LIANG LAHAT

1178 Words
Romo menatap kedua jasad di hadapannya. Kondisi yang parah. Hanya seragam yang menjelaskan bahwa mereka itu pilot dan kopilot. Dua awak itu bernama Refi A. Widagdo dan Yogie Siswanto. Entah yang mana pilot dan kopilot. Di seberang pembatas lubang, terbujur kaku jasad tiga pramugari. Veriana Vallerina, Nina Aryana dan Dewi Puspa Ratih. Bisa dikenali dari name tag dan seragam Madame Air yang mereka kenakan. “Mereka sudah berjuang keras.” Romo setengah bergumam. Matanya masih menatapi kedua jenazah. “Bapak yakin? Tapi kenapa kita jatuh?” sela Endi yang berada di sebelahnya. Merasa tak sependapat. Beberapa orang menatap ke arah mereka. “Entah human error, kendala teknis atau apa. Soal pendaratan darurat, mereka cukup mampu.” tambah Romo. Pernyataan itu lebih mengagetkan. “Dengan korban sebanyak ini?” tukas Henky tak percaya. “Kalau tidak, mungkin jatuhnya tak meluncur. Tapi menghujam. Jelas lebih hancur. Mirip telur jatuh dari gedung tinggi. Tak akan ada yang hidup—seorang pun!” jelas Romo lagi. Semua bergidik. Andai versi jatuhnya begitu, jelas tak akan ada lagi cerita. “Tentunya—mereka sudah berusaha menghindari jurang, atau tebing batu. Memilih area gundul hutan ini, demi mempertahankan luncuran pesawat. Mungkin jika di laut atau padang rumput, keadaan kita bisa lebih baik.” Semua memandang Romo tak percaya. Mereka meragukan argumen laki-laki itu. “Bapak sok tahu! Nggak usah membela mereka! Apa pun alasannya, tetap mereka yang salah, dan bertanggung jawab!” potong Suba kesal. Tak ada yang menentangnya. Dalam keadaan itu, tentu banyak yang sependapat dengan Suba. Mereka butuh sosok, atau pihak yang bertanggung jawab. Bahkan untuk disalahkan. Romo pun terdiam. Para survivor berdiri di sekeliling liang darurat. Diam mematung, atau duduk menangis. Bahkan meratap memanggil lirih sebuah nama. Usai didoakan dan dishalatkan--dipimpin Prayit. Perlahan jasad-jasad malang itu ditimbuni tanah, batu dan dedaunan. Hingga tak ada lagi bagian yang terlihat. Tonggak pohon ditanam di keempat sudut liang sebagai tanda. Benak mereka berkecamuk dan pedih. Saat harus menguburkan orang tua, sanak saudara, atau rekan mereka dengan kondisi tak layak. Tanpa dimandikan, tanpa kafan, tanpa peti mati, tanpa nisan, apa lagi taburan bunga. Di kubur massal di lubang tak rata. Di lintasan pesawat yang jadi kereta kematian bagi mereka. Hanya lantun doa dan derai air mata yang menghantarkan. Itu saja. Malam ini tak semencekam kemarin. Meski aroma tak sedap masih sesekali tercium. Tepat jam sembilan malam, Tim Kabin membagikan makanan dan minuman. Dua korban koma sudah siuman. Kini hanya tinggal satu orang yang belum sadarkan diri. Karena bertambah, maka makanan dan minuman yang dibagikan sebanyak dua puluh enam paket. Stok makanan tinggal dua puluh satu kotak. Untuk mencukupi satu kotak bolu lapis dibuka. Karena banyak yang mengeluh lapar, mereka membagi rata tujuh bungkus keripik. Sisa logistik tinggal tiga puluh dua gelas air mineral, sembilan belas kotak bolu lapis, tiga botol air mineral isi satu koma lima liter, dua belas minuman kaleng, ditambah delapan pelampung pundi air. Usai makan malam, Doni dan Alang menjerang air pakai misting. Dua pelampung sudah dibuka. Mereka butuh air panas untuk mengompres beberapa korban yang demam. Kini sudah tak terlihat lagi orang-orang yang mengacungkan telepon seluler. Entah habis baterai, atau sudah merasa putus asa. Sebagian dari mereka duduk bergerombol di sekitar perapian. “Dulu—cuma nonton berita, sekarang kita yang jadi bahan berita,” gumam Endi dengan mata menerawang. Menatap curai api unggun. Riap-riap cahaya api menerangi wajahnya yang kuyu. “Kita tak pernah tahu, apa yang bakal terjadi.” sela Prayit seraya menghela nafas. “Katanya punya standar keamanan tercanggih. Kok, sering celaka. Korbannya pun selalu banyak,” ucap Doni sambil memasukkan kayu kering ke perapian. Matanya memicing menahan perih kena asap. “Daya jelajah yang nyaris tak berbatas, kecepatan, serta ketinggian jelas mempengaruhi jumlah korban.” Romo menimpali. “Secanggih apa pun, pesawat itu cuma onggokan mesin. Juga komponen yang dirakit jadi alat. Pengendalinya tetap manusia. Kalau manusianya bodoh, tetap saja celaka!” timpal Jarot dengan mimik masam. “Ini makin sering terjadi. Masalahnya di mana, ya?” sela Endi. “Kalau bukan manusianya, ya, alatnya,” jawab Rusdi. “Kambing hitamnya banyak. Cuaca, landasan licin, kerusakan mesin, alat navigasi, dan sebagainya. Nyaris tak terdengar akibat humman error. Padahal bisa saja akibat kelalaian awak, tim maintenance, atau bahkan ATC (Air Traffic Controler).” Romo memperkuat pendapat Rusdi. Prayit mengangguk setuju. “Kalau faktor alam, mungkin kita bisa maklum. Tapi kalau mesin rusak, apa lagi akibat human error tentu sangat menyakitkan,” imbuh Prayit. “Karena susah diprediksi, cuaca selalu jadi alasan favorit para pemilik maskapai. Dengan itu mereka bisa menutupi kekurangan atau kelalaian yang ada,” tukas Ican serius. “Cuma data kotak hitam yang bisa dipercaya,” ujar Romo. Jarot menoleh ke arahnya. “Tapi tetap saja, mereka yang pegang. Tak ada yang tahu, masih valid atau tidak. Apa lagi hasil penyelidikannya diberitakan berbulan kemudian. Sampai keluarga korban putus asa, capek dan kecewa!” kata Jarot membuat mulut para survivor terdiam. “Kata teman saya yang kerja sebagai mekanis pesawat, ada produsen yang mengklaim kalau pesawat mereka mampu beroperasi dua puluh hingga tiga puluh tahun. Dengan catatan, maintenance-nya baik. Sesuai standar internasional dan nasional. Tapi dari artikel lain yang saya baca, seorang ahli berpendapat bahwa pesawat di atas usia dua puluh lima tahun itu tak lagi layak terbang. Meski dirawat sebaik mungkin. Sebab material badan pesawat mengalami titik kejenuhan. Akibat adanya perbedaan tekanan udara dan temperatur di kabin. Bahkan perbedaan itu bisa mencapai seratus derajat. Apa lagi kalau hanya dirawat, atau diservis ala kadar. Cuma akan memaksa pesawat itu bisa terbang.” Cerita Romo dengan mimik serius. “Apa lagi rata-rata yang beroperasi di negeri ini pesawat bekas,” timpal Bobi bergidik. “Tapi jangan kelewatan juga. Sudah tahu pesawatnya bekas, onderdil bekas, perawatannya pun buruk!” ujar Jarot serius. “Soal maintenance, aku yakin, maskapai lokal tak seserius maskapai asing. Jangankan pesawat tua, yang baru saja tampak tua. Mungkin mereka sengaja memangkas dana perawatan, agar bisa untung besar!” sambung Rusdi masam. “Harusnya KNKT lebih ketat mengawasi. Baik transporasi darat, air, apa lagi udara. Tak hanya sarananya, tapi dari manajemen, hingga orang-orangnya. Memberi sanksi keras bagi yang bermasalah. Agar musibah seperti ini bisa diminimalisir. Karena tiap ada kejadian, mereka juga yang jadi sorotan publik,” kata Romo dengan wajah penuh harap. ”YLKI juga harus berperan. Jangan cuma ngurusi korban makanan saja. Tapi semua konsumen yang dirugikan pihak layanan publik,” tambah Doni. “Dulu, pernah nonton berita tentang kesibukan Tim SAR yang sedang mencari pesawat jatuh. Apa kita juga akan dicari?” gumam Kikan dengan mata kuyu. Semua menoleh ke arahnya. “Pasti. Karena pesawat itu memancarkan sinyal di radar. Kalau sinyalnya mendadak hilang, ATC akan mengecek, menandai, serta memberitakannya pada pihak terkait, juga Tim SAR. Mereka akan mencari dari kordinat terakhir sinyal pesawat yang tertangkap radar.” terang Romo menenangkan. “Bapak yakin, ada yang melihat, saat sinyal pesawat kita hilang?” tanya Kikan serius. Romo diam sesaat lalu mengangguk. “ATC selalu memantau, dan memandu semua pergerakan pesawat, dari mau berangkat hingga parkir di bandara tujuan.” Mereka menatap Romo. Berharap semua dugaan itu benar. Berharap mereka segera dicari, ditemukan dan diselamatkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD