KAU ITU GADIS YANG KUAT

1089 Words
“Ada tiga tahap, yakni observasi fisik, observasi habitat, dan kontak fisik.” jawab Alang. “Kalo udah tahu, kenapa masih keracunan juga?” tanya Kikan serius. “Harusnya lebih dipahami lagi, jika ada interaksi hewan, bukan berarti aman layaknya lalapan. Apa lagi kalo cuma serangga, semut, atau ulat yang makan. Bisa aja, mereka emang punya anti toksin untuk menetralisir racun tumbuhan. Sementara manusia nggak. Meski nggak bikin mati, tapi bikin mabuk.” terang Alang. ”Lantas hewan apa yang bisa jadi patokan?” tanya Endik tertarik. ”Mamalia atau primata. Sistem imun mereka paling mendekati manusia,” jelas Alang. Kikan dan Endi mulai paham. Mencari makanan di hutan itu tak sekedar sulit, tapi rumit dan riskan. Mulai memahami jika makanan survival itu bukan untuk memilih, tapi terpaksa memilih. Apa yang ditemukan itulah yang dimakan. Bukan tentang rasa, jenis, bentuk yang menjijikkan atau tidak. Melainkan beracun atau tidak. Membahayakan dikosumsi atau tidak. Itu saja! “Bagaimana dengan jamur?” tanya Endi lagi. “Harus lebih hati-hati. Karena ada yang memiliki racun mematikan,” jawab Alang serius. Kikan tampak tercenung. Menjalani survival adalah kondisi yang mengakrabkan mereka dengan berbagai macam penderitaan dan perjuangan. Sudah berapa kali Alang mengucapkan kata hati-hati, beracun, berbahaya, atau mematikan. Semua hal yang menakutkan dan menyusahkan itu memenuhi rongga jiwanya. Membuat dadanya sesak. Tiba-tiba ia mendesah. Matanya tampak memerah. “Apa sebenarnya salah kita? Kenapa Tuhan menghukum kita dengan cara ini?!” Dengus Kikan dengan mata basah. Alang tercekat. d**a terasa sesak mendengarnya. Endi pun bungkam seribu bahasa. “Jangan putus asa, Kan. Semua pasti ada hikmah—,” “Itu basi, Lang! Itu teori di jamuan makan. Obrolan orang-orang di rumah!” sentak Kikan memotong kata-kata Alang. Air matanya pun tumpah. Mengaliri pipinya yang kian tirus. “Menangislah jika ingin menangis—,” ucap Alang lirih. Mendengar itu tangisan Kikan kian pecah. Ia sedih, takut sekaligus kesal. Bahunya berguncang. Alang dan Endi terdiam. Memberinya waktu untuk melampiaskan semua perasaan. Saat tangisan itu agak reda. Alang bangkit mendekat. Perlahan memegang bahu Kikan. “Ini bukan hukuman. Tuhan punya rencana. Kalo nggak, kita udah terbujur di jejeran mayat.” “Nggak usah ceramah, Lang!” tepis Kikan serak. Alang diam sesaat. “Mungkin—kemarin kita egois. Kurang bersyukur. Jadi kita masih diberi kesempatan untuk memperbaiki diri. Menyuruh kita berpikir kalo berkah-Nya itu ada di mana-mana. Termasuk di hutan ini.” tambah Alang tak peduli dibilang mau ceramah oleh Kikan. Suaranya begitu perlahan. Kikan menggeleng, dan masih sesenggukan. “Apa kau nggak sadar?” tambah Alang lagi. “Apa?” tanya Kikan malas. “Kau ini gadis yang kuat,” jelas Alang. Kikan mengangkat wajah perlahan. Matanya masih digenangi air. “Cewek kuat nggak nangis!” Protesnya dengan suara serak. Alang tersenyum. “Tangis itu bukan simbol kelemahan. Itu ungkapan perasaan. Kekuatan itu ada di sini—juga di sini!” Alang menunjuk ke d**a dan kepalanya. Hati dan pikiran maksudnya. “Kau hanya menghiburku,” tepis Kikan pelan. “Belum paham juga?” ucap Alang. Kikan diam saja. Alang meraih serta menggenggam erat tangan Kikan. “Sekarang aku tanya, siapa wanita yang ikut menjelajah? Ikut mencari air dan makanan?” tanya Alang dengan wajah serius. Kikan bungkam sambil terus menatapnya. “Benar, Kan. Kau jauh lebih kuat dibanding mereka yang cuma bisa mengeluh dan menggerutu!” Tiba-tiba Endi menimpali. Kikan beralih menatap Endi. Laki-laki itu tersenyum. Kikan berusaha menghentikan tangisannya. Hendak menghapus air mata yang meleleh di pipi. Buru-buru Alang merogoh saku belakang. Lalu tanpa menunggu persetujuan Kikan. Dengan bandana itu Alang mengelap air mata Kikan. Dengan lembut dan perlahan. Endi tersenyum melihat adegan itu. “Makasih, Lang—,” ucap Kikan serak. Alang tersenyum. “Simpan, aja. Siapa tahu nanti nangis lagi.” ledeknya. Kikan berusaha tersenyum. Menyimpan bandana itu ke saku celana. Tak lama Alang membantunya berdiri. “Sekarang saatnya kita berburu. Tunas bambu itu enak dimakan,” ujar Alang semangat. Kikan dan Endi membuntutinya. Begitu dekat rumpun bambu, langkah Alang berhenti. Matanya menebar ke sekeliling rimbunan. Dari bawah hingga ke pucuk-pucuk bambu. “Ada apa?” Bisik Endi. Wajahnya mendadak tegang. Begitu juga Kikan. “Beberapa jenis ular suka bersarang di rumpun bambu.” jawab Alang. Sontak Kikan merapatkan badan ke Alang. Pemuda itu mengambil sebatang ranting. Menebas dan memukul-mukul rumpun bambu. Lalu diam mengawasi. Memastikan tak ada gerakan yang mencurigakan. Diulangnya beberapa kali hingga merasa yakin dan aman. Rumpun bambu itu cukup rimbun. Tak hanya menjuntai, tapi banyak yang roboh ke tanah. Alang memeriksa tumpukan bambu. Berharap tak ada ular atau kalajengking yang bersembunyi di sana. Menyibakkan batang-batang bambu untuk mencari tunas-tunas rebung. Semua dilakukan hati-hati, selain ancaman hewan berbisa, miang bambu juga bisa bikin perih dan gatal. “Ini?” Kikan menunjuk tunas yang mencuat. Panjangnya sekitar 30 cm. Alang menggeleng. “Itu ketuaan. Cari yang masih pendek. Seperti ini!” Alang menunjuk pucuk tunas yang baru 10 cm muncul ke permukaan tanah. Dengan pipa logam, Alang dan Endi menggali tanah di sekeliling tunas. Hingga bagian tunas yang tertanam terlihat. Masih terbungkus rapat kelopak bambu. Alang mematahkan dengan cara mencongkelnya. Saat patah, tampak daging tunas yang berwarna putih berbintik. “Cuma segitu?” tanya Kikan. Endi mengangguk. “Kalau yang besar, seratnya sudah seperti kayu!” jelas Endi. Alang berputar ke sekeliling rumpun bambu. Terus mencari dan menggali. Kikan membantu mengumpulkan tunas-tunas itu. Mereka beruntung. Banyak tunas bambu yang mereka temukan. “Ah!” “Kenapa?!” Tergesa Alang menghampiri Kikan. Gadis itu meringis memandangi telapak tangan. “Kena itu!” Tunjuknya ke batang bambu. Itu miang bambu. Alang dan Endi memandang lega. Mereka takut Kikan dipatuk ular. “Buka tanganmu!” Alang meraih tangan Kikan. Lalu mengusap-usapkan telapak tangan Kikan ke rambut ikalnya. Dengan wajah meringis sakit, Kikan menurut saja. “Perih!” seru Kikan agak kesakitan. “Nanti hilang.” “Dengan rambut?” Gadis itu tak yakin. Itu cara yang aneh menurutnya. “Iya. Gesekan rambut bisa melepaskan miang dari kulit. Begitu juga kalo kena miang tebu!” terang Alang. Kikan tersenyum. Merasa senang atas pertolongan Alang tadi. Saat merasa cukup banyak rebung yang didapat. Mereka berkemas. Memasukkan semuanya ke dalam tas. Mereka bergerak kembali ke reruntuhan pesawat. Kerlip bintang bertabur di langit malam. Temaram cahaya bulan sabit menampar pucuk-pucuk Meranti dan Damar. Jauh di bawah tiang-tiang kanopi tampak bias cahaya. Curai api bergoyang dalam tiupan angin lembah. Membentur pepohonan serta bebatuan. Mencipta bayang-bayang melenggok menarikan tarian kesunyian. Di kejauhan suara hewan nokturnal bagai paduan suara. Menghanyutkan sekaligus menyeramkan. Melagukan kegundahan dan kecemasan orang-orang yang sedang bertahan. Jauh di pedalaman hutan. Dalam bingkai sunyi keterasingan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD