Prayit mengupas rebung-rebung yang mereka ambil kemarin. Sewaktu makanan masih ada, tak ada yang mau menyentuh tunas-tunas pohon itu. Kecuali Alang, Endi, dan Kikan. Hanya ketiga orang itu yang memakannya. Terasa hambar dan berserat getas. Ya, hanya rebung rebus. Jauh berbeda andai irisan rebung itu ditaburi bumbu, kubangan kuah santan, atau jadi tumisan. Tapi sekarang rebusan tunas bambu itu akan jadi pilihan utama. Menjadi satu-satunya makanan yang mereka miliki.
“Bagaimana air di sungai, Lang? Masih ada?” tanya Dewi memecah kebisuan. Alang tersentak dari lamunannya.
“Masih, Bu,” jawabnya buru-buru. Wajah Dewi tampak lega. Berbeda dengan wajah Kikan dan Sam. Merasa bingung dengan jawaban Alang. Kenapa Alang berbohong soal air. Karena sebenarnya air di ’batu tadah hujan’ itu makin sedikit. Sudah banyak cerukan yang kering. Tadi saja mereka harus menjelajah lebih jauh ke bawah lembah. Itu pun sedikit dan keruh. Dipenuhi dedaunan dan ranting busuk. Tapi Kikan dan Sam diam saja. Mereka yakin Alang punya alasan untuk berbohong. Mungkin tak ingin membuat mereka khawatir.
“Tolong ambil gelas-gelas itu, Kan!” pinta Dewi pada Kikan. Gelas-gelas bekas air mineral itu berada di kabin tengah. Kikan bergegas menuju kabin.
“Sebelumnya—Apa Bapak pernah memperkirakan tindakan mereka ini?” tanya Alang memecah keheningan. Prayit menghentikan aktivitasnya. Menatap Alang sebentar lalu menggeleng.
“Saya pikir, mereka cuma orang-orang kritis dan pesimis. Tak terbersit sedikit pun, akan bertindak sejauh ini,” jawab Prayit sambil menghela napas. Alang mengangguk.
“Yang bikin bingung itu Bang Endi,” ujarnya dengan raut terlihat kesal.
“Kenapa? Apa bedanya dengan yang lain?” tanya Dewi.
“Sejak awal, dia selalu bisa diajak kerja sama. Ternyata—sama aja!” jelas Alang masih dengan mimik kesal. Prayit hanya menatapnya.
“Kau sendiri yang bilang, kondisi tekanan bisa mengubah orang. Jadi lebih baik atau buruk. Mungkin itulah yang telah terjadi,” jawab Prayit dengan wajah masam. Alang tersenyum kecut. Jadi Ingat dengan beberapa kisah perjalanannya. Saat berada wilayah peradaban, ia banyak menemui orang-orang baik yang bisa berbagi. Namun di kondisi berbeda—apa lagi dalam kondisi terbatas dan tertekan—sifat asli mereka akan terlihat. Ada yang tetap baik, atau bahkan sebaliknya. Ego-nya akan muncul. Secara halus, atau pun terang-terangan.
Kikan muncul dengan tumpukan gelas plastik. Menyusunnya di permukaan tanah yang agak datar. Sam membantu Dewi menuang air rebusan ke dalam gelas-gelas plastik. Satu persatu dan hati-hati. Seakan tak ingin tumpah setetes pun. Setelah semua gelas terisi. Mereka biarkan berangin, agar lebih hangat dan dingin.
“Saya boleh tanya sesuatu, Lang?” tanya Prayit sambil menatap Alang. Wajah itu terlihat serius. Alang sedikit bingung. Dewi, Kikan dan Sam jadi ikut menatapnya.
“Tanya apa, Pak?” Alang balik bertanya belum mengerti.
“Apa yang ada di benakmu sekarang?”
“Di benak? Maksud Bapak?” gumam Alang makin bingung.
“Maksud saya, caramu menyikapi semua ini. Kau tampak tenang. Seperti Romo,” jelas Prayit. Alang terdiam. Masih bingung dengan pernyataan itu. Semua menatap penasaran. Alang makin kikuk dan gugup.
“Kurasa, Bapak salah. Aku tak lebih tenang dari Bapak,” elak Alang jujur. Prayit tersenyum sambil menggeleng.
“Pandangan saya tak salah, Lang. Kau lebih tenang, padahal secara usia, kau masih muda. Itu yang ingin saya ketahui,” tegas Prayit. Alang terdiam sesaat. Belum tahu harus menjawab apa.
“Kurasa sama. Merasa panik dan takut. Hanya berusaha segera memahami semua. Sebab, nggak ada masalah yang bisa diselesaikan dengan kepanikan. Sosok Romo cukup memotivasiku,” papar Alang serius.
“Cuma itu?” tanya Kikan tak puas. Alang mengangguk.
“Mental itu butuh sugesti positif. Agar bisa bangkit. Tapi kalo nggak bisa membangkitkan sendiri, seraplah dari luar. Lihat siapa, dan apa yang ada di sekitar kita. Kadang kita butuh pemicu untuk membangkitkan semangat yang disembunyikan rasa takut.” Mereka masih bungkam mendengar kata-kata Alang. “Maaf, ini nggak bermaksud mengajari—,” tambah Alang sedikit kikuk.
“Tak apa, Lang. Tak ada salahnya mendengar pendapat anak muda. Anak muda itu lebih kreatif dalam berpikir,” terang Dewi seraya tersenyum.
“Benar. Orang tua juga tak selalu benar.” Prayit menambahkan. Alang diam saja.
“Itu tak mudah. Tak semua orang bisa seperti itu,” ujar Sam mengajak kembali ke topik pembicaraan. Alang mengangguk setuju.
“Semua butuh proses, mungkin juga pengalaman,” jawab Alang.
“Susahnya! Harus sering-sering kena masalah. Biar banyak pengalaman,” ceplos Kikan. Semua tersenyum mendengarnya.
“Masalah itu resiko hidup. Pengalaman didapat saat kita mampu mengatasinya. Tapi nggak semua bersumber dari masalah. Bisa juga lewat aktivitas. Contohnya, ya—Romo,” ungkap Alang.
“Romo?” tanya Dewi. Alang mengangguk.
“Dia itu surveyor pertambangan. Sering ke luar masuk hutan. Saat mencari sumber-sumber tambang. Hutan seakan jadi rumah ke dua baginya. Jadi paham seluk-beluk hutan. Tahu kendala-kendala saat berada di hutan. Tentu itu bisa membuatnya lebih cepat menguasai keadaan, untuk menentukan langkah selanjutnya,” papar Alang serius. Mereka terdiam. Berusaha mengingat kembali sepak terjang Romo. Sejak awal kejadian hingga pembentukan Tim Penerobos. Sosok Romo memang paling menonjol di antara mereka semua.
“Itukan Romo—sementara kau sendiri masih mahasiswa?” tanya Dewi lagi.
“Tapi dia sering ke gunung, Bu. Makanya masih cengengesan,” terang Kikan menimpali. Dewi memandang ke arahnya. Alang tersenyum meringis.
“Oh iya, dia kan si Tukang Kemping!” timpal Dewi. Mereka tertawa mendengarnya.
“Mau muram atau cengengesan. Sama aja. Mending cengengesan, ada energi positifnya.” Alang membela diri.
“Iya, tapi kalo kebanyakan, jadi negatif!” tepis Kikan. Mereka tertawa mendengar ucapan Kikan. Alang cuma garuk-garuk kepala.
“Eh! Sebentar—!” seru Kikan tiba-tiba. Semua mendadak diam. Menatap gadis itu mematung. Seperti sedang menajamkan pendengarannya.
“Ada apa?” tanya Prayit perlahan.
“Sebentar, Pak! Seperti—suara orang minta tolong?!” jawab Kikan setengah berbisik. Semua mendadak mematung. Ikut menajamkan indera pendengaran. Suasana jadi tegang dan hening.
“Dari kabin?!” pekik Sam dan Prayit seraya berdiri. Mereka menghambur menuju kabin pesawat. Belum lagi mereka sampai kesana. Alang berteriak.
“Arah lembah!” Pemuda itu menghambur menuju lembah. Prayit dan Sam jadi berbalik menyusulnya. Alang berteriak-teriak memanggil suara itu.
“Siapa?!” pekik Alang melintasi rute lembah. Rute yang biasa mereka lewati jika hendak mencari air. Belum juga ada sahutan. Hanya gema pantulan suaranya sendiri di lembah.
“Laang—!” Alang terkejut. Suara serak itu malah memanggil namanya. Dari arah belakang. Di sebelah kiri lintasan. Alang berbalik.
“Berteriaklah lebih kuat! Biar kami bisa menemukanmu!” sahut Alang. Hening. Namun tak lama ada erangan lagi. Sayup-sayup lemah.
“Sebelah sini, Bang!” teriak Alang pada Sam. Alang menunjuk rimbunan semak di kiri lintasan. Lokasi yang baru saja ia lewati. Alang mundur. Sam maju ke depan. Sambil terus berteriak mereka menyisir lokasi itu. Prayit mengikuti dari belakang. Belukar lebat itu cukup menyusahkan pergerakan dan penglihatan. Harus disibakkan atau direbahkan. Dengan jarak sekitar dua meter, mereka terus melakukan gerakan penyisiran.