Kini kelompok survivor terbagi dua. Kelompok yang bertahan dan tim penerobos untuk mencari pertolongan. Kelompok bertahan ada sembilan belas orang, dan penerobos lima orang. Saat ini mereka masih berada di area makam. Masih merundingkan rencana perjalanan. Sebagian survivor yang tak terlibat, lebih memilih untuk kembali ke lokasi pesawat. Ada yang duduk bergerombol di bawah pohon, masuk ke dalam kabin, atau dekat perapian, dekat Alang dan Kikan berada. Tampak Doni kembali mendekati mereka.
“Romo ingin bicara, Lang,” katanya memberi tahu Alang.
“Mau bicara apa lagi, Bang?” tanya Alang lesu. Doni diam saja. “Aku kan tak terlibat di Tim Penerobos, Bang!” tambah Alang masih terlihat kesal. Tapi Doni hanya angkat bahu tak tahu. Akhirnya, dengan langkah gontai Alang mengikuti Doni. Ternyata Prayit dan Endi juga masih di sana. Mereka dilibatkan dalam perundingan Tim Penerobos. Mereka duduk melingkar di bawah sebatang pohon. Doni dan Alang sudah kembali bergabung. Wajah Alang masih tak b*******h. Romo menatapnya.
“Maaf, Lang. Kau tak dilibatkan ke tim penerobos, bukan karena alasan tak percaya. Tapi sebaliknya, saya berharap kau bisa mendampingi Pak Prayit dan Endi menjaga tim yang bertahan,” terang Romo. Alang menatap sebentar. Lalu mengangguk lesu.
“Selanjutnya, tentang rencana tim penerobos. Tim kami akan ke barat. Menuju lembah untuk mencari pemukiman atau perkebunan penduduk.”
“Kenapa tak mencoba ke atas dulu. Mungkin dari ketinggian pemukiman penduduk akan bisa terlihat?” tanya Doni serius.
“Awalnya saya berpikir begitu, tapi setelah direnungkan, rasanya kurang layak,” tepis Romo.
“Alasannya apa, Pak?” tanya Endi. Romo menghela napas sesaat.
“Kalau pun sudah di puncak, apa benar bisa melihat perkampungan? Terus bagaimana cara kita mengingat lokasinya, tanpa dukungan alat navigasi? Mengandalkan matahari? Begitu turun, kanopi hutan akan menutupi langit. Belum lagi kalau mendung dan berkabut. Asumsi arah bisa semakin ngawur,” jawab Romo.
“Betul. Ini pegunungan. Tentu tak mudah melihat ke sekeliling. Apa lagi jika pemukimannya ada di balik gunung.” kata Ayi mendukung Romo.
“Tapi, siapa tahu di atas ada sinyal. Meski lowbat, HP saya masih bisa nyala. Kita bisa menelpon ke luar,” usul Prayit.
“Meski ada sinyal atau melakukan kontak, tetap saja kita tak bisa memberitahu posisi kita, di wilayah mana, apa lagi koordinatnya. Tak mungkin hanya menyebut di dalam hutan antah berantah. Andai mereka mampu melacak sinyal kita, tapi selanjutnya apa? Apa kami harus balik lagi ke sini? Menunggu lagi? Jika harus kembali dan menunggu, untuk apa susah-susah menggapai puncak? Menurut saya, lebih baik bergerak turun. Ketimbang duduk menunggu. Itu lebih banyak kesemptan,” papar Romo serius.
“Kalau membentuk tim baru untuk mencapai puncak, bagaimana?” tanya Endi.
“Itu bisa dilakukan. Tapi sebaiknya dipertimbangkan dengan matang. Saya khawatir sinyal tetap tak ada di puncak, itu saja.” Jika prediksi Romo benar, jelas tim yang mencoba ke puncak akan sia-sia. Tapi bisa saja prediksi Romo salah. Mereka pun terdiam. Pilihan yang sulit. Sama-sama memiliki risiko. Hingga akhirnya mereka menuruti usulan Romo.
“Menuju lembah itu jalur sungai pegunungan. Kemungkinan apa yang akan ditemui di sana?” tanya Prayit.
“Mungkin perkebunan penduduk, atau perkampungan,” ucap Romo berusaha meyakinkan. Prayit menganggukkan kepala.
“Mengikuti sungai gunung? Bapak yakin dengan rencana itu?” tanya Alang serius.
“Kenapa, Lang? Bukankah itu cukup masuk akal? Selain hemat tenaga dan waktu. Umumnya, pemukiman atau perkebunan tak jauh dari sumber air kan?” sela Bobi mendukung Romo. Alang tak menjawab. Ia menunggu jawaban Romo. Para survivor memandang Alang dan Romo bergantian.
“Alang memperhitungkan adanya jurang dan bandang.” Kening Bobi berkerut mendengar jawaban Romo. Alang mengangguk. “Kami tak akan menyusurinya. Tapi merintis jalur di punggungan. Sungai gunung hanya jadi patokan. Bukankah saat mendaki gunung, kita meniti punggungan, bukan melintasi atau menyusuri sungai? Ini tak mudah, tapi saya yakin bisa mengatasinya. Asal tim bisa bekerja sama,” tegas Romo serius. Seluruh anggota tim penerobos tampak tegang. Nasib memang harus diperjuangkan, dan palu takdir segera dijatuhkan sebagai akhir sebuah keputusan.
“Bapak sudah punya gambaran tentang wilayah ini?” tanya Ican dengan mimik serius. Romo menggelengkan kepala.
“Bukankah Bapak sering ke hutan? Siapa tahu ada yang mirip?” imbuh Ican masih berharap sebuah jawaban. Romo meringis mendengarnya.
“Kalau tentang kesamaan, semua hutan itu mirip. Bisa saja ini hutan Sulawesi, atau malah Kalimantan.” Nada bicara Romo memang ragu. Mereka melongo mendengarnya.
“Kalimantan?” Prayit mengulangi.
“Lebih masuk akal, kalau ini hutan Sulawesi. Tujuan kita kan Manado?” timpal Doni.
Semua terdiam membisu. Mungkin mereka sedang membentuk peta khayal. Membayangkan penerbangan mereka kemarin. Penerbangan itu memang langsung dari Jakarta menuju ke Manado. Tanpa transit di banyak kota. Misalnya di Surabaya, Banjarmasin, atau Ujung Pandang. Pertanyaannya; Apakah dari Jakarta, pesawat langsung terbang memotong langit Laut Jawa, lalu melintasi langit Kalimantan, Palu, baru menuju Manado? Jika prediksi ini benar, masuk akal, pesawat jatuh di Kalimantan. Namun bila pesawat terbang melintasi langit pantai utara Jawa, hingga langit Surabaya, baru memotong langit Laut Jawa, langit Ujung Pandang, langit Palu, baru menuju Manado? Jelas itu hutan Sulawesi! Namun semua memang tak punya jawaban pasti, karena pihak yang paling tahu adalah pilot dan kopilot, serta pihak ATC. ***
Selasa, 16 Januari 2007
Fight For Life. Tulisan arang itu kembali bertambah. Tepat di bawah tulisan, We’re Still Alive. Bentuk dan gaya tulisannya sama. Tampaknya sengaja ditulis saat tengah malam atau menjelang subuh. Karena selalu muncul di pagi hari. Penulis sebenarnya belum diketahui. Para survivor pun sudah tak peduli lagi.
Pagi ini tim Romo sudah siap berangkat. Pembagian kelompok survivor tentu mempengaruhi logistik. Dan itu jadi dilema tersendiri, karena kedua kelompok sama-sama butuh. Stok logistik tim yang bertahan sekarang hanya dua puluh dua gelas dan dua botol air mineral, sepuluh minuman kaleng, tujuh pundi pelampung, serta lima belas kotak kue bolu. Selain dibagi makanan dan minuman, tim Romo juga dibekali parang, serta misting bagian tengah milik Alang. Juga sepuluh batang korek api dan sobekan geretannya. Semua disimpan dalam plastik agar tak basah.
“Pak Prayit akan menggantikan saya. Dibantu Endi dan Alang.” Romo memecah kesunyian.
“Berapa lama kami harus menunggu, Pak?” tanya Kikan. Romo menatap sesaat.
“Betul. Sampai kapan?” tambah Dewi. Romo merasa sesak napas mendengarnya.
“Kami tak bisa janji. Secepatnya.” Hanya itu yang diucapkan Romo. Itu tak melegakan para survivor.
“Tapi—Bapak tak bohong kan?” Lia memastikan. Mata cekung dan wajah pucat itu terlihat memelas. Romo menggeleng.
“Kami juga tak mau ini berlarut-larut. Percayalah!” tambah Romo serius.