KENAPA ROMO MEMILIH MEREKA YANG TAKUT?

1216 Words
Senin, 15 Januari 2007 Batin para survivor kembali terpukul. Tiga orang korban tak mampu bertahan. Bertha dan Didin meninggal menjelang subuh. Lalu Resti yang koma sejak awal musibah. Tak ada yang tahu pasti jam berapa ia meninggal, karena saat semua tertuju pada Bertha dan Didin, Lia mendapati tubuh Resti sudah kaku. Kini survivor tinggal dua puluh empat orang. Usai pemakaman, Romo menyampaikan usul Alang. Membuat tanda SOS dari serpihan pesawat. Berharap tanda itu akan menarik perhatian Tim SAR. Bahu-membahu mereka mengangkuti serta menyusun rongsokan pesawat. Tak sampai satu jam, tanda “X” raksasa sudah terbentuk di atas pemakaman. Tanda itu dibentuk dari serpihan material pesawat dengan warna mencolok. Sebelum bubar, Romo menyampaikan satu gagasan lagi. Namun sebagian orang mulai acuh. Mulai bosan berada dalam keadaan tak menentu. “Rencana apa lagi, Pak? Percuma kalau kita tetap terjebak di sini!” tepis Jarot. Mata para survivor memandang Romo dan Jarot bergantian. “Jangan-jangan Tim SAR memang tak mencari kita. Tanda yang kita bikin ini pun terlihat konyol!” tambah Rusdi. Kata-kata itu jelas memancing kekhawatiran yang lain. Gumaman-gumaman tak jelas makin ramai. Gumaman pesimistis. “Mereka pasti mencari. Operasi SAR itu nggak gampang. Butuh waktu dan perhitungan matang.” Alang menepis perkataan Rusdi. Matanya menatap tajam ke arah Rusdi. Ia tak suka usulnya dianggap konyol. “Sampai kapan? Sampai kita semua mati? Untuk apa kalau akhirnya mereka hanya menemukan mayat kita berserakan di sini? Bukankah itu sia-sia!” Jarot ikut menyangkal. Mata Alang dan Jarot saling tatap. Suasana kembali tegang. “Sebenarnya mau kalian apa?!” tanya Alang kesal. Jarot mendengus. “Pembicaraan saya belum selesai!” Potong Romo setengah berteriak. Berusaha menenangkan. Kondisi itu membuat emosi gampang tersulut. Analisa dan logika akan dikalahkan emosi. Bibit perselisihan mulai muncul di antara mereka sendiri. “Saya akan membentuk tim kecil. Untuk mencari pertolongan!” Mereka kaget mendengar kata-kata Romo. Beberapa orang secara spontan mengajukan diri untuk bergabung. “Aku ikut, Pak!” “Saya juga, Pak. Saya tak mau bertahan di sini!” “Biar saya jelaskan dulu. Ini butuh pertimbangan matang,” terang Romo. “Kenapa kita tak bergerak bersama sekalian, Pak?” usul Dewi serius. “Benar, Pak. Jika ada kendala, bisa kita hadapi bersama.” usul yang lain. “Bagaimana yang sakit? Jangankan menerobos hutan. Menggeser badan saja mamaku tak sanggup. Apa lagi ia buta sekarang.” sela Sam khawatir. “Istri saya juga. Atau Pak Darwis, Bu Martha dan Rara. Luka mereka parah!” tambah Ramon tak kalah cemas. “Kita bawa semua. Kita buatkan tandu!” sahut Jarot menimpali. “Benar. Kita akan tetap bersama!” tambah Lia. Namun Romo menggeleng. “Itu riskan. Jangankan menandu. Membawa diri sendiri saja sulit. Apa lagi kita buta wilayah ini!” tegas Romo mematahkan usul-usul mereka. Semua terdiam. Jawaban itu tak sesuai dengan harapan. Wajah Sam berubah. “Jadi—ditinggal?” Suara Sam bernada ketus. “Sebentar, Sam. Kita dengar dulu!” potong Prayit. Sam bungkam dengan wajah gelisah. “Justru itu, saya usulkan tim kecil. Karena bisa bergerak cepat. Jika berhasil, tim akan kembali lagi dengan bala bantuan.” ”Balik lagi?” tanya Jarot tak yakin. Namun Romo mengangguk menegaskan. “Jadi kita dipecah?” tanya Dewi dengan raut gelisah. ”Iya.” Romo membenarkan. “Saya siap bergabung, Pak!” Doni mengajukan diri. “Aku juga!” Kembali terdengar suara ingin bergabung. “Akan saya pilih orang-orangnya!” potong Romo. “Tapi—Bapak tak berniat meninggalkan kami? Atau cari jalan sendiri kan?” tanya Lia pelan. Wajah Romo tampak merah padam mendengarnya. “Dengar! Tim ini dibentuk bukan untuk meninggalkan. Apa lagi ingin cari selamat sendiri. Tim ini bisa saja celaka, tersesat, dan hilang. Tim ini bertanggung jawab mencari pertolongan dengan mempertaruhkan nyawanya sendiri. Usaha ini bukan pula untuk menegaskan, bahwa Tim SAR tak mencari kita!” jelas Romo serius. Semua bungkam. Alang mengacungkan tangan. “Aku siap, Pak!” “Saya juga!” Ternyata semua anggota Tim Pencari Air mengajukan diri. Beberapa orang yang tadinya antusias, mulai kelihatan ragu. Apa lagi setelah mendengar penjelasan Romo. “Tim ini tak hanya butuh orang kuat, tapi yang bisa bekerja sama,” ucap Romo lagi. “Kalau Bapak pergi, siapa yang akan memimpin di sini?” Lia memotongnya. “Nanti kita putuskan. Karena kita tetap butuh sosok yang mampu bekerja sama bagi tim yang bertahan!” Semua menatap Romo dengan pandangan pasrah. Laki-laki itu menghela napas sebentar. “Saya harap Doni, Bobi, Ican dan Ayi bergabung dengan saya.” Lanjut Romo sambil memandang mereka bergantian. Doni dan Ican mengangguk. Tapi Bobi dan Ayi masih bungkam. Wajah mereka memancarkan keraguan. “Jika keberatan katakan sekarang.” tegas Romo. Mereka masih saling pandang. Alang mengangkat tangan lagi. Ia masih ingin menggabungkan diri. Romo belum juga meresponnya. “Kalian bersedia?” Romo bertanya pada Bobi dan Ayi. Tak mengindahkan Alang yang masih mengacungkan tangan. Sikap acuh itu membuat Alang kesal. Ia bingung kenapa Romo lebih berharap pada orang-orang yang ragu. Sementara ia merasa sudah siap lahir batin. “Sudahlah. Tak perlu ngotot. Namamu tak disebut!” celetuk Rusdi tiba-tiba. Alang tak menghiraukan. “Pak?!” Pintanya sekali lagi. Romo menggeleng. Pemuda itu mendengus. Merasa kesal. Kini semua mata beralih padanya. “Ini bukan kemping, cari air atau bikin api!” cemoh Jarot sinis. Alang bertambah kesal. “b*****t! Dari pada kalian, cuma bisa menggerutu!” Bentaknya menunjuk muka Jarot. Bahkan mendadak Alang meluruk ke Jarot. Laki-laki itu terkejut. Sontak mundur ke belakang. Doni dan Endi bertindak cepat. Berusaha menahan laju tubuh Alang. Kikan ikut memeganginya dari belakang. Suasana semakin gaduh. “Sabar, Lang! Tahan emosimu!” Prayit mengingatkan. “Jaga mulut comberanmu!” Maki Doni menunjuk Jarot. Alang berusaha melepaskan diri. Ia masih terlihat geram dan marah. “Saya punya pertimbangan, Lang.” Romo berusaha menjelaskan. “Aaah! Bapak sama aja!” Dengus Alang sambil berontak. Menepis tangan-tangan yang memeganginya. Napasnya memburu. Menatap Romo dan Jarot dengan mata menyala. Lalu beranjak meninggalkan kerumunan. Melangkah gontai menuju bangkai pesawat. Dengan kesal ia menendang benda-benda yang ada di hadapannya. Alang merasa tak dihargai, tersinggung, dan kecewa. Romo menatap dengan perasaan sedih. Alang keliru menanggapinya. Doni dan Kikan bergegas menyusul Alang. Pemuda itu sudah duduk memojok diri dekat perapian. “Lang—,” tegur Kikan hati-hati. Alang menoleh. Menatapnya sejenak, lalu menunduk memandang ke arah perapian. “Aku bukan tukang kemping! Aku bisa lebih baik dari itu!” dengus Alang masih kesal. Ada sentuhan lembut di bahunya. Alang menoleh. Doni menatap ramah, lalu ikut duduk di sebelahnya. “Dengan berniat bergabung, itu sudah cukup membuktikan, Lang. Jangan terbawa emosi. Mereka itu tak ada apa-apanya, dan Romo pasti punya alasan kuat untuk tidak merekrutmu,” jelas Doni dengan lembut. “Kenapa Romo lebih berharap pada mereka, Bang? Jelas-jelas mereka ragu,” tanya Alang pelan. Ketegangan di wajahnya berangsur hilang. “Mungkin—Romo sengaja memosisikanmu di sini, Lang. Menjaga kami. Menjaga orang-orang yang bertahan,” ucap Kikan pelan. Perlahan Alang menoleh menatapnya. “Kikan benar. Mungkin itu alasan Romo. Sebab itu bukan tanggung jawab yang ringan!” Doni makin mendinginkan. Alang masih diam. “Baik tim penerobos, atau yang bertahan. Sama-sama butuh pendamping yang kuat. Bisa bekerja sama, dan mampu memotivasi yang lain.” tambah Doni lagi. Alang tercenung. Doni tersenyum sambil menepuk bahunya. Tak lama ia beranjak, kembali ke kumpulan survivor yang masih berada di area makam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD