alang juga tengah bergerak ke atas. Mereka bertemu di bawah pohon damar yang besar. Wajah Alang menampakkan keletihan dan kebingungan.
“Pada nyusul ke sini?” tanya Alang dengan napas tersengal. Sepertinya ia tadi berlari menuju ke atas. Sekarang pemuda itu terduduk di tanah. Dadanya turun naik, sibuk mengatur napas. Prayit dan Kikan juga tampak terengah-engah. Mereka juga ikut duduk di tanah. Tak hanya napas yang tersengal. Peluh pun membanjir.
“Nggak ada orang di lembah,” jelas Alang saat napasnya mulai teratur. Prayit terdiam. Jika mereka tak sedang mengambil air. Lantas di mana dan ke mana? Benak Prayit dipenuhi bermacam pertanyaan. Otaknya berpikir keras. Mencoba mengaitkan benang merah dari rentetan peristiwa pagi itu.
“Ayo, kita kembali ke kabin!” ajak Prayit sambil berdiri. Kikan bangkit mengikuti. Begitu juga Alang. Pemuda itu berusaha membarengi langkah Kikan. Setengah berbisik ia bertanya.
“Ada apa? Kenapa muka Pak Prayit begitu?” tanya Alang penasaran. Namun Kikan menggeleng sambil menutupi mulut. Matanya kembali berair. Gadis itu malah mempercepat langkah. Seakan ingin menghindar. Alang memburunya. “Ada yang meninggal lagi?” cecar Alang. Lagi-lagi Kikan menggeleng. Alang makin penasaran. Apa lagi melihat Kikan menangis. Alang meraih tangan Kikan dan menahannya. “Tolong jawab! Ada apa sebenarnya?!” Bentaknya kesal. Kikan terkesiap. Terdiam sesaat, lalu menghambur ke arah Alang. Memeluknya sambil menangis. Alang terkesiap kebingungan.
“Semua makanan hilang, Lang, dan—Pak Darwis meninggal tak wajar!” Dengan sesenggukkan Kikan berusaha menjelaskan.
“Apa?!” Alang melepas pelukan Kikan. Lalu mencengkeram bahu gadis itu. “Meninggal tak wajar gimana?!” cecar Alang dengan mata melotot. Kikan tak menjawab. Malah meringis kesakitan. Tak sadar Alang mencengkeram kelewat keras. Melihat itu, Prayit berbalik menghampiri. “Ada apa sebenarnya, Pak?” tanya Alang beralih ke Prayit. Alang melepas cengkraman di bahu Kikan.
“Nanti saya jelaskan. Sekarang kita harus memakamkan Bu Anna dan Darwis dulu,” jawab Prayit singkat. Ketiganya kembali melangkah. Masing-masing benak masih menciptakan pertanyaan-pertanyaan sendiri. Terlebih lagi Alang yang belum tahu apa-apa.
Bekas lintasan pesawat yang jadi kuburan massal itu kembali dikerumuni survivor. Ada dua gundukan baru. Itu makam Anna dan Darwis. Sam duduk bersimpuh di samping makam mamanya. Tampak berdiri di sana Prayit, Alang, Kikan dan Lia. Sementara Dewi dan Ramon tetap berjaga di kabin.
“Tuhan memang sedang menguji kita. Semalam Bu Anna meninggalkan kita. Paginya kita mendapati Darwis meninggal mengenaskan. Orang-orang menghilang, berikut logistik kita. Entah apa yang telah terjadi sebenarnya—,” kalimat Prayit terhenti untuk menarik napas. “Sekarang—tak usah kita saling menyalahkan. Apa lagi menyalahkan diri sendiri. Ini cobaan yang harus kita jalani—,” kalimat Prayit kembali terputus. Semua diam mendengarkan dengan kepala tertunduk. “Tadi Alang mengusulkan untuk mencari mereka. Tapi saya tak setuju, sebab kita tak tahu harus mencarinya ke mana. Apa lagi di antara kita ada yang sakit. Kita tak boleh terpencar dan terpisah. Itu hanya akan melemahkan kita. Hewan saja berkelompok, biar lebih kuat. Sebagai manusia, tentunya kita lebih paham akan hal ini!” jelas Prayit dengan suara bergetar. “Jika mereka memang sengaja memisahkan diri, kita boleh kecewa, marah atau memaki. Namun semua sudah terjadi. Biar hukum Tuhan yang akan membalas. Dan, kita tak boleh menyerah!” tambah Prayit.
“Tapi—sekarang kita tak punya apa-apa lagi.” sela Lia dengan suara serak.
“Kita tak banyak pilihan. Tetap harus berjuang,” sahut Prayit.
“Berjuang itu butuh senjata. Dalam kondisi ini, air dan makanan adalah senjata kita. Jika semua tak ada, bagaimana kita akan berjuang?” tepis Sam perlahan. Suasana menjadi hening. Semua menatap Prayit. Menantikan jawaban. Tapi laki-laki itu masih bungkam.
“Kita masih punya harapan. Juga semangat. Itu senjata yang paling ampuh—selain keyakinan dan pemikiran.” Kata-kata itu memecah kebekuan. Semua mata menoleh ke sumber suara. Itu suara Alang.
“Itu semua tak bisa dimakan. Prinsipnya, makananlah yang menjaga kita untuk tetap semangat, berharap dan berpikir,” tukas Lia tak sepakat.
“Benar, Mbak. Tapi sekarang kondisinya terbalik. Makanannya sudah hilang. Jadi prinsip itu juga harus dibalik. Menjaga semangat dan harapan untuk mendapatkan makanan. Biar hidup bisa diperjuangkan!” jawab Alang serius. Semua memandangnya dengan ragu.
“Caranya?” tanya Sam tak kalah serius.
“Ini hutan belantara. Banyak tumbuhan yang bisa dimakan. Hanya butuh dicari, diolah, dan dipahami,” jelas Alang dengan raut optimis.
“Dipahami dan diolah gimana? Kita tak punya alat. Juga bumbu-bumbu!” Alang menghela napas mendengar perkataan Lia.
“Bukan soal bumbu, tapi memahami kalo makanan itu nggak umum. Bersifat darurat. Jauh dari enak, apa lagi gurih!” terang Alang. Lia menatapnya tak paham.
“Menu hutan lagi!” ceplos Kikan setengah bergumam. Beberapa pasang mata beralih ke arahnya. Gadis itu mendadak kikuk. Alang tersenyum melihatnya.
“Ya. Itu menu bertahan hidup. Menunya orang-orang seperti kita. Pilihannya bukan soal rasa, jenis, atau bentuk. Tapi beracun atau nggak. Aman dimakan atau nggak. Itu aja!” jelas Alang lagi. Semua bungkam. Mereka berpikir, lalu bertanya pada diri masing-masing. Apa mereka mampu mengkonsumsi makanan yang bisa saja aneh, menjijikkan, bahkan beracun? Bagaimana jika racun itu mematikan? Ini bukan permainan catur yang bisa mengulang saat terjadi kesalahan!
“Jujur. Kami tak banyak tahu tentang itu. Apa lagi untuk memakannya. Namun—jika terpaksa, akan kami lakukan juga.” Prayit menutup pertemuan itu. Alang mengangguk pasti. Kini ia merasa punya tanggung jawab besar. Mencarikan makanan bagi para survivor. Satu persatu mereka meninggalkan lokasi pemakaman. Kecuali Sam, laki-laki itu masih duduk bersimpuh. Ia masih ingin memanjatkan doa-doa bagi arwah ibunya.
Sebagian survivor berkumpul dekat perapian. Hanya beberapa orang yang tetap berjaga di kabin. Alang, Sam dan Kikan, baru saja tiba dari mengambil air. Mereka hanya membawa dua kantung pelampung dan dua botol air mineral. Dewi sedang merebus air dalam misting. Sekarang mereka lebih sedikit bicara. Melakukan aktivitas dengan diam. Semua kejadian yang baru saja lewat, sangat mempengaruhi mental. Kematian Anna, pengkhianatan, pencurian dan pembunuhan yang dilakukan oleh rombongan Jarot, juga kegilaan Dini. Semua terjadi pada hari yang sama.