DIA MENYUKAIMU, LANG

1114 Words
Malam semakin larut dan bulan bersembunyi di atas kanopi. Suasana remang dan kelam. Hanya terdengar suara hewan malam bersahutan di kejauhan. Satu persatu para survivor tertidur. Ada yang tidur di dalam kabin. Sebagian lagi terlelap di dekat perapian. Mereka meringkuk menggigil kedinginan. Karena suhu di sana berkisar antara sepuluh hingga lima belas derajat Celcius. Tampak tiga orang masih terjaga. Mereka itu Romo, Doni dan Alang. Mengobrol sembari duduk mengelilingi perapian. Sayup-sayup terdengar suara percakapan mereka. “Kalian yang berjaga malam ini?” tanya Romo. Ia menatap ke arah Doni dan Alang. Doni menganggukkan kepala. “Iya, Pak,” jawab Doni. Sambil memasukkan potongan kayu ke dalam perapian. Ternyata untuk malam itu Doni dan Alang yang bertugas untuk jaga malam. “Baik. Kalau begitu, saya tidur duluan. Tiga jam ke depan, bangunkan saya.” Romo perlahan bangkit. Hendak beranjak menuju kabin. “Sebentar, Pak. Ada yang ingin kutanyakan!” sergah Alang. Langkah Romo seketika berhenti. “Apa?” tanya Romo dengan dahi berkerut. “Apa sebaiknya nanti, kita bikin tanda SOS, yang mungkin bisa dilihat dari jauh atau ketinggian? Siapa tahu bisa menarik perhatian Tim SAR.” kata pemuda itu memberikan usul. “Tanda berupa apa? Asap? Semacam bendera?” tanya Romo belum paham. Alang menggelengkan kepala. “Pakai rongsokan material pesawat yang berwarna mencolok.” terangnya dengan mimik serius. “He-em. Terus?” tanya Romo belum paham apa gambaran bentuknya. “Disusun sebagai tanda silang. Bikin besar dan diletakkan di area terbuka. Paling mungkin disusun di atas area pemakaman.” ucap Alang berusaha menjelaskan idenya. Romo terdiam dengan dahi berkerut. Berusaha membayangkan. Tak lama ia mengangguk. Doni pun mulai paham apa yang dimaksud Alang. “Baik. Ide yang bagus. Besok bisa kita bicarakan dengan yang lain,” ucap Romo setuju. Alang mengangguk. “Apa ada lagi?” tanya Romo pada Alang. “Itu saja, Pak.” “Baik. Saya istirahat dulu. Jangan lupa untuk membangunkan saya nanti,” tegas Romo lagi. “Baik, Pak!” jawab Doni. Setelah Romo masuk kabin. Suasana kembali menjadi begitu hening. Hanya riuh suara serangga malam yang terdengar. Alang menoleh. Memandangi Kikan yang tertidur pulas di sampingnya. Sama seperti yang lain. Gadis itu meringkuk memeluk lutut. Kasihan, ia kedinginan. “Dia pacarmu, Lang?” Suara itu memecah keheningan. Membuat Alang sedikit kaget. Buru-buru ia menggeleng. Doni yang bertanya malah tersenyum. “Rekan seperjalanan, Bang. Baru kenal malah,” jawab Alang merona. Bahasa tubuhnya terlihat kikuk. “Begitukah?” tanya Doni kurang yakin. Alang mengangguk serius. “Iya. Kenalnya pas di pesawat.” jawab Alang berusaha menjelaskan. Doni masih tersenyum sambil memasukkan potongan ranting ke perapian. “Kan, Kikan—,” Alang mengguncang bahu Kikan perlahan. Gadis itu hanya menggeliat sebentar. Tapi kembali meringkukkan badan. Alang mengguncangnya lagi. Kikan kembali menggeliat. Mengerjapkan matanya beberapa kali. Lalu tersentak bangun. “Ada apa?” tanyanya dengan raut bingung. “Ssttt!” Alang menempelkan jari ke bibir. “Nggak ada apa-apa. Kau pindah ke kabin aja. Di sini dingin,” bisik Alang mengusulkan. Kikan menghela napas sambil mengucek mata. “Aku tidur sini aja, ya,” tolak Kikan. “Di sini lebih dingin. Mendingan ke kabin,” sela Doni. Kikan menggeleng. “Nggak apa-apa, Bang, kan dekat perapian.” Lagi-lagi Kikan menolak. “Yakin begitu?” tanya Doni meyakinkan. Kikan mengangguk. Tanpa banyak komentar, ia merebahkan badan ke kursi lagi. Kembali meringkuk memeluk lutut. Tak memakan waktu lama ia sudah kembali terlelap. Doni malah menatap Alang sembari tersenyum. Alang tak paham arti senyuman itu. Selang beberapa saat kesunyian itu kembali menyergap. Mereka yang berjaga tampak bungkam. Dijejali oleh pikiran masing-masing. “Apa kau benar-benar tak menyadarinya, Lang?” Tiba-tiba suara bisikan Doni kembali memecah keheningan. Alang menoleh sembari menatapnyanya tak mengerti. “Menyadari? Menyadari apa, Bang?” tanya Alang kembali bingung. Ia mengambil sepotong ranting. Mematahkannya jadi dua, dan melemparnya ke perapian. “Dia menyukaimu!” bisik Doni dengan raut muka serius. Alang melongo. “Suka? Maksudnya? Dia? Aku?” tanya Alang seraya menunjuk ke arah Kikan, lalu menunjuk ke arah dirinya sendiri. Kening pemuda itu berkerut tak paham. Merasa dengan arah perkataan Doni. Doni mengangguk. “Awalnya, kupikir dia itu saudaramu—atau paling tidak pacarmu.” terang Doni. Dengan ujung bibirnya ia menunjuk ke arah Kikan. “Abang ngawur. Kami baru aja kenal, Bang!” tepis Alang dengan wajah memerah. “Jarak dan waktu itu bukan jaminan. Apalagi halangan. Untuk disukai atau menyukai seseorang,” ucap Doni yakin dengan raut muka serius. “Itu kata Abang,” tangkis Alang. Doni tersenyum meringis. “Dasar! Nggak peka! Tapi, wajarlah—kau kan lagi pingsan!” tukas Doni makin lebar senyumnya. “Pingsan?” Alang makin bingung dengan kata-kata Doni. Apa hubungan; disukai atau menyukai dengan pingsan. “Coba kalau kau tahu—bagaimana ia menangisimu kemarin,” terang Doni serius. Alang diam saja. “Ia begitu takut kehilanganmu!” tambah Doni lagi. Alang mencoba mengingat kejadian beberapa hari yang lalu. Saat pertama ia siuman. Memang bentuk pertama yang dilihatnya, tak lain wajah Kikan. Wajah oval yang pucat dengan mata redup itu, tampak banyak digenangi air mata. Mengaliri pipinya, hingga jatuh menetes ke wajahnya. Ingat bagaimana tiba-tiba Kikan memeluknya. Membenamkan wajah ke dadanya. Lalu menangis penuh haru. “Dia panik, Bang. Apa lagi ia sendirian. Hanya aku yang dikenalnya saat itu,” jelas Alang menepis pendapat Doni barusan. Doni berdecak. “Terserah apa pendapatmu. Tapi aku tahu perasaannya. Ia merasa nyaman dan aman jika ada di dekatmu. Buktinya sekarang—selalu ingin berada di dekatmu.” terang Doni dengan berbisik. Mendengar penjelasan Doni itu, tiba-tiba Alang merasa ingin melihat wajah Kikan. Namun gadis itu meringkuk membelakangi. Ingin rasanya ia membalikkan wajahnya. Sekedar untuk menatap wajah yang katanya begitu mencemaskannya. Tapi mati-matian Alang menahan keinginan itu. Akhirnya ia hanya bisa terdiam. Namun hatinya bergemuruh. Mendadak muncul wajah orang-orang yang sering mencemaskannya. Bergantian wajah-wajah mama, papa dan adiknya. Hingga seraut wajah yang lain. Wajah gadis yang dulu selalu memprotes penampilannya. Mengomelinya jika ia mulai menimbun tugas-tugas kuliah. Cemberut jika seharian tak dikabari. Wajah yang selalu cemas, bila ia hendak melakukan perjalanan. Gadis itu bernama Nishara Dewindra, atau Ara. Gadis bawel yang pernah mengisi hari-harinya dengan keindahan. Namun—telah pergi meninggalkannya. Dua tahun silam. Saat kapal yang ia tumpangi terbakar, dan tenggelam di Selat Sunda. Antara Merak dan Bakauheuni. Tragisnya, hingga saat ini, jasad Ara, serta puluhan korban lainnya belum bisa ditemukan. Ara—semoga kau husnul khotimah. Doa Alang dalam hati. “Heh! Malah melamun!” tegur Doni. Alang terkejut dan gugup. Lalu tersenyum meringis, seraya menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. “Mma—maaf, Bang,” jawabnya tersenyum. Doni pun tersenyum. Malam semakin larut. Udara semakin dingin mencekam. Sesekali terdengar suara batuk, juga rintihan lirih para survivor yang terluka dan masih terjaga.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD