BIBIT PERSELISIHAN

1135 Words
Mereka semua bersalaman. Suasana mendadak haru. Doni memeluk Endi, lalu Alang. Sambil menepuk punggung Alang, ia berbisik. “Kami pasti kembali—.” Mata Doni tampak berkaca-kaca. Alang mengangguk dan kelu. Ikut terbawa perasaan. Para wanita mulai menitikkan air mata. Mereka tahu, jika mereka gagal, ini bisa menjadi pertemuan terakhir. Tentunya akan mempengaruhi keselamatan tim yang bertahan juga. Tim Romo berjalan beriringan meninggalkan lokasi musibah. Mengarah ke barat. Searah rintisan lokasi pencarian air. Sesekali mereka menoleh. Disambut tatapan kuyu penuh harap para survivor. Makin lama makin jauh. Lalu hilang ditelan rimbunan belantara. “Semoga berhasil.” gumam Prayit dengan tatapan menerawang. “Selanjutnya apa, Pak?” Terdengar suara dari salah seorang survivor. Prayit tersentak lalu terdiam sejenak. Kini ia berada di posisi Romo yang harus menjawab pertanyaan para survivor. “Seperti kemarin. Mengawasi yang sakit. Menjaga perapian. Mencari kayu bakar, makanan dan air.” “Kayu dan air mungkin masih bisa kita dapatkan. Bagaimana dengan makanan? Mencari kemana? Hutan?” tanya Jarot. Lagi-lagi Prayit terdiam. Berusaha mencari jawaban. Seumur-umur ia belum pernah memasuki hutan belantara. Selain perkebunan sawit atau hutan kecil dekat villa. Memang ia termasuk kaum urban yang nyaris sepanjang hidupnya di perkotaan. Selayaknya pebisnis, perjalanannya sebatas antar kota atau manca negara. “Betul. Makanan apa dan bagaimana?” Kiki menambah deret pertanyaan. Prayit tampak gugup. “Mungkin buah hutan, atau sayuran hutan—,” jawabnya mengambang. “Kalau itu kami juga tahu. Kita sedang terjebak di hutan. Jelas saja berkaitan. Buah hutan, sayur hutan, ayam hutan, anjing hutan, babi hutan dan bla-bla-nya hutan!” tukas Rusdi sinis. Merasa tak puas dengan jawaban Prayit. Wajah Prayit memerah mendengarnya. “Sepertinya Bapak memang tak tahu apa-apa. Jika begitu, apa Bapak mampu memimpin di sini?!” ujar Henky ikut memojokkan. Orang-orang ini tak hanya kritis. Tapi ketus dan pesimistis. Prayit tercekat. Merasa dipojokkan. Dia pun meradang. “Kalian pikir ini kemauan saya? Romo yang minta. Karena menurutnya, lebih tak pantas lagi jika kalian yang pimpin. Saya memang tak tahu apa-apa tentang hutan. Tapi saya tahu—apa arti kerja sama dan kebersamaan. Bukan cuma protes dan menggerutu seperti kalian!” Bentaknya ke arah Jarot, lalu menatap tajam ke arah Rusdi dan Henky. Ketiga orang itu terdiam. “Sabar, Pak. Sabar!” ucap Endi beranjak menenangkan. Napas Prayit tampak memburu. Berusaha menurunkan emosi yang membuncah di d**a. “Kalian! Atau siapa saja yang merasa mampu—silahkan maju! Gantikan saya!” Tantangnya seraya menatap bergantian ketiga orang itu. Orang-orang itu bungkam dengan wajah menunduk. Pandangan mata Prayit berkeliling. Berharap ada yang bersedia memajukan diri. Tapi semua mematung. Bahkan tak ada yang berani mengangkat wajah. “Sudah! Hentikan perdebatan ini!” lerai Dewi setengah berteriak. Lia mulai terisak. Mata Kikan berkaca-kaca. Mereka sedih. Belum lama Romo pergi, tanda-tanda perpecahan kembali tampak. Suasana kian kaku. “Pak Prayit benar. Kita bisa cari makanan.” Mendadak terdengar satu suara. “Kau yakin? Atau sekedar ingin menghibur kami?” tukas Kiki sangsi. “Di sini memang ada buah-buah hutan, juga hewan hutan.” jelas Alang seraya menatap Kiki. Lalu terdengar gumaman para survivor lainnya. “Itu teori orang yang doyan kemping. Coba perhatikan—yang ada cuma pohon, semak belukar, tanah dan batu. Selama di sini, aku belum melihat ada buah atau hewan liar,” tukas Jarot berusaha mematahkan. Alang meringis mendengarnya. “Semua harus dicari, bahkan diburu. Setahuku—dari kemarin, Abang nggak pernah jauh dari kabin. Lantas apa dasarnya, Abang katakan hutan ini tak memiliki apa-apa?” Pemuda itu balik tanya. Jarot terkesiap. Kini semua mata mengarah padanya. Jarot tak ada alasan untuk menjawab lagi. “Kebisaan mereka cuma mengeluh dan menggerutu, Lang!” sela Prayit. Wajah orang tua itu masih terlihat kesal. Jarot kian bungkam seribu bahasa. “Nanti aku yang akan menjelajah!” tambah Alang memecah kebekuan. “Aku ikut, Lang,” ucap Endi. Alang mengangguk. “Yang tak tahu apa-apa tentang hutan—seperti saya—tak perlu banyak omong. Cukup bantu cari kayu bakar—atau apa saja yang penting untuk kepentingan bersama!” seru Prayit bergantian menatap tajam ke arah Jarot, Rusdi dan Henky. Sebelum mereka bubar, Tim Kabin membagikan jatah makan dan minuman hari itu. *** Di bawah pohon Meranti, Alang, Endi dan Kikan sedang berbicara serius. Alang menanyakan sesuatu pada Kikan. Karena gadis itu pernah bergabung dengan Tim Kabin. “Sebentar kutanyakan. Tapi untuk apa?” tanya Kikan penasaran. “Nanti kau juga tahu.” Dahi Kikan berkerut mendengar jawaban Alang. Bersama Endi, Kikan bergegas menemui Prayit. Sementara Alang menuju ke arah kepala pesawat. Berusaha memasuki ruang kokpit. Di sana ada celah retakan yang diperlebar saat mengeluarkan jasad awak pesawat. Setelah berada di dalam Alang menarik kabel-kabel yang berserabutan. Baik yang hangus, juga utuh. Semua dikumpulkan jadi satu. Secara tak sengaja ia juga menemukan patahan logam. Bukan besi, seperti alumunium keras. Bentuknya pipih dan patahannya runcing. Panjangnya sekitar 30 cm. Cukup lama ia berkutat di sana. “Lang?” Suara Endi memanggil. “Ya?” sahut Alang. Endi muncul dengan benda di tangan. Kikan mengekor di belakangnya, ia membawa dua pelampung yang masih utuh. “Ini bisa?” Endik menyodorkan dua potong logam berbentuk pipa. Alang mengamatinya sebentar. Agak bengkok dengan panjang tak sama. Sekitar enam puluh dan lima puluh centimeter. Diameternya sekitar dua centimeter. Alang mengangguk senang, lalu mengajak mereka kembali ke bawah pohon Meranti. “Apa yang bisa kita buat dengan ini?” tanya Endi. “Alat penggali. Semacam linggis. Coba Abang luruskan.” Alang menjelaskan. “Mmm—ya, ya.” sahut Endi sambil memegang kedua ujung pipa. Bagian tengah pipa ia tekan ke paha. Wajahnya meringis. Pertanda sedang mengerahkan tenaga. “Keras!” serunya meringis. Alang dan Kikan tersenyum. Setelah dirasa cukup lurus, Alang mengambil bongkah batu. Berulang kali dihantamkan ke ujung pipa. Suara benturan itu menggema ke seantero bangkai pesawat. Beberapa survivor menoleh. Tapi tak tertarik untuk mendekat. Tak lama ujung pipa menjadi pipih. Layaknya mata linggis—tapi tanpa belahan pencatut paku. “Dengan ini, kita bisa cari umbi-umbian,” terang Alang dengan wajah cerah. ”Oh, ya?” tanya Endi dengan mata berbinar. Alang mengangguk. Pipa ke dua juga dipipihkan. “Yang itu buat apa, Lang?” Kikan menunjuk pelat logam yang ditemukan Alang. “Akan kuasah. Biar runcing dan tajam!” jelas Alang. Kikan dan Endi mulai paham. Diam-diam Kikan memerhatikan semua yang dikerjakan Alang. Dia semakin kagum akan sosok Alang. “Aaah! Yang ini lebih keras!” seru Alang saat mengasah logam itu ke batu. Usahanya ia hentikan karena hendak mengajak Endi menjelajahi hutan. “Aku boleh ikut?” tanya kKikan dengan wajah penuh harap. Alang tak menjawab. Malah melihat ke arah Endi. Seakan meminta persetujuan. Ternyata laki-laki itu mengangguk. “Beri tahu Pak Prayit atau Bu Dewi, kalau mau ikut.” Endi mengingatkan Kikan. Gadis itu mengangguk semangat. Bergegas ia menuju kabin. Ini akan menjadi pengalaman pertamanya. Menjelajahi hutan belantara.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD