Kemunculan Endi jelas mengubah asumsi para survivor. Mereka makin bertanya-bertanya. Apa sebenarnya yang telah terjadi. Kenapa Endi berada di jurang semak dan dikerubuti pacet? Mereka tak sabar menanti penjelasan Endi.
Para suvivor berkumpul di kabin tengah. Di sana Endi ditempatkan. Kondisinya lumayan stabil. Sudah lancar diajak berkomunikasi. Hanya masih pucat dan lemas. Endi masih bisa mengingat rentetan peristiwa malam itu. Menceritakan bagaimana usaha Jarot ingin mempengaruhi dan mengajaknya bergabung. Lalu berdebat, dicekik, hingga ia merasa ada yang memukul kepalanya dari belakang. Begitu sadar, dirinya sudah berada di rimbunan semak belukar, dan dikerubuti pacet. Ingat saat ia berusaha menepis pacet-pacet itu tapi kewalahan. Lalu berjuang menyingkir dengan merayap, tapi merasa lemas. Akhirnya hanya mampu berteriak. Berharap ada yang mendengar. Dan, Kikan orang pertama yang mendengar teriakannya.
Endi merasa terpukul saat tahu Darwis terbunuh, juga tentang logistik yang dilarikan kawanan Jarot. Tampak Endik menyesali diri, karena tak buru-buru berteriak usai dicekik Jarot. Mungkin jika ia bertindak lebih cepat, peristiwa itu dapat dielakkan. Namun Prayit membesarkan hatinya. Mengatakan semua itu bukan kesalahannya, atau salah satu dari mereka. Melainkan sudah ada yang mengaturnya. Mereka juga minta maaf, karena telah salah menilai Endi. Nyatanya dia memang orang baik yang jadi korban kebiadaban kelompok Jarot.
Bella, isteri Ramon, masih terbaring lemah. Wajah wanita muda itu makin hari makin pucat. Ia kehilangan kaki kirinya. Luka itu mengalami infeksi dan pembusukan. Menebar aroma tak sedap ke seantero kabin. Mau tak mau ia dan suaminya harus dievakusi ke kabin bisnis. Berbatasan langsung dengan kokpit. Kini nyaris sepanjang waktu Ramon mendampinginya. Hanya ke luar saat mengambil jatah makanan dan minuman. Ikut ke pemakaman, atau saat membantu membuang pacet yang menggigit Endi. Selebihnya sosok pendiam ini selalu berada di sisi isteri tercintanya. Mereka adalah pasangan muda yang baru dua bulan menikah. Ramon dan Bella menumpang Madame Air untuk pulang ke Manado, sehabis merayakan bulan madu di Jakarta.
Ramon tercenung bersandar di dinding kabin. Di samping Bella yang terbaring lemah. Batinnya berkecamuk tentang banyak penyesalan. Jika saja ia tak mengajak isterinya ke Jakarta. Tentu mereka tak akan mengalami musibah ini. Mungkin masih bersenda gurau di rumah yang baru mereka beli. Dari tabungan mereka berdua. Tak hanya diliputi rasa penyesalan, tapi juga berbagai pertanyaan. Tentang bagaimana nasib mereka selanjutnya. Agar bisa melanjutkan rumah tangga mereka yang belum seumur jagung. Bertubi-tubi ia menyalahkan dirinya sendiri.
“Bang...” Ramon terkejut. Bella memanggil dengan lirih.
“Iya, Sayang?” sahut Ramon seraya mendekat.
“Abang menangis?” tanya Bella pelan. Ramon menggeleng. Buru-buru mengusap matanya. Tapi dia tak mampu lagi berbohong. Karena Bella sudah melihat lelehan air mata di pipi suaminya. “Abang jangan menangis,” ucapnya lagi dengan lirih. Tapi bagi Ramon bagai palu godam yang menggedor-gedor batin. Air mata itu makin tak mampu lagi ditahannya.
“Maafkan, Abang.” Serak suara Ramon. Ia menggenggam erat jemari isterinya. Bella menggeleng lemah.
“Tak ada yang salah, Bang,” sahutnya seraya menatap lembut.
“Abang yang memaksa pergi. Akhirnya—begini,” ujar Ramon terbata. Bella menggeleng sembari tersenyum.
“Ini di luar kehendak kita. Setiap kejadian ada hikmahnya,” sahut Bella menguatkan hati. Ramon hanya mampu mengangguk tak bersuara. “Jangan menyesal. Apa lagi merasa bersalah. Abang tahu—,” tambah Bella. Namun kalimatnya terhenti. Seakan sedang menelan ludah yang kering. Tak sabar Ramon menantinya.
“Iya, Sayang?”
“Apa pun kondisinya—Bella bahagia. Ini liburan terindah yang pernah kita lakukan bersama,” lanjutnya wanita malang itu tulus. Lidah Ramon makin kelu untuk bicara. Ia mencium tangan Bella dengan lembut. Wanita itu tersenyum lagi. “Sebenarnya—Bella punya kejutan buat Abang.”
“Kejutan? Kejutan apa?” cecar Ramon tak sabar.
Bella tak segera menjawab. Ia menghela napas berat. “Sebenarnya, ingin Bella beritahu, saat kita tiba di rumah.” jelas Bella. Namun belum sempat Ramon menyahut, Bella menyuruhnya mendekat. Ia membisikkan dua kata ke telinga suaminya. Ramon terkejut, lalu menatap Bella dengan sorot mata tak percaya. Wajahnya cerah sesaat, lalu tangisnya pun pecah. Perasaannya campur aduk tak keruan. Ramon memeluk Bella dengan erat. Dengan mata berlinang, ia mencium kening Bella. Berulang-ulang.
Alang, Kikan dan Sam baru saja selesai mengambil air, pakis, dan rebung. Meski mulai membosankan, tapi rebung masih jadi pilihan. Alang merasa mereka harus mulai berkeliling untuk menjelajahi hutan. Karena tak mungkin hanya memakan rebung dan pakis. Dalam kondisi survival memang tak dianjurkan hanya memakan satu jenis tumbuhan. Harus variatif. Sebelum pergi menjelajah, Alang menyiapkan segala sesuatunya.
Menurut dia, untuk menjelajahi daerah liar yang belum dikenal. Mereka wajib punya alat pertahanan diri yang cukup. Jika tak ada parang, pastinya pisau. Jika tak ada pisau, kayu pemukul pun jadi. Dengan sedikit kreativitas dan kesabaran tentu bisa membuat sesuatu yang lebih bermanfaat.
Alang menyibak rimbunan bambu. Mencari batang bambu sebesar lengan anak-anak. Tampak lurus dan cukup tua. Dengan mata gergaji vicky, Alang memotongnya. Ia tak sekedar ingin membuat tongkat pemukul, tapi sekaligus alat penusuk. Sebuah bambu runcing. Tapi memotong bambu menggunakan pisau lipat bukan hal yang gampang. Mata gergaji vicky yang pendek membuat proses pemotongan jadi lambat. Namun Alang paham. Segala bentuk keterbatasan adalah sahabat para survivor. Kunci survival tak hanya sebatas ketenangan dan ketabahan. Melainkan keyakinan, kesabaran, juga kreativitas!
Akhirnya batang bambu itu pun terpotong. Alang membersihkan rantingnya. Dari ujung hingga ke pangkal batang. Lalu mencari dua batang bambu lagi yang seukuran. Setelah semuanya didapat dan dibersihkan, ia mulai membantu Sam dan Kikan mengemasi tunas-tunas rebung. Selanjutnya, ia menyeret batang-batang bambu itu ke kabin. Kikan membawa tunas-tunas rebung dengan tas kamera.
Kini sudah jadi rutinitas—tiap usai mengambil air—mereka memeriksa sekujur tubuh. Karena selalu saja ada pacet yang menempel. Baik yang belum menggigit atau sudah gemuk. Awalnya, Kikan selalu berteriak ketika menemukan pacet di tubuhnya. Tapi kini ia mulai terbiasa. Berani memegang bahkan memencetnya hingga mati. Tadi mereka hanya mendapati beberapa ekor pacet yang belum gemuk. Nasib para vampire semak itu selalu sama. Berakhir di perapian.
Udara terasa lembab dan gerah. Peluh membanjir di sekujur tubuh. Angin seakan malas berembus. Mungkin terjebak di bawah kanopi belantara. Sementara di atas kanopi, matahari melotot garang.
“Mau diapakan bambu-bambu itu?” tanya Prayit seraya menghampiri Alang.
“Bikin tombak dan perangkap!” jawab Alang singkat.
“Oh, ya?” tanya Prayit dengan mata berbinar. Alang mengangguk pasti.
“Kita harus cari makanan tambahan. Jadi butuh alat berburu, sekaligus pertahanan diri. Bukan mustahil kita akan ketemu hewan liar,” papar Alang. Prayit mengangguk. Selanjutnya ia mengambil rebung yang di bawa Kikan. Rebung-rebung akan direbus untuk makan siang.
“Kan, lihat pelat logam yang kuasah kemarin?” tanya Alang.
“Rasanya di kabin. Sebentar!” Kikan bergegas menuju kabin. Selang beberapa saat, ia muncul lagi sambil membawa logam yang dicari Alang. Alang membawa logam itu ke bongkah batu. Batu yang terbenam sebagian ke dalam tanah itu dijadikannya landasan. Lalu dengan batu sekepalan tangan, ia memukuli sisi logam. Berulang kali hingga pipih. Itu pekerjaan rumahnya tempo hari. Alang berniat membuat parang darurat! Suara berdenting antara logam dan batu menggema ke penjuru hutan. Membentur badan pesawat. Menampar dedaunan dan batang-batang pohon hingga jauh ke dasar lembah.