SUARA JERITAN DI KABIN

1135 Words
Tiga lelaki itu sibuk menarik serta memilah perca-perca plastik. Semuanya berasal dari bagian pesawat. Bekas jok atau pelapis bagasi. Tim ini kebingungan mencari benda yang bisa dipakai untuk membawa air. “Pakai apa coba?” gumam Endi bingung sendiri. “Nggak ada kaleng, botol, kantong plastik, apa lagi—ember!” gerutu Alang ngelantur. Doni dan Endi tersenyum mendengarnya. Entah apa yang membuat mereka yakin mendapat air. Pada hal mereka buta dengan wilayah itu. Sekedar menghibur diri, tekanan dehidrasi, atau itulah yang dinamakan harapan. Harapan adalah api semangat. Tak perlu memusingkan dapat atau tidak—yang penting berusaha. “Andai ranselku ada—,” gumam Alang seraya menatap bangkai pesawat. “Memangnya kau bawa apa?” tanya Doni sambil membongkar serpihan pesawat. “Peralatan hiking, Bang.” sahut Alang. Doni dan Endi menghentikan aktivitasnya. “Oh, ya? Kau mau mendaki?” tanya Endi. Alang menggeleng. “Pendataan gua di Maros.” “Mapala?” tanya Doni. Alang hanya meringis. “Bawa GPS? Kompas?” tambah Endi. “Cuma kompas. GPS-nya masih dipinjam teman.” “Semoga bisa ditemukan Tim Kabin.” ujar Endi penuh harap. Alang mengangguk. “Mereka sudah bergerak, sementara kita masih memilah benda-benda tak jelas ini,” keluh Doni tak enak hati. Alang masih memandangi perca-perca plastik itu. “Muatannya memang dikit. Tapi bisa. Disatukan ujung-ujungnya, dipuntir, lalu diikat.” gumam Alang. Doni dan Endi berpikir. Mencoba memahami kata-kata Alang. “Berarti butuh banyak!” ujar Doni serius. Lalu ketiganya mengumpulkan perca-perca plastik yang besar. Setelah merasa cukup, mereka beranjak menuju lembah. “Eh, sebentar, Bang!” seru Alang mengagetkan. Kedua orang itu serentak menoleh. “Apa lagi?” tanya Endi menatap Alang. Wajah pemuda itu tampak berbinar. “Bukankah di pesawat ada pelampung?” “Pelampung? Untuk apa?” ulang Endi bingung. “Pelampung itu kedap. Bentuknya mirip kantung, tentu bisa buat wadah!” terang Alang serius. Doni dan Endi terdiam. “Betul juga!” sahut Doni cerah. “Ayo, kita cari!” timpal Endi. Mereka pun berbalik menuju perapian. Di sanalah sebagian bangku-bangku pesawat berserakan. Setelah memeriksa di bagian bawah kursi, mereka berhasil menemukan pelampung. “Lumayan. Banyak yang masih utuh. Mari temui Tim Kabin!” ajak Doni. Alang dan Endi setuju. Mereka bergegas menemui Tim Kabin. Enam orang mengikuti Romo. Mencari dataran yang hendak dijadikan area pemakaman. Mereka hanya punya alat seadanya. Ada yang menggunakan serpihan pesawat atau patahan kayu. “Kita manfaatkan bekas lintasan ini. Paling tidak memperbesar serta memperdalamnya,” jelas Romo pada tim. Mereka menelusuri lintasan jatuhnya pesawat. Bekas lintasan itu mirip parit panjang yang berbelok. Seratusan meter lebih panjangnya. Tak hanya pepohonan yang rebah dan patah. Tampak akar pohon tercabik dan mencuat. Akibat hantaman badan atau sayap pesawat. Di situ banyak ditemukan serpihan pesawat. “Ini bagian terdalam. Mari kita kerjakan!” Romo menunjuk lubang lintasan yang paling besar. Sepertinya di situlah titik benturan pertama badan pesawat ke tanah. Setelah dibersihkan dari akar dan ranting, mereka mulai menggali. Kucuran peluh membuat tubuh terasa makin lemas. Baru beberapa menit saja, mereka sudah terkulai lemas. Didera letih, haus, juga lapar. Beristirahat sebentar, kembali menggali, lalu beristirahat lagi. Begitu seterusnya. Hingga liang itu makin lebar dengan kedalaman tak sama. Hanya bertambah beberapa puluh centimeter saja. Tapi cukup untuk menimbun jasad yang direbahkan. Mereka sudah benar-benar kehabisan tenaga. Makin banyak yang duduk terkulai, bahkan tidur terlentang dengan nafas yang memburu. Prayit mengerahkan tim yang berjumlah lima orang. Mereka kaget, saat Tim Pencari Air muncul. Doni menjelaskan maksud kedatangan mereka. Selanjutnya pencarian pelampung menjadi prioritas. Mereka memeriksa bagian bawah bangku-bangku pesawat. Di mana biasanya pelampung diletakkan. Ruang kabin setinggi dua koma sembilan belas meter itu tampak porak-poranda. Reruntuhan dan serpihan kabin meluruk ke depan. Mungkin akibat benturan, saat moncong pesawat mencium tanah. Namun tak sulit untuk menemukan rongsokan kursi. Tak sampai setengah jam, puluhan pelampung berhasil ditemukan dalam kondisi bermacam. Masih utuh, robek atau hangus terbakar. Selain pelampung mereka juga menemukan tiga botol air mineral ukuran kecil. Jika seluruh kabin selesai dijelajahi, mungkin akan banyak ditemukan benda-benda yang masih bisa dimanfaatkan. “Kami berangkat, Pak. Kalau ada pelampung, atau botol bekas lagi, tolong kumpulkan. Kami butuh benda-benda itu,” jelas Doni. Prayit mengangguk paham. “Semoga berhasil,” kata Prayit penuh harap. Ketiga orang Tim Pencari Air ke luar kabin. Beberapa pasang mata memandang mereka dengan perasaan khawatir. Mereka tahu, tugas tim itu tidak mudah. Harus mencari air yang entah di mana sumbernya. Menjelajah belantara asing yang antah berantah. Tim Kabin memeriksa kargo bawah dan kabin penumpang. Kerusakan kargo bawah memang parah. Meski tak seluruh bagian terjilat api. Namun terjepit di antara tanah dan badan pesawat. Mereka mengintip lewat dinding badan pesawat yang robek. Dalam keremangan tampak tumpukan barang-barang penumpang. Berbagai jenis, bentuk dan kondisi. Mereka berusaha keras untuk mengeluarkannya semua. Ican, Bobi, dan Kiki berusaha memperlebar robekan dinding kargo. Agar bisa menggapai benda-benda itu dari kargo bawah—yang tingginya tak lebih dari dua koma enam meter, dan lebar kurang dari tiga meter itu. Prayit, Ayi dan Kikan memeriksa kabin penumpang. Di sana ditemukan beberapa tas kecil dan beberapa bungkusan yang lumayan utuh. Selebihnya hanya bermacam tas yang hangus terbakar, rongsokan serta serpihan yang tak bisa dimanfaatkan. Mereka berpencar menelusup di antara puing, dan semacam pipa-pipa yang lepas dari tempatnya. Kabel-kabel serta masker oksigen gosong yang bergelantungan. Reruntuhan itu mencipta sekat-sekat di sepanjang ruang kabin. Semua sibuk mengorek dan membongkar rongsokan. Bak pemulung di tumpukan sampah. Memburu barang sisa yang mungkin berguna. Selanjutnya semua benda dilempar ke luar kabin. Agar nanti gampang untuk dipilah. Mendadak ada suara jeritan. Disusul suara langkah orang berlari. Sosok panik itu menabrak benda-benda yang berserak di depannya. Berlari menuju pintu darurat. Tim Kabin menghambur ke asal suara. Prayit terkesiap melihat sosok itu berkelebat ke arahnya. Membentur hingga keduanya jatuh bersamaan. Belum sempat Prayit bertanya, sosok itu memeluk seraya menangis ketakutan. Sosok itu tak lain Kikan. Ayi memburu ke arah mereka. “Ada apa, Pak? Apa yang terjadi?” cecar Ayi. Prayit tak menjawab. Masih membantu Kikan duduk. “Tenang. Ada apa? Apa yang kau temukan?” tanya Prayit pelan. Kikan memejamkan mata seraya menunjuk ke satu arah. “Aa—da, ke—kep—pf!” Kikan terbata-bata. Mulutnya terkunci oleh rasa takut. Hanya menunjuk-nunjuk. Wajahnya pucat pasi. Prayit mengangguk. “Baik. Tak usah diteruskan!” potong Prayit. “Ada apa, Pak?” Ican, Bobi, dan Kiki nyaris berbarengan memasuki kabin tengah. Mengelilingi Kikan dan Prayit. “Tak apa-apa. Mungkin ia menemukan mayat.” “Aku nggak mau, Pak. Aku nggak mau!” Mohon Kikan sambil menggeleng. “Iya, iya. Kami mengerti.” Prayit memandang orang-orang di sekelilingnya. “Antar dia ke Bu Dewi,” ucapnya seraya membantu Kikan berdiri. Ayi membimbing Kikan ke luar kabin. Dewi dan Lia, menyambutnya dengan bermacam pertanyaan. Saat melihat Dewi, Kikan langsung menghambur memeluknya. Air matanya kembali tumpah. Terbata-bata ia menjelaskan. Kedua wanita itu berusaha menenangkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD