MENU MAKANAN HUTAN

1102 Words
Semua peralatan darurat mereka bawa. Dimasukkan ke dalam tas kamera Alang. Lalu bergerak menyelusuri lintasan arah barat. Saat memasuki rimbunan belukar. Tanda-tanda patahan ranting buatan Alang beberapa hari lalu masih terlihat. Diam-diam Kikan kagum akan keindahan kawasan itu. Tak jemu-jemu ia menatap lembah-lembah curam, serta tebing bebatuan yang mencuat. “Jadi sebenarnya kita berada di dataran tinggi, ya?” tanya Kikan. Alang mengangguk. “Itu lembah sungai. Kita akan ke sana!” jelas Alang. Tak sampai satu jam, mereka sudah berada di sungai gunung. Hati-hati gadis itu mengikuti Alang dan Endi. Ia melihat banyak cerukan yang pernah menampung hujan. Ada gumpalan lumut hijau di dasarnya. Lembab dan basah. “Yang ini ada airnya!” pekik Kikan cerah sambil menunjuk ceruk di dekatnya. Ceruk itu tak lebih besar dari piring. Juga ada lumut hijau di dasarnya. “Coba minum. Airnya segar!” ujar Alang menganjurkan. Kikan menatap ceruk itu sebentar. Ada serpihan daun dan ranting. Berwarna coklat kehitaman. “Minum langsung?” Kikan masih ragu. Memandangi wajah Alang dan Endi bergantian. “Coba, aja!” Alang meyakinkan. Gadis itu masih diam. Pelan-pelan ia merangkumnya dengan tangan. Ragu-ragu mencicip dan meminumnya. Glek! “Ahhh—segaaar!” Wajahnya berubah cerah seketika. Kikan sepakat, kalau air itu memang segar. Mungkin paling segar dibanding minuman yang pernah ia rasakan. Senyawa sejuk itu terus menelusuri rongga mulut dan tenggorokan. Kemudian memenuhi lambung yang longgar akibat kurang makan. Sekarang ia menunduk, memajukan ujung bibir untuk mengirup langsung. Alang dan Endi tersenyum. Kikan baru sadar kalau sedang diperhatikan. Wajahnya mendadak memerah jengah. Alang mencari celah patahan kemarin. Celah sebesar parit yang banyak menampung air. Seperti halnya Doni dan Endi tempo hari, Kikan pun terbelalak. Melihat selokan cadas itu dipenuhi air. “Wah, ini lebih banyak!” serunya kegirangan. “Segera isi pelampungnya!” ucap Endi. Alang memotong pangkal pipa tiup pelampung dengan vicky. Kikan membersihkan ceruk dari serpihan dedaunan. Dengan cangkir bekas air mineral, mereka isi pelampung sampai penuh. Saat air diceruk itu habis, mereka mencari yang lain. Hingga semua wadah yang dibawa berisi air. Dari kawasan ceruk batu. Alang mengajak Endi dan Kikan ke rimbunan bambu yang tumbuh di sisi sungai. Kedua orang itu tak tahu pasti apa yang mereka cari. “Kita mau cari apa lagi, Lang?” Kikan tak sabar. “Apa pun—yang penting aman dimakan,” jawab Alang. “Lebih jelas dikit, Lang. Biar kami juga tahu,” pinta Endi serius. Mendadak langkah Alang terhenti. Kikan dan Endi masih memandanginya. “Aku boleh tanya sesuatu?” Mendadak Alang bertanya. “Apa?” Endi balik tanya. Kikan pun tak kalah bingung. “Menurut kalian, apa yang sedang kita alami sekarang?” pertanyaan Alang cukup mengagetkan. Kedua orang itu melongo. Mendadak wajah mereka berubah. “Itu pertanyaan bodoh! Kita semua tahu. Kita kecelakaan dan terjebak di hutan!” jawab Endi kesal. Wajah ramahnya hilang seketika. Alang diam saja, lalu menoleh ke Kikan. “Maksudmu apa sih, Lang?” tanya Kikan tak kalah ketus. “Jawab, aja. Jangan balik tanya!” tukas Alang. “Jawabanku jelas sama! Pesawat kita jatuh, dan kita terjebak di hutan!” jawab Kikan setengah berteriak. Gadis itu juga terlihat makin kesal. “Itu nggak salah. Tapi itu status kita yang kemarin!” jawab Alang masih membingungkan. “Jangan bertele-tele, Lang!” potong Endi masih kesal. “Sekarang kita survivor!” jelas Alang singkat. “Aaahhh! Apa bedanya, pakai tanya segala!” dengus Kikan kesal. “Memang ini pertanyaan bodoh. Tapi untuk kita pahami. Agar nggak terus-terusan terjebak dengan status kemarin,” jawab Alang pelan. “Sama aja—kemarin dan hari ini tak ada bedanya!” tentang Kikan. “Jelas ada! Orang yang selalu merasa jadi korban itu cengeng. Selalu merasa perlu dimaklumi untuk mengeluh dan dikasihani. Kemarin kita korban, sekarang kita adalah survivor. Harus bisa move on. Harus lebih kuat menghadapi masa yang punya sedikit toleransi!” cerocos Alang. Mereka bungkam mendengarnya. Mencoba mencerna perkataan Alang yang rumit. Alang mendekati pohon tumbang. Lalu duduk di atasnya. Kikan dan Endi hanya berdiri sambil menatapnya. “Aku bukan orang yang paling jago di hutan,” ucap Alang lirih. “Tapi setidaknya—kau lebih tahu, kau kan mapala?!” potong Kikan. Alang meringis kecut. “Bukan berarti aku jadi tahu segalanya. Aku hanya pernah belajar!” Alang membela diri. “Pernah dikondisikan seperti ini. Tapi ini jauh berbeda. Kenyataan itu jauh lebih sulit,” tambah Alang lagi dengan suara pelan. Ketegangan di wajah Endi dan Kikan berangsur hilang. Mereka ikut duduk di batang pohon. Untuk beberapa saat mereka saling bungkam. “Kau benar, Lang. Tapi menyebalkan!” gumam Kikan tertunduk. Alang meringis. “Andai buku kemarin ada—,” tambahnya lagi. “Buku? Buku apa?” Endi tak mengerti dengan perkataan Kikan. “Alang punya buku survival, Bang. Sepertinya ikut terbakar. Kalo ada, tentu kita bisa pelajari sekarang,” ucap Kikan lirih. Alang tercenung. Kata-kata Kikan kembali terngiang di telinga: bisa kita pelajari sekarang. Itu ironis, bahkan tragis. Baru mau belajar, ketika semua telah terjadi. Andai saja pengetahuan survival jadi pelajaran wajib di sekolah. Tentu makin banyak orang yang tahu. Minimal tentang dasar. Jadi ketika tertimpa musibah—meski semua tak pernah berharap—bisa tahu langkah apa yang harus diambil. Bukankah tiap usaha dan harapan butuh pengetahuan? Bukan meraba-raba, apa lagi membabi-buta. “Terus, Lang? Malah bengong!” Kikan mengejutkan. Alang gelagapan. “Dalam survival ada makanan. Tentunya bersifat darurat dan berbeda dengan makanan biasa. Rasanya aneh, atau malah menjijikkan,” jelas Alang. Kedua orang itu menatap dengan mimik serius. “Aneh karena sulit dianalisa lidah. Kadang jenis dan bentuknya emang menjijikkan,” tambahnya lagi. ”Begitu?” Kikan meyakinkan. Alang mengangguk. ”Pernah lihat orang makan ulat sagu, atau cacing?” tanya Alang pada mereka. Kikan bergidik mendengarnya. Ia tak mau membayangkan ada ulat sagu atau cacing menggeliat-geliat di mulutnya. “Lebih baik aneh, ketimbang menjijikkan!” tegas Kikan. “Yang aneh itu, bisa saja beracun!” tebak Endi. Alang mengangguk. “Kami pernah mabuk. Usai makan tumbuhan asing.” cerita Alang meringis. Peristiwa konyol itu kembali terbayang, saat Alang dan rekan-rekannya melakukan pemanjatan tebing Serelo di Lahat, Sumatera Selatan. Mereka memasak sejenis rumput. Mirip bayam dengan buah kecil mirip belimbing. Rasanya asam. Atas pertimbangan sudah dikerumuni semut dan dimakan ulat. Mereka berani memasaknya. Namun usai makan, kepala terasa pusing. Badan terasa melayang, lemas, dan mengantuk. Akibatnya mereka tak bisa melakukan apa-apa. Seharian hanya tidur dan tidur dalam tenda. “Kalian keracunan?” tanya Endi penasaran. Alang mengangguk. “Apa rasanya?” tanya Kikan penasaran. “Sebenarnya mirip sayur asam,” jawab Alang meringis. “Terus—apa ada tips khususnya, biar aman?” tanya Endi serius. Alang mengangguk.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD