Mendadak Alang terpekik mundur. Di pinggir jurang semak, di antara posisi dia dan Sam, tampak sosok tengah menggeliat. Seperti hendak menggapai sesuatu. Wajah sosok itu dipenuhi bercak merah seperti darah!
“Tooloonghh—!” Sosok itu berteriak. Namun suaranya seakan tercekik. Alang terkesiap menatapnya.
“Baaang! Di sinii!” pekiknya pada Sam. Sam dan Sam berlari menghampiri. “Siapa k-kau?!” tanya Alang gugup. Karena belum mampu mengenali sosok tersebut.
“Enn-ndikh—!” Lagi-lagi Alang terkesiap. Tergesa ia menuruni jurang semak. Berdiri di samping sosok yang masih dalam posisi tengkurap. Alang merangkulnya dari belakang. Berusaha mengangkat dan mendorongnya ke atas. Tapi seperti keberatan. Sam dan Prayit muncul. Mereka pun tak kalah kaget.
“Siapa, Lang?!” pekik Prayit berteriak dari atas.
“Bang Endi!”
“Ya, Tuhan!” Prayit dan Sam segera meraih tangan Endi. Menariknya ke atas. Sementara Alang mendorong dari bawah. Bahu-membahu ketiga orang itu mengangkat tubuh lemas Endi. Setelah Endi berhasil dievakuasi ke atas, Alang memerhatikan benda-benda hijau yang ramai berlompatan kian kemari. Dari dedaunan dan ranting semak belukar. Alang menangkap yang menempel di tangannya. Menelitinya sebentar, lalu bergidik buru-buru memanjat tepian jurang semak. Beberapa kali ia terpeleset dan gagal. Alang berteriak minta bantuan. Sam dan Prayit segera menariknya ke atas.
Ketiganya menggotong tubuh Endi ke lokasi perapian. Kikan dan Dewi panik melihat sosok Endi. Kondisi laki-laki itu tak hanya basah oleh embun, tapi basah oleh darah! Cairan merah itu tak hanya membanjiri wajah dan kepalanya. Tapi juga dari balik pakaiannya.
“Bang Endik digigiti pacet, Pak!” teriak Alang.
“Buka pakaiannya!” usul Prayit. Buru-buru Sam dan Alang melucuti pakaian yang dikenakan Endi. Hingga hanya mengenakan celana dalam.
“Astaghfirullah!” Prayit terpana melihatnya. Sekujur tubuh Endi dikerubuti mahkluk-makhluk kecil berwarna coklat bergaris hijau dan coklat gelap. Itu pacet daun dan pacet tanah! Hewan-hewan itu bergelantungan, diam, menggeliat-geliat, atau sibuk memanjangmendekkan badan. Mereka sedang pesta darah di tubuh Endi. Semua tampak buncit berisi darah. Luka-luka bekas gigitan hewan itu terus mengucurkan darah. Endi hanya bisa mengerang sambil menggeliat kesakitan. Para wanita menjerit sambil menutup muka. Buru-buru menyingkir ke kabin ekor. Hanya berani melihat dari kejauhan. Dengan gemas Sam dan Prayit mencabuti pacet-pacet yang menggigiti Endi. Alang berteriak mencegah.
“Jangan dicabut, Bang. Pakai bara api!”
“Kelamaan! Keburu kehabisan darah!” potong Sam tak menghiraukan. Terus mencomoti beberapa pacet gendut. Alang menangkap tangan Sam.
“Kalo dicabut paksa, gigitan itu akan merobek jaringan pembuluh darah. Pacet punya antikoagulan, zat anti pembekuan darah. Itu malah membahayakan Bang Endi!” jelas Alang serius. Sam bengong mendengarnya. Dia belum tahu tentang itu. Selama ini jika digigit pacet, buru-buru dicabut, dibanting, lalu diinjaknya sampai mati. Mungkin hanya karena satu-dua pacet. Tapi kalau banyak tentulah berbahaya.
Alang mengambil potongan kayu di perapian. Meniup-niup ujung baranya. Lalu menyundut pacet-pacet itu dengan bara api. Hewan-hewat itu menggelijang kesakitan, lalu jatuh sendiri. Sam dan Prayit mengikuti cara Alang. Ramon juga keluar kabin, saat mendengar pekikan Dewi dan Kikan. Ramon ikut ambil bagian. Mereka berempat sibuk membakari pacet-pacet itu dengan bara api. Entah berapa puluh, mungkin ratusan yang berjatuhan ke tanah. Beberapa ekor yang berwarna hijau, masih berusaha untuk melentingkan tubuh. Seperti hendak melarikan diri. Tapi tiap pacet yang jatuh, segera mereka masukkan ke dalam api. Terdengar suara mendesis saat tubuh mereka pecah terbakar.
Endi mengerang, seakan ingin menunjukkan belakang kepalanya. Alang segera memeriksa. Menyibakkan rambut bagian belakang kepala Endi. Di sana ada memar, sekaligus luka sobek. Luka akibat pukulan Rusdi semalam. Tapi yang bikin ngeri, luka itu dikerumuni belasan ekor pacet hijau dan coklat. Seakan sedang berebut lumbung makanan. Berhimpitan sambil menghujamkan moncongnya ke celah luka. Alang dan Ramon menyundut mereka dengan gemas. Pacet-pacet menggeliat, seakan ingin menghindari panas. Begitu jatuh, pacet-pacet itu langsung mereka lempar ke dalam perapian.
“Kami akan membuka celana Endi!” pekik Prayit ke arah para wanita yang masih memandangi dari kejauhan. Dewi, Kikan dan Lia buru-buru masuk kabin. Tanpa rasa jengah, mereka memeriksa ke bagian pinggang, s**********n, bahkan ke bagian vital Endi. Di situ mereka menemukan delapan pacet yang gendut. Pesta darah para vampire semak itu pun berakhir di perapian. Ternyata aroma pacet yang terbakar itu cukup menggugah selera. Mirip aroma daging panggang. Membuat perut para survivor makin keroncongan. Membuat peristiwa mengerikan itu sedikit konyol.
“Bicaranya nanti saja. Sekarang kau minum dulu.” Cegah Prayit saat melihat Endi hendak berbicara. Alang memangku kepala Endi. Membantunya minum. Sesekali wajah yang dilumuri darah itu meringis menahan sakit. Endi tampak sangat lemah dan pucat. Akibat banyak kehilangan darah. Karena gigitan hewan itu tak hanya satu atau dua ekor pacet, melainkan puluhan bahkan ratusan. Jelas itu membahayakan. Selain bisa bikin kehabisan darah, luka-luka gigitan itu juga akan menyiksa. Terasa gatal, perih dan panas. Apa lagi kalau sampai infeksi.
“Bawa gelas-gelas ini ke kabin, Mon. Mereka semua belum minum. Sam bantu Ramon, sekalian carikan pakaian ganti untuk Endi!” Perintah Prayit pada Ramon dan Sam. Masing-masing mereka membawa empat gelas air. Di situ masih ada lima gelas lagi untuk jatah para pria. Alang merebus air dan rebung yang dikupas Prayit tadi. Selanjutnya, Alang dan Prayit membersihkan luka-luka Endi dengan air hangat. Berkali-kali Endi mengerang kesakitan. Setelah usaha pembersihan luka itu usai, Alang meminta ijin pada Prayit.
“Aku mau ke kokpit sebentar, Pak!”
“Ada apa?” tanya Prayit.
“Seperti ada yang bergerak-gerak di balik pakaianku!” jawab Alang bergidik. Prayit mengangguk paham. Pemuda itu bergegas menuju kepala pesawat. Setelah berada dalam kokpit, ia melucuti seluruh pakaian. Hendak memeriksa sekujur tubuh. Memastikan dirinya benar-benar terbebas dari pacet. Setelah merasa yakin, ia kenakan kembali pakaiannya, dan kembali ke perapian. Ternyata Prayit ingin mengikuti jejaknya. Alang mengangguk tersenyum.
“Dari mana tadi? Pak Prayit mau ke mana?” tanya Sam saat kembali ke perapian. Ia membawa pakaian ganti untuk Endi.
“Dari kokpit. Memeriksa tubuh,” jawab Alang singkat.
“Memeriksa tubuh?” tanya Sam belum mengerti. Alang mengangguk.
“Abang yakin, tubuh Abang bersih dari pacet? Coba diam, dan rasakan sebentar,” jelas Alang lagi. Meski bingung, Sam menurutinya. Ia diam mematung. Menajamkan indera perasa ditubuhnya.
“Tak ada—.” Sam menggeleng yakin. Alang mengangguk.
“Bersinggungan dengan pacet itu nggak enak. Mereka seperti tak mau hilang. Seakan sedang sembunyi, lalu merayap. Siap-siap menggigit kalo kita lengah,” jelas Alang sambil senyum menyeringai.
“Ah! Kau mendramatisir. Sugesti itu namanya!” tepis Sam sembari tersenyum.
“Aku serius, Bang,” sahut Alang.
“Terus—bagaimana cara menghilangkan sugestinya?”
“Telanjang!” jawab Alang singkat.
“Hah?!” Sam kaget mendengarnya. Alang hanya tersenyum.
“Itu caraku. Biar leluasa memeriksa tiap jengkal tubuh atau pakaian kita,” jelas Alang lagi. Sam diam saja. Mereka membantu memakaikan baju dan celana Endi. Tubuh itu terkulai bagai bayi diganti popok. Pakaian ganti itu pun masih juga dirembesi darah. Belum selesai membantu memakaikan baju Endi, Sam mendadak menggelijang.
“Sebentar, Lang. Sepertinya—eh!” Lagi-lagi Sam menggelijang. Ia menarik-narik s**********n celananya. Alang meringis menahan tawa. “Sepertinya—saya juga harus ke kokpit!” ujarnya serius. Alang tak mampu lagi menahan tawa. Sam meringis masam. Lalu melangkah tergesa. Saat berpapasan dengan Prayit. Mereka saling pandang sebentar, lalu keduanya saling tersenyum masam.