“Bapak yakin? Takutnya nanti malah memicu ledakan lagi?” tanya Prayit menegaskan.
“Saya rasa sisa avtur sudah habis terbakar. Bukankah kebakaran tadi karena padam sendiri, bukan dipadamkan?” Tak ada yang menyangkal pernyataan Romo. “Kau punya pemantik?” lanjutnya. Alang mengangguk.
Alang membuka tas pinggang. Mengeluarkan sebuah tabung kecil bekas rol film kamera. Ternyata tabung kecil itu diisinya dengan batang-batang korek api kayu.
“Kau bawa korek api, Lang? Apa itu boleh?” Alang meringis mendengar pertanyaan Kikan.
“Kalo menyalakannya dalam pesawat tentu nggak boleh. Ini—sekarang kita udah di darat. Lagian pesawatnya udah nyungsep gitu!” sahut Alang menunjuk bangkai pesawat dengan ujung bibirnya. Beberapa orang tersenyum kecut mendengarnya.
“Apa bisa? Semuanya basah begitu?” tanya Prayit kurang yakin. Apa lagi yang dimiliki Alang cuma sebotol korek api jadul. Alang mengangguk yakin.
“Biar kucari ranting-ranting dulu,” ujar Alang seraya hendak berdiri. Tapi buru-buru Doni menahannya.
“Kondisimu tak lebih baik dari kami. Biar kami yang cari.” ucap Doni menawarkan diri. Malah Endi mau bergabung dengannya.
“Kalo ada plastik, bawa juga, Bang!” pinta Alang. Mereka mengangguk. Kedua orang itu berlalu. Dalam keremangan itu mereka mencari ranting-ranting kayu.
“Bagaimana lukamu?” tanya Ican yang sedari tadi lebih banyak diam.
“Masih agak pusing dan mual, Bang. Oh ya, kalo boleh tahu, apa rencana Bapak selanjutnya?” Alang mengalihkan pembicaraan. Ia tak merasa nyaman dengan pertanyaan yang hanya menimbulkan rasa sakit itu. Romo menghela napas.
“Kita harus mengubur jenazah-jenazah itu dulu. Nanti baru kita memikirkan langkah selanjutnya,” jelas Romo.
“Apakah Bapak awak pesawat?” tanya Alang lagi. Romo menggeleng.
“Bukan. Saya konsultan. Tim survei pertambangan tepatnya.” terang Romo.
“Kau butuh basa-basi itu?” sela Prayit. Tampaknya lelaki itu tak suka dengan pertanyaan basa-basi.
“Maaf, Pak. Hanya ingin mengenal. Bukankah kita butuh kedekatan dalam kondisi seperti ini?” jawab Alang balik tanya dengan mimik serius. Prayit mendengus masam.
“Benar. Kami sudah saling mengenalkan diri. Pak Prayit ini investor dan pemilik perkebunan sawit. Ican, pemilik studio foto. Doni seniman lukis, sedang Endi seorang teknisi komputer. Bagaimana dengan kalian?” ujar Romo ramah.
“Kami—masih pada kuliah, Pak!” Alang dan Kikan menjelaskan sekilas tentang diri mereka. Tak lama Doni dan Endi muncul. Membawa perca plastik dan ranting-ranting kecil. Mereka meletakkannya dekat Alang.
“Dapat! Tapi kelihatan semuanya basah!” terang Doni. Alang mengangguk. Pemuda itu bergeser ke tengah lingkaran. Semua mata terus memandanginya. Alang menyusun ranting-ranting kecil tadi silang menyilang. Lalu mengelap perca plastik dengan ujung kemejanya. Alang sedikit kikuk—karena merasa terus dipandangi. Perlahan ia keuarkan batang korek api dari dalam tabung bekas rol film. Lalu dengan hati-hati ia coba nyalakan. Seketika api melumat ujung korek. Curai api bergoyang diembusan angin. Alang melindunginya dengan tangan. Namun plastik itu tak juga terbakar, hingga api melumat habis batang koreknya.
Sudah tiga batang korek dinyalakan. Tapi hanya mampu menguapkan lapisan embun yang menyelimuti plastik. Saat batang korek ke empat dinyalakan, perca plastik mulai terbakar. Cahaya api sedikit menerangi. Menerobos lewat sela-sela tangan Alang. Lalu ia meletakkan bakaran plastik ke atas tumpukan ranting.
Tiba-tiba Kikan mendekat. Membantu melindungi api dari embusan angin. Api kian menyala. Mengeringkan serta melumat ranting-ranting kecil. Api mulai stabil menahan tiupan angin. Alang mematahkan ranting menjadi potongan-potongan kecil. Kikan mengikutinya. Ranting-ranting disusun mengelilingi api. Hawa panas akan membantu mengeringkannya. Alang mematahkan beberapa ranting yang lebih besar. Dihangatkannya ke atas lidah-lidah api—layaknya memanggang sate. Setelah cukup kering, ia masukkan ke dalam api. Diulanginya beberapa kali. Api kian membesar. Keadaannya makin terang dan hangat.
“Nyala!” seru Kikan spontan. Wajahnya tampak cerah. Alang tersenyum. Kini semua ranting itu tak lagi dipanggang, tapi disusun mengelilingi perapian. Layaknya pagar yang melingkari rumah. Agar air yang membasahi ranting-ranting itu segera menguap. Wajah-wajah sangsi itu berubah cerah. Jelas terlihat dari cahaya perapian yang makin besar.
Udara hangat itu seakan mampu menyalakan harapan dan semangat yang tadinya redup. Beberapa orang ke luar kabin. Bergabung ingin menghangatkan diri di perapian. Ruang kabin ekor kebagian cahaya lewat celah retakan. Dua belas orang berkumpul mengelilingi perapian. Mereka berbicara tentang rencana untuk esok hari. Usul satu ditimpali usul lainnya. Secara tidak langsung kelompok itu memilih Romo sebagai pemimpin.
“Kita harus menggali lubang untuk makam. Memeriksa seluruh kabin. Mencari korban lain, atau benda-benda yang bisa dimanfaatkan. Entah makanan, obat, atau radio komunikasi. Jika memungkinkan kita cari air,” terang Romo.
“Sebentar, Pak, menggali? Apa kita sanggup? Kita belum makan, atau minum sama sekali?” tanya Ican. Seketika kebekuan menyergap. Romo menghela napas.
“Cuma itu pilihannya. Selagi masih ada tenaga. Tak mungkin kita biarkan mayat-mayat itu membusuk. Bukan hanya tak manusiawi, tapi berdampak buruk secara psikologis,” ucap Romo menerangkan. Semuanya terdiam.
“Siapa yang akan mengerjakan itu semua?” tanya seorang wanita.
“Jelas kita. Siapa lagi?” jawab Romo serius. “Kita bagi kelompok!”
“Tapi jumlah kita tak banyak.” tukas seorang survivor. Suasana kembali hening.
“Jumlah kita dua puluh tujuh orang. Dilihat dari kondisinya, ada delapan belas orang relatif kuat. Sementara kita punya tiga tugas utama. Mengubur mayat, memeriksa kabin, dan mencari air. Usul saya, tujuh orang laki-laki menggali lubang. Lima pria, dan tiga wanita memeriksa kabin. Tiga orang pria lagi mencari air. Bagaimana?” tanya Romo mengusulkan. Semua bungkam. Tak ada yang menjawab. Entah masih mempertimbangkan, atau malah enggan mengiyakan. Karena semua tugas tak ada yang mengenakkan. Hanya terdengar helaan napas. “Semuanya berat. Tapi—hanya itu yang bisa kita lakukan saat ini,” tambah Romo dengan suara pelan.
“Biar aku yang mencari air!” jawab Doni mantap.
“Bersamaku, Don,” timpal Endi.
“Aku ikut, Bang!” seru Alang. Romo menatap sesaat lalu mengangguk.
“Bagaimana yang lain?” Romo memandang mereka bergantian. Mereka hanya masih saling pandang.
“Saya di Tim Kabin.” sahut Prayit perlahan.
“Berarti saya di penggalian. Besok enam orang ikut saya. Tujuh orang ikut Pak Prayit. Dua orang ikut Doni. Begitu?” kata Romo memastikan. Para survivor menggangguk. “Jika sudah paham, sebaiknya kita istirahat. Besok kita akan bekerja keras.” tutup Romo menyudahi pembicaraan.
Beberapa orang kembali ke kabin. Doni, Endi, Romo, Kikan dan Alang, masih duduk mengelilingi perapian. Di situ memang lebih hangat, ketimbang dalam kabin.
Suhu di kawasan itu semakin terasa dingin. Mungkin sekitar lima belas derajat. Tak lama beberapa orang mulai bersandar, bahkan tergolek di atas kursi pesawat. Hanya Romo dan Doni yang masih terjaga. Sesekali terdengar gumaman mereka. Malam kian larut. Hingga hanya derik serangga malam yang terdengar. Malam pertama survival dimulai...