Minggu, 14 Januari 2007
Kabut tipis masih menyelimuti. Daratan itu landai namun sedikit miring. Mungkin itu jadi area pilihan sang Pilot untuk mendarat darurat. Karena hanya ditumbuhi semak belukar, serta beberapa batang pohon ukuran sedang. Tumbuh jarang-jarang dan sporadis. Sementara sekelilingnya belantara lebat. Ditumbuhi batang-batang pohon yang tinggi dan besar. Mungkin butuh banyak orang bergandengan untuk memeluk lingkar batangnya.
Batang pepohonan itu menjadi tiang-tiang kanopi hutan. Ujung dedaunan yang menjuntai seakan saling bergenggaman. Tumbuh lebat menghalangi cahaya mentari. Langit seakan jadi misteri. Hanya mengintip dari celah dedaunan dan ranting. Sinar matahari butuh perjuangan untuk menembus jantung hutan. Bagai laser kehabisan daya—yang berjuang menembus payung-payung baja perlindungan dalam film-film futuristik. Sinar itu jadi temaram saat mencapai ke dasar hutan yang teduh dan lembab.
Semua makin jelas. Arah mata angin bisa diketahui, saat bias mentari muncul di ufuk timur. Jejak pendaratan pesawat tampak menganga. Memanjang dari selatan ke utara. Lebih dari seratusan meter panjangnya. Lapisan tanah tercongkel. Batang-batang pohon rebah dan patah. Akar-akarnya mencuat ke luar. Semak belukar terlindas dan tercabut. Jelas roda pesawat tak berfungsi pada permukaan seperti itu. Di akhir luncuran onggokan badan pesawat terkulai patah.
Makin ke barat dataran melandai ke lembah. Sebelah timur tampak lebih terjal. Seakan merupakan lintasan menuju ke puncak bukit atau gunung. Di sekitar lokasi luncuran ada sedikit bebatuan. Terbenam atau berserak di permukaan tanah.
Udara di sekitar badan pesawat sungguh tak mengenakkan. Aroma mayat mulai tercium. Entah dari mana, lalat-lalat hijau itu berdatangan. Berterbangan berebut hinggap di jejeran mayat.
“We’re Still Alive"
Ada tulisan arang di dekat jendela paling ujung. Tepatnya dekat pintu ekor pesawat. Entah siapa yang menulis. Orang-orang sempat bingung dan bertanya. Sebagian yakin kalau itu ditulis Romo. Karena dialah yang paling gigih menyemangati para survivor.
Para survivor terjaga mendengar tangisan orang. Seorang wanita yang duduk memojok di sudut kabin. Ada bercak darah di pipi juga dahinya. Pelipis di sekitar mata tampak biru lebam. Di hadapannya ada muntahan bercampur darah. Dia berseragam batik hijau pupus. Dini Oktavia, nama yang tertera di seragamnya. Dia salah satu pramugari pesawat.
Sudah ada beberapa orang yang mendekat. Mengajaknya bicara. Namun ia hanya bungkam duduk memeluk lutut. Menggeleng, dan terus menangis. Andai keadaanya lebih baik, tentu ia bisa diandalkan. Karena seorang pramugari sudah dipersiapkan untuk menghadapi situasi darurat. Baik ketika berada di pesawat, atau saat terjadi kecelakaan. Mereka mampu bertindak sebagai motivator, medis, bahkan jadi bidan sekali pun. Hanya trauma atau cidera fatal yang menyebabkan mereka tak bisa berperan semestinya.
“Dia baru siuman. Tapi kita tak bisa berharap banyak. Ia shock dan sulit diajak bicara.” Romo menjelaskan keadaan Dini. Sebagian survivor diam mendengarkan, sebagian lagi masih sibuk mengacung-acungkan telepon seluler. Masih berharap mendapatkan sinyal telepon.
“Enam orang ikut saya menggali. Enam lagi ikut Pak Prayit. Dua orang berjaga di kabin. Prioritas tim Kabin adalah alat komunikasi jika ada, obat, dan makanan. Juga benda-benda yang mungkin masih bisa dimanfaatkan. Untuk tim Doni, diharapkan tak sekedar mencari air, tapi sekalian melakukan pengamatan kawasan ini. Kalau ada yang belum jelas, silahkan tanya,” ucap Romo seraya memandang ke sekeliling. Suasana tampak hening.
“Menggalinya pakai apa, Pak?”
“Apa saja. Entah kayu, serpihan pesawat. Bila perlu pakai tangan.”
“Kira-kira kita berada di mana, Pak?” Seseorang bertanya. Pertanyaan yang tak ada sangkut pautnya dengan pembagian tim.
“Sejujurnya, saya tak bisa menjawab. Kita sama-sama tidak tahu. Secara geografis kita benar-benar buta,” jawab Romo pelan. Semua kembali bungkam. Itu memang jawaban yang tak menjelaskan apa-apa. “Tapi itu kita pikirkan nanti. Sebelum matahari meninggi, sebaiknya kita bergerak. Oh ya, ada yang ingin saya usulkan lagi—” Kalimat Romo terhenti. Sekilas wajahnya tampak ragu. Para survivor hanya menatapnya.
“Tentang apa, Pak?” tanya laki-laki bernama Ramon. Romo mengangguk.
“Kita semua tahu. Saat malam, udaranya cukup dingin. Terutama bagi mereka yang sakit, luka dan koma. Apa lagi dengan pakaian compang-camping—” Kalimat Romo kembali terhenti. Semua menunggu dengan bingung. “Mungkin—kita bisa memanfaatkan pakaian mereka.” Sambungnya pelan.
“Maksud, Bapak? Pakaian mereka? Mereka siapa?” tanya Prayit bingung. Beberapa orang tampak mengerutkan kening. Menerka arah perkataan Romo.
“Gila! Tak mungkin! Itu tak manusiawi!” Tiba-tiba pria bernama Jarot berteriak. Para survivor kaget. Wajah Jarot tampak memerah marah.
“Maksud Bapak, mengambil pakaian orang-orang yang meninggal?” tanya wanita paruh baya bernama Dewi. Semua menatap Romo. Pria itu mengangguk.
“Hanya pakaian dari jasad pria—,” jelasnya pelan.
“Ide busuk macam apa ini!” Potong lelaki bernama Rusdi.
“Tidak berperikemanusiaan!” Celetuk seorang lagi.
“Takkan kubiarkan mayat saudaraku ditelanjangi!” Teriak pria berwajah oriental bernama Henky. Selanjutnya terdengar gumaman-gumaman tak jelas. Menolak usul Romo. Lelaki tangguh ini pun terdiam.
“Sepertinya perlu dipertimbangkan. Bukan mau menelanjangi, atau tak menghargai. Ini juga diberikan kepada mereka yang sakit, luka, koma dan—masih hidup.” Suara itu menyeruak di antara gaung gumaman para survivor. Ternyata ada satu suara yang mendukung Romo. Orang-orang menatap ke sumber suara. Ke arah sosok Alang.
“Mereka juga tak sudi memakai pakaian orang mati! Ini tak manusiawi!” tepis Dewi sinis. Matanya menghujam ke mata Alang.
“Lebih manusiawi mana. Mempertahankan yang sekarat agar tetap hidup, dari pada mendebatkan yang udah mati?” Alang membela diri. Mata Dewi makin memerah. Dadanya bergemuruh menahan emosi.
“Dari pada? Enteng sekali bicaramu! Meski mati, mereka harus diperlakukan layak. Kau bisa bicara begitu, karena bapakmu, tak ada dijejeran mayat-mayat itu. Tapi bapakku, ada—tergeletak di sana!” Laki-laki bernama Ayi berteriak. Sambil menunjuk ke arah jejeran mayat. Mata penuh kilat itu menghujam. Sejenak Alang balas menatap, lalu menunduk. Ia cukup paham bagaimana rasanya kehilangan. Kilat mata Ayi meredup, lalu basah oleh air mata. Seketika suasananya menjadi kaku.
“Kondisi mamaku parah. Semalaman ia kupeluk, ia kedinginan—,” ucap laki-laki bernama Samuel dengan suara lirih.
“Isteriku juga.” Ramon menambahkan. Sebenarnya kedua orang ini mendukung Romo, hanya tak berani bicara langsung seperti Alang.
“Beri baju kalian saja! Takkan kubiarkan orang menyentuh jasad bapakku!” Bentak Ayi. Matanya kembali menyala-nyala. Semua membisu. Tak berani menyela atau berkata-kata.
“Ini terpaksa. Untuk mengurangi penderitaan yang cidera.”
“Itu teori Bapak, agar usul ini disetujui!” Jarot membantah Romo.
”Maaf, usul ini tak bisa kami terima, Pak,” tegas Prayit pelan. Hening sesaat.
“Baik. Maafkan saya, jika dianggap gila, tak manusiawi atau apa. Saya tak ingin kita berdebat, apa lagi terpecah. Anggap saja, saya tak pernah mengusulkannya,” tukas Romo bergetar. Kebisuan menyergap hati para survivor. “Mari kita lakukan saja apa yang telah kita rencanakan semalam.” tambahnya lagi. Romo meninggalkan kumpulan survivor. Satu persatu mereka bergabung ke kelompoknya masing-masing.