KREATIF ITU WAJIB

1070 Words
Matahari di atas kanopi hutan tampak bersinar cerah. Angin hanya tipis berhembus lembut. Udara di dalam hutan terasa gerah. Namun kondisi itu tak menyurutkan semangat para survivor. Karena di area bangkai pesawat sudah terlihat aktivitas para survivor. Sedang sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Mereka tak tahu jika dari dalam kabin ekor, dua pasang mata sedang memandangi aktivitas para survivor. Memerhatikan gadis yang sedang membantu pria paruh baya. Mengupasi rebung-rebung bambu. Tampak juga seorang laki-laki sedang menyusun kayu-kayu bakar. Lalu seorang pemuda yang sibuk memukuli lempengan logam. Tampak peluh membasahi kening dan wajahnya. Rambut gondrongnya tampak berayun-ayun ketika ia bergerak. Entah apa lagi yang sedang direncanakan oleh pemuda itu. “Sejak rombongan Jarot pergi, kebersamaan kita makin kuat. Semua tak lepas dari pengaruh pemuda itu.” “Alang?” tanya Lia memastikan kata-kata Dewi. Wanita itu mengangguk. “Romo memang sudah tahu dan mempertimbangkan semuanya,” tambah Dewi lagi. “Maksud, Ibu?” tanya Lia belum paham. “Romo memang sengaja tak merekrut dia ke dalam Tim Penerobos. Tetap memposisikan dia berada di sini. Bersama kita yang bertahan. Karena Romo tahu ia pemuda yang bisa diandalkan,” jelas Dewi dengan raut yakin. Lia hanya diam mendengarkan. “Awalnya, kupikir dia memang cuma pemuda obsesif. Menganggap ini seperti cerita fiksi. Idenya terkesan mengada-ada,” tambah Dewi lagi. Wanita itu tersenyum sendiri. “Iya juga ya, Bu. Saat itu cuma dia, yang mendukung usul Romo—untuk mengambil dan memakai pakaian korban yang meninggal. Dia juga yang menulisi ekor pesawat. Dengan kata-kata yang menurutku sangat naif. Dia yang mengusulkan membuat tanda SOS. Dengan rongsokan pesawat. Dia yang memimpin mencari air di bebatuan gunung, dan yang paling gila ia ngotot mengenalkan kita dengan makanan-makanan hutan,” papar Lia dengan lengkap. Menceritakan sepak terjang Alang selama mereka bertahan. Dewi mengangguk membenarkan. “Iya, benar. Bukankah aksi-aksi seperti itu, banyak di film-film petualangan? Tapi ini nyata, dan kitalah para pemainnya. Entah apa yang akan terjadi, jika ia tak ada di antara kita,” ujar Dewi serius. Lia melempar pandangan ke arah Alang. “Apa karena dia memang sering kemping, ya?” tanya Lia tanpa mengalihkan pandangan. “Kikan pernah bilang, bahwa dia itu anggota mapala Kampus. Dia juga dikenal cukup cerdas,” puji Dewi dengan raut tulus. “Apa cuma karena dia mapala?” tukas Lia tak percaya. “Memangnya kenapa?” ujar Dewi balik tanya. “Biasanya mereka cuma naik gunung. Selebihnya, ya, nongkrong di sekret!” tambah Lia dengan raut masam. “Apa semuanya begitu?” Dewi bertanya lagi dengan dahi berkerut. “Entahlah. Tapi di kampusku dulu begitu. Meski ada aksi sosial dan lingkungan. Tapi mereka lebih sering sibuk dengan dunia mereka sendiri. Malah kadang tawuran antar mapala fakultas!” tambah Lia lagi. “Oh, ya? Apa dulu kau sempat bergabung?” tanya Dewi penasaran. Lia tampak kikuk, lalu menggeleng. Dewi menatapnya penasaran. Menunggu jawaban dan penjelasan Lia. “Dulu saya sempat dekat dengan ketua Mapala, Bu,” jawab Lia tersipu malu. Raut mukanya terlihat memerah jengah. Dewi tersenyum paham. “Berarti tak semuanya begitu. Kembali ke pribadi masing-masing. Sepertinya Alang itu berbeda. Ia sanggup menebarkan semangat positif pada kita. Coba lihat! Sekarang, apa yang sedang ia rencanakan. Tadi ia menyeret-nyeret batang-batang bambu. Kini malah memukuli kepingan logam itu.” Mata keduanya terus memerhatikan Alang. Sepertinya dalam tiap-tiap gerakannya adalah semangat. Denting tumbukan logam dan batu itu menjadi irama hidup. Menggema membahana di seantero kawasan hutan. Menerobos masuk ke relung-relung jiwa para survivor. Menghantarkan denting-denting semangat dan harapan. Harapan untuk tetap melanjutkan, memperjuangkan, serta mempertahankan hidup. Logam itu kian pipih. Sekarang Alang mengeseknya ke permukaan batu. Maju mundur layaknya mengasah pisau. Kini bagian pipih logam itu semakin tipis. Seperti mata pisau. “Mau dibikin apa?” tanya Sam seraya mendekat. “Mau bikin golok, Bang,” jawab Alang meringis. Ia terlihat sedang mengerahkan semua tenaganya. “Sini, biar saya bantu, Lang!” ujar Sam menawarkan bantuan. Dengan senang hati Alang menyerahkannya. Selanjutnya, Alang melangkah mendekati kabin. Mengambil kabel, juga perca pembungkus bangku pesawat yang telah ia kumpulkan. Lalu kembali balik mendekati Sam. “Apa ini sudah cukup?” tanya Sam begitu Alang mendekat. Alang meraba permukaan logam. Ia mengangguk. “Lumayan tajam. Bahkan ini jauh lebih rapi, Bang. Makasih!” serunya cerah. Alang membalutkan pangkal logam itu dengan perca-perca bangku pesawat. Lalu mengikatnya dengan kabel. Kini golok darurat itu sudah memiliki pegangan. Alang mencoba untuk mengayun-ayunkannya sejenak. Melakukan gerakan menebas atau membacok. “Sekarang kita punya golok, Bang. Meski darurat!” ujar Alang dengan wajah semringah. “Kau memang kreatif, Lang!” puji Sam tulus. “Kreatif itu wajib, Bang. Apa lagi bagi orang-orang seperti kita,” jawab Alang serius. Saat para survivor tak didukung oleh ketersediaan alat. Mereka harus memerhatikan kawasan sekitar. Melihat ada apa dan apa saja yang bisa dimanfaatkan. Berimprovisasi dengan bahan yang ada, dan mampu mengoptimalkan manfaatnya. Karena usaha survival tak hanya tentang penguasaan mental, dan pengetahuan bertahan hidup saja, tapi juga kreativitas. Kreatif dan mampu menggunakan apa yang sudah dimiliki, disediakan oleh alam, atau memang harus membuatnya sendiri. Selanjutnya pemuda itu tampak sedang memotong batang bambu lagi. Bagian pangkal bambu akan dijadikan tongkat. Berukuran panjang sekitar dua meter. Golok buatan itu tadi cukup memudahkan pekerjaannya. Dibanding hanya mengandalkan vicky, si pisau lipat. Pisau lipat itu cukup menyulitkan saat memotong dahan, atau pohon yang agak besar. Namun kurangnya, usai meruncingkan ketiga tongkat bambu, ketajaman parang buatan itu menurun drastis. Mata tajamnya jadi penyok dan tumpul. Akibat harus bekerja keras memotong, serat-serat bambu yang liat dan kuat. Untung Sam bersedia untuk mengasahnya kembali. Usai batang bambu itu dipotong, Alang melanjutkan dengan meraut ujung bambu menggunakan vicky. Meski bukan MacGyver—tokoh film yang identik dengan pisau lipat itu—ia telah berhasil membuat tiga tombak bambu runcing. Tapi keberhasilan itu harus ditebus dengan pecahnya kulit—akibat melepuh—di ruas pangkal jari telunjuknya. Gelembung itu muncul akibat kulitnya bergesekan dengan gagang pisau lipat. Alang mengibas-ngibaskan tangan sambil meniupnya. Wajahnya meringis menahan perih. Tapi hanya sebentar, karena pekerjaan itu belum selesai, kini ia harus kembali membersihkan dan memotongi pucuk ujung batang-batang bambu seukuran galah pancing. Alang berencana membikin sebuah jerat atau perangkap. Mengkombinasikan bambu dengan kabel-kabel sisa pesawat. Alang tak pernah tahu apa yang bakal mereka dapat. Tapi ia akan tetap berusaha. Soal hasil itu urusan nanti. Urusan Tuhan yang akan memberikan rejeki. Menurutnya, sudah sepatutnya usaha baik, mengharapkan hasil yang baik. Bukan malah sebaliknya, usaha baik berharap hasil yang buruk, atau usaha buruk berharap mendapatkan hasil yang baik. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD