bc

Milky Way (Indonesia)

book_age18+
1.1K
FOLLOW
14.8K
READ
billionaire
HE
opposites attract
powerful
sweet
bxg
office/work place
like
intro-logo
Blurb

'Lebih baik ditertawakan karena belum menikah daripada setelah menikah tidak bisa tertawa'

Itu adalah prinsip hidup yang membuat Selin tetap santai menjalani kehidupannya meski belum menikah menjelang usia 30 tahun.

Tepat di ulang tahunnya yang ke 30 Selin mendapatkan hadiah tidak terduga, pernikahan dengan Satria.

Tidak tahu termasuk musibah atau berkah, Satria ternyata atasannya yang baru di kantor. Ditambah Satria yang merupakan anak pemilik perusahaan, menjadikan Selin terancam dipecat kalau tidak bisa mempertahankan pernikahannya.

"Kenapa gue harus ketemu lo dimana-mana sih? Di apartemen, di kantor!" pekik Selin frustrasi.

"Mungkin kita memang berjodoh," celetuk Satria asal.

Satu-satunya hal yang membuat Selin merasa bersyukur dalam pernikahan ini adalah pernikahan ini harus dirahasiakan. Coba tebak kenapa?

chap-preview
Free preview
Prolog
Mending diketawain karena nggak nikah-nikah, daripadi udah nikah tapi nggak bisa ketawa Selin mengangkat sudut bibirnya kala teringat kata mutiara yang menjadi prinsip hidupnya akhir-akhir ini. Kalimat itu berhasil membuatnya cukup percaya diri untuk menghadiri acara pernikahan saudaranya. Agenda kumpul keluarga dengan alasan apapun itu selalu ia hindari selama beberapa tahun belakangan. Alasannya sederhana. Muak ditanya ‘kapan nikah?’. Lalu hari ini, setelah hanya senyum saja setiap ditanya seperti itu. Pertanyaan serta berbagai ucapan dari Bu Lilis membuat Selin merasa tidak cukup hanya menjawab dengan senyuman. “Septi loh sudah punya anak tiga sekarang,” imbuh Bu Lilis. Seolah tidak puas setelah bertanya kapan Selin akan menyusul menikah. Mengingat sebentar lagi usianya memasuki 30 tahun. Selin kemudian menyengir kuda. Melihat tawa Bu Lilis yang sangat ia pahami sebagai tawa basa-basi saja. Untuk menyamarkan kecanggungan suasana akibat ucapannya barusan. Kenapa canggung? Karena Selin tidak bersuara sama sekali. “Oh iya udah tiga ya, Bu? Nanti tolong kabari ke Septi kalau saya udah ganti nomor ya, Bu. Takutnya nge-chat minjem uang buat beli s**u anaknya ke nomor saya yang udah nggak aktif. Biasanya gitu. Minjem uang buat beli s**u anak, popok, sama pernah buat makan sehari-hari katanya.” Tawa Selin kemudian menggelegar. Seperti tawa tokoh jahat di kartun-kartun. Memang hanya tawa pura-pura namun cukup menggelegar dan membuat Selin terlihat sangat jahat setelah mengatakannya. Sebenarnya Selin merasa tidak sopan harus bicara begitu. Apalagi Septi adalah temannya saat Sekolah Dasar. Masalahnya adalah yang ia ucapkan tadi memanglah benar terjadi. Selin juga mengatakan ini karena baginya Bu Lilis sudah keterlaluan. *** “Kamu nggak sopan banget, Lin. Masak bicara begitu dengan Bu Lilis. Sekampung jadi heboh gosipin Septi dan kamu.” Ucapan sang ayah itu hanya ditanggapi santai oleh Selin. “Bu Lilis soalnya bilang aku nggak laku, Pak. Pake bilang perawan tua lagi. Kayak anaknya yang paling bener aja. Hamil duluan begitu,” sahut Selin kesal. Ia memang kesal dengan Bu Lilis dan keluarganya. Bahkan dengan Septi. Uangnya belum kunjung dikembalikan. Sebenarnya Selin juga sudah ikhlas saat memutuskan memberi pinjaman uang. Dirinya bukan kasihan pada Septi, tapi pada anaknya Septi yang pernah masuk rumah sakit dan nyaris tidak selamat karena tidak ada biaya. Sayangnya setelah itu, Septi selalu meminjam uang, yang tentu Selin tolak. Dirinya hanya sekali meminjamkan uang dalam jumlah besar. Yang membuat Selin kesal adalah attitude perempuan itu. Tidak peduli bagaimana indahnya dulu persahabatan mereka saat kecil, sekarang semuanya sudah berubah. “Ya sudah diamkan saja. Besok kamu ke Jakarta. Ya kamu baik-baik saja. Tapi kasihan ibumu yang harus mendengar dan menanggapi omongan orang-orang. Sekarang semuanya jadi membicarakan kamu.” Selin menghela napas kesal. “Mereka pada kurang bahan omongan,” gumam Selin. Ayahnya itu hanya berdecak. Mood Selin sudah cukup buruk karena ia sedang datang bulan. Lalu semakin buruk karena ucapan Bu Lilis tadi terasa terlalu menyakiti hatinya. Lalu bertambah buruk karena dirinya kini menjadi buah bibir dimana-mana. “Kalo mereka masih ngomongin aku. Bilang aja. Ngapain cepet-cepet nikah, ujung-ujungnya minjem duit sana-sini nggak bisa ngehidupin anak, istri, keluarga.” “Selin!” Ayahnya itu membentaknya. Tentu saja Selin paham kalau dia salah. Ia hanya kesal karena selalu dipaksakan mengikuti standar orang sini. Seolah waktunya sangat terbatas. Seolah jika ia tidak segera menikah, maka dirinya akan kiamat. Lagi pula Selin merasa bahagia sejauh ini dengan pencapaian dan karirnya. “Bapak nggak pernah mendidik kamu untuk jadi arogan. Sekarang ikut Bapak minta maaf ke rumahnya Bu Lilis.” “Nggak mau. Kenapa harus aku yang minta maaf? Bu Lilis dan semua masyarakat yang pernah menyinggung hati aku, enggak pernah tuh datang kesini minta maaf. Datang kesini cuma untuk pinjam uang aja kan?” “Selina Thalita! Apa gunanya kamu sekolah tinggi dan karir cemerlang? Kalau ucapan kamu dan cara kamu memandang orang lain seperti orang nggak pernah disekolahkan,” ujar sang ayah dengan nada tinggi.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
204.6K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

My Secret Little Wife

read
95.7K
bc

Tentang Cinta Kita

read
189.4K
bc

Siap, Mas Bos!

read
12.5K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.5K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook