Warisan Pahit Nori

1146 Words
28 September 2005 Hari ini dimulai dengan keanehan yang menusuk, bukan dengan melodi alarm yang membosankan. Ponsel Sony Ericsson-ku menjerit, memecah kesunyian pagi. Di layarnya, nama 'Nori' terpampang, sebuah nama yang seharusnya sudah menjadi kenangan. Mustahil. Jari-jariku gemetar saat menjawab panggilan itu. "Ma...af, ini dengan siapa?" tanyaku lirih dengan suara sedikit bergetar. "Yeona, aku mama Nori..." Aku lega mendengarnya. Syukurlah, hanya paranoia yang bermain. Aku terlalu larut dalam overthinking sejak kematian Nori. Pikiran konyol bahwa hantu sahabatku yang menelepon sempat menghantuiku. "Maaf ganggu kamu. Kamu bisa ke sini, ke apartemen Nori?" Aku berpikir apa ada sesuatu yang penting? "Yeona, kamu masih di situ?" "Oya, ya, Tante.." jawabku cepat. "Nori meninggalkan map yang bertuliskan namamu. Aku pikir ini penting. Kamu bisa ke sini 'kan, Yeona?" Dia menekankan ujung kalimat. "Iya, ya, Tante, aku bisa ke sana." "Makasih, Tante tunggu ya, Yeona." "Ya, Tante, sama-sama." Dan sambungan telepon pun terputus. Aku meregangkan otot-ototku yang kaku, lalu melompat turun dari tempat tidur. Langkahku menuju kamar mandi terhenti oleh perasaan aneh, tapi ku tepiskan. Lalu aku pun hendak melanjutkan ritual mandiku. Saat hendak memutar keran air, suara keras dari dalam kamar membuatku terlonjak. "Apa itu?" gumamku lirih. Seketika bulu kudukku berdiri. Dengan jantung berdebar, aku keluar dari kamar mandi dan kembali ke kamar tidur. Pemandangan yang menyambutku lebih aneh dari yang kubayangkan. Ponselku tergeletak di lantai dekat meja rias, padahal aku yakin betul meletakkannya di atas bantal, bukan di meja rias. "Aduh! Retak!" monologku sambil mengambil ponsel itu dengan perasaan campur aduk. Saat layar menyala, aku tersentak. "Hah? Ini...?" Foto kami bertiga. Aku, Nori, dan Dowon muncul di layar. Namun, retakan itu... retakan itu hanya menutupi wajah Nori. Sebuah kebetulan? Aku menepis segera pemikiran negatif, mungkin saja aku memang meletakkannya di atas meja rias. Ya, aku memang sering lupa. Tapi, bagaimana bisa ada di lantai? Tersenggol sesuatu? Mungkin ponselku bergetar, lalu getaran itu menggerakkan ponsel dan jatuh? Bisa saja 'kan? "Ayo, Yeona, pikir positif! Ini hanya kebetulan." gumamku meyakinkan diri kalau semuanya itu normal. Kutarik langkah menuju kamar mandi, berupaya mengenyahkan perasaan aneh yang menyelimuti ku. Aku mulai menyikat gigi, menggulung rambutku agar tidak basah terkena air. Semoga hangatnya mampu mengusir kalut yang menyesaki pikiran. Air mengalir lirih, membentuk simfoni ganjil yang membuatku memejamkan mata. Tiba-tiba. "Yeona..." Mataku membelalak, spontan aku berseru, "Si... Siapa itu?" Aku melihat sekeliling, tidak ada siapa pun. Hanya aku, tapi aku jelas-jelas mendengar suaranya. Cepat ku matikan keran air shower. Perasaanku semakin tak enak. Tuhan... tolong, hilangkan semua pikiran negatif ini. Lalu aku melilitkan handuk di tubuhku yang basah, berupaya mengusir sensasi aneh yang merayapi kulit. Namun, saat keluar dari ruang mandi, pemandangan ganjil menyambut. Embun membentuk lingkaran sempurna di kaca wastafel, seolah baru saja dihembusi napas seseorang. Sial! Aku menggelengkan kepala, menuju cermin itu, mengambil selembar tisu untuk mengelapnya. "Ini cuma uap air hangat, bukan hal yang aneh." Aku terus meyakinkan diri jika semua yang terjadi ini hal wajar. Perasaan ini timbul karena rasa kehilangan yang dalam. *** (10.15 AM) Saat kakiku melangkah keluar dari gerbang apartemen, mataku menangkap sosok Dowon tengah berbincang dengan satpam penjaga. Tak biasanya Dowon menjemput ku tanpa mengabari lebih dulu. Itu terasa sedikit... janggal. Aku bisa mendengar satpam itu berbicara tentang Nori. "Turut berduka cita ya, buat Nori. Dia kan sering banget main ke apartemen ini. Saya juga kaget pas dengar kabar dia meninggal." Dowon melambaikan tangan ke arahku, senyumnya terlihat dipaksakan. "Yeona, aku disuruh mama mendiang Nori menjemputmu." teriak Dowon dari kejauhan. Kudekati mereka, senyum kecil terukir di wajahku, namun terasa hambar. "Hai, Dowon... " sapaku ringan. "Yeona, kita harus segera ke apartemen. Hari ini barang-barang Nori akan dipindahkan." "Baiklah, semoga kita tidak terlambat." Aku mengikuti langkah kaki Dowon menuju mobilnya yang terparkir di luar gerbang. Duduk di kursi penumpang, sabuk pengaman kukenakan perlahan. "Mama Nori bilang, ada satu barang masih terbungkus rapi untukmu, ada tulisan namamu di atasnya." "Apa kamu sudah membukanya?" tanyaku. Dowon menggeleng lalu katanya, "Tidak, aku tidak membukanya. Ibu Nori bilang itu khusus buat kamu, Yeona." Keheningan menyelimuti kami. Apa yang Nori titipkan untukku? Sebuah pesan terakhir sebelum meninggal? Atau rahasia kelam yang selama ini ia pendam? "Yeona, kamu terlihat tegang sejak tadi. Jangan pikir macam-macam ya," ucap Dawon memecah keheningan. Kugelengkan kepala, berusaha menyembunyikan gejolak di dalam d**a. "Tidak, aku hanya lelah." Aku berbohong. Dowon tersenyum tipis. "Kita semua kehilangan Nori. Dan aku..." Dia menarik napas panjang lalu lanjutnya, "Aku sangat terpukul. Aku tidak menyangka ... Kamu pasti tahu alasannya, Yeona..." Kugigit bibir bawahku, merasakan perih yang menjalar. Aku tahu, Dowon-lah yang paling kehilangan Nori. Dan aku... aku terjebak di antara dua orang yang menyembunyikan rasa. Aku juga tahu, Nori menyimpan perasaan pada Dowon. Tapi apa gunanya mengungkapkannya sekarang? Mengakui bahwa Nori mencintai Dowon hanya akan menggoreskan luka yang lebih dalam di hati pria ini. Sebuah pengakuan yang terlambat, bagai pisau yang berkarat. Beberapa menit berlalu dalam keheningan yang menyesakkan, hingga akhirnya kami tiba di apartemen Nori. Kami berdua menaiki tangga menuju lantai 2, tempat kamar Nori berada. Di sana, orang tua dan adik Nori sudah menunggu. "Yeona, terima kasih sudah datang." Sambut Ibu Nori dengan senyum di wajah kuyunya. Kesedihan masih tergantung di sana. Saat aku menerima bungkusan cokelat itu, hatiku terasa seperti diremas. Benda itu terasa begitu berat, bukan karena isinya, melainkan karena itu adalah barang berharga terakhir yang kuterima dari sahabatku, Nori. Sebuah warisan yang pahit. "Terima kasih, Tante." Aku menganggukkan kepala pelan. Mataku nanar menatap Ibu Nori. Setetes air bening bergulir ke pipiku, tak mampu kutahan. Ibu Nori tersenyum, katanya, "Yeon, jangan sedih lagi ya. Nori sudah bahagia di alam baka." Kusapu air mata yang jatuh di pipiku dengan kasar. Lalu, dengan langkah berat, aku ikut bergabung membereskan barang-barang Nori. Setiap sentuhan, setiap aroma, kembali menusuk ingatanku, membangkitkan kenangan yang seharusnya kubiarkan tertidur. Saat kakiku melangkah memasuki kamar Nori, sebuah bisikan halus kembali menyapa telingaku. Suara itu... suara yang sangat familiar, namun seharusnya tidak mungkin ada di sini. Oh, Tuhan... kumohon, katakan padaku bahwa ini hanyalah imajinasiku yang bermain-main. Tidak mungkin Nori berada di ruangan ini, dia sudah meninggal. Jantungku berdegup kencang, darahku terasa membeku. Aku menoleh ke sekeliling, mencari sumber suara itu, namun yang kutemukan hanyalah wajah-wajah berduka yang tengah sibuk mengemasi barang. Apakah mereka juga mendengarnya? Atau hanya aku? Kucengkeram erat bungkusan cokelat di tanganku, mencoba mencari pegangan di tengah badai kebingungan yang melanda. Tidak, ini tidak mungkin. Nori sudah pergi. Lalu, suara siapakah yang kini berbisik di telingaku? "Bisikan itu, hanya suara angin." Monologku, menepis kegelisahanku, aku harus tetap waras. Dengan langkah gemetar, kuputuskan mencari pelarian. Kamar mandi apartemen Nori menjadi tujuanku. Kuharap air dingin menjernihkan pikiran yang berkecamuk, mengusir bayangan aneh yang menghantuiku. Namun, oh, malapetaka! Saat selesai mengeringkan wajah dengan selembar tisu, sebuah pemandangan mengerikan tertangkap oleh retinaku yang sensitif. Sebuah bayangan... melintas tepat di belakangku, dalam pantulan cermin yang gelap dan penuh rahasia. Sosok itu buram, tidak jelas, namun auranya begitu kuat, begitu... mengintimidasi, bukan aura makhluk hidup, itu sesuatu yang telah mati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD