[7] 000111: Garis Pandang

1384 Words
[Kak Rahman]: Aku datang malam besok ye. Mau titip sesuatu ga? [Assar]: Nggak deh Kak, kecuali Kakak bisa bawakan bolu jadul dari sana. [Kak Rahman]: Ahahaha. Kakak padahi Mamah. [Assar]: Eeh ha Ka ai. Aku melihat ke arah jam tangan yang menunjukkan angka 12:28. Jam di sini terasa aneh bagiku. Meski sudah beberapa pekan sebelum mulai kuliah aku di sini, aku tetap tidak terbiasa dengan waktu yang digunakan di sini. [Ismail]: Fatimah tiba-tiba batal bro ☹ [Assar]: Eh? Bukannya dia bilang dia pergi bersama Ismail ya tadi di apartemen? Bukan aku bisa bongkar informasi itu sih. [Assar]: Mungkin ada tugas yang dia baru sadar. [Ismail]: Masa sih? Fatimah setauku rajin. Tugas kelar di awal. [Assar]: Ada kelas gak dia hari ini? [Ismail]: Gak tau sih. Gue gak pertanya tanya. [Assar]: Kali aja ada. Coba aja tanyain. Aku menghela napas. Masjid tempat aku berada saat ini memberikan keteduhan dengan kehadiran pepohonan yang rindang. Aku mencoba menghembuskan napas sejenak, sebelum kalimat Mas Rasyid soal tugas angka Nol masuk ke benakku. Percakapan dengan Ismail menguap bersama angin. Angka Nol ya? Emangnya Nol apaan? Apa tanya Kakak aja ya? “Nol, kenapa dengan angka Nol sih?” gumamku heran. Aku mencoba berpikir apa yang dimaksud dengan angka Nol. Nol itu memiliki banyak makna, namun yang aku ingat semua merujuk kepada ketiadaan. Apa itu jawabannya? Kalau informasi yang mengatakan bahwa kedua dosen dengan nama Ayyubi sama-sama aneh dalam memberikan soal, mungkin saja ada relevansinya. [Kak Rahman]: Oh ya, aku ngobrol sama beberapa anak calon anggota perusahaan. Mereka mau ketemu di coworking space dekat apartemen. Kamu sabtu lusa gak ada kerjaan kan? [Kak Rahman]: Kalau ada urusan kampus gak perlu datang kok. Aku gak mau maksain soalnya. Sebenarnya, ada notifikasi pesan di grup angkatan tepat di saat itu pula bahwasanya ada panggilan senior hari sabtu itu. Tapi, persetan! [Assar]: Gak kok Kak. Bisa aja. [Kak Rahman]: Oke cippu. Aku menghembuskan napas berat. Mengganggu berpikir saja terkadang pesan-pesan ini. Muncul di saat aku sedang berkonsentrasi mencari jawaban. Eh sebentar. [Assar]: Kak, Fool itu angkanya nol kan? [Kak Rahman]: Iya, odo opo? [Assar]: Makasih Kak. Kalau Prof Ayyubi mau main filosofi, ayo kita bermain filosofi. Jika apa yang aku pikirkan benar, maka makna angka nol bisa diperluas lagi. Ini lebih ke hobi kakakku sih, tapi ya situasi sedang menuntut jadi tidak apalah kan ya? Nol dalam kartu tarot dipakai untuk merepresentasikan Arcana Fool. Arcana Fool sendiri adalah sebuah kartu yang bermakna rasa tidak bersalah, kebebasan, inspirasi dari Tuhan, spontanitas, tidak berpengalaman, kekacauan, dan kreativitas. Kalau aku jawab seperti itu apa yang akan terjadi ya? Apa mungkin aku perlu melihat lebih jauh? Oh ya, Jester. Jester, setara dengan Fool, namun merepresentasikan dalam bentuk yang ditekan. Perbedaan dari keduanya adalah Jester menolak untuk bekerja sama dengan yang lain, sedangkan Fool bekerja sama dengan semua orang di sekitarnya. Sebentar-sebentar, kenapa aku berpikir ke sana? Aku menggelengkan kepala. Meskipun Prof Ayyubi katanya sama dengan Pak Bayu, aku harus mencari tahu lebih jauh terlebih dahulu. Mungkin aku akan mempelajari sejarah angka nol saja. [Aris]: Yang kelas Pengantar Prof Ayyubi, ini ada pesan dari Mas Rasyid. Untuk tugas terkait angka nol akan dikumpulkan pada pekan keenam. Diminta untuk membuat essay menjelaskan tentang angka nol minimal 2 halaman sebagai bukti pelaksanaan tugas. Aku membaca pesan itu berulang kali, memastikan aku membacanya dengan benar. [Harun]: Mohon maaf Aris, saya izin tanya, apakah tulis tangan atau diketik? Jenis kertasnya? Aturan margin adakah? Format file jika softcopy? Jika diperkenankan, apakah boleh meminta tips dari Mas Rasyid terkait tugasnya untuk hasil maksimal? [Aris]: Waduh, formal banget sih Harun. [Aris]: Aku tanya dulu ke Mas Rasyid. [Harun]: Terima kasih banyak Aris. Harun itu terlalu sopan, bahkan dengan teman seusianya. Tapi, dia cukup frontal juga dalam bertanya. Meminta tips itu jelas maksudnya apakah ada jawaban tersembunyi atau semacamnya. “Assar?” suara merdu- suara Latifah memasuki telingaku. Aku menggelengkan kepalaku sebelum menoleh ke arah sumber suara. “Ya?” tanyaku datar seraya menoleh ke arah Latifah. “Kamu ngapain di sini?” tanya Latifah dengan lembut, namun wajahnya menunjukkan keheranan. “Memikirkan tugas Prof Ayyubi,” jawabku datar. Latifah hanya menganggukkan kepalanya. “Sudah ada ide jawabannya apa?” tanya Latifah kepadaku. Aku menggelengkan kepala. Masih belum cukup informasi untuk memberikan jawabanku, lagipula, itu merugikanku. “Kamu memilih jurusan ini karena pilihanmu kah?” tanya Latifah lagi. “Iya. Agak dipengaruhi oleh kakakku sendiri sih, tapi overall it’s my choice,” jawabku. Latifah tampak merenungkan jawaban itu. “Kamu cukup banyak tahu tentang pemograman?” tanya Latifah lagi. “Tidak terlalu, kenapa tiba-tiba bertanya hal-hal seperti ini?” tanyaku balik dengan tatapan menyelidik. Latifah tampak terkejut, namun dia akhir menghembuskan napas berat. “Kita bisa bicara di tempat lain kah? Aku tidak enak kita berada di dekat masjid seperti ini.” Aku menganggukkan kepala, dan kami pun berjalan pergi dari daerah masjid. Lingkaran pusat kampus, yang menjadi tempat rindang untuk bersantai atau diskusi, menjadi tujuan kami. “Kenapa kamu bertanya hal-hal seperti itu?” tanyaku memulai percakapan kala kami sudah tidak terlalu dekat dengan keramaian. Latifah menatap ke lantai. “Aku memilih jurusan ini karena terpaksa. Ayahku ingin ada anaknya yang sukses, kalau bisa dibidang IT dan kerja di perusahaan prestis, dan kakak-kakakku semua mengecewakan ayah selama ini,” cerita Latifah begitu saja untuk menjawab pertanyaanku. Nada suaranya dia kecilkan sehingga aku yakin percakapan ini tidak berjalan jauh dari posisi kami saat ini. Aku bimbang ingin percaya atau tidak, tapi saat ini aku mencoba untuk percaya. “Kamu yakin menceritakan hal seperti ini ke sembarang orang?” tanyaku seraya menaikkan sebelah alis. Dia tampak terkejut, seperti dia keceplosan membuka sebuah informasi yang harusnya dia tutupi. Namun, dia segera menggelengkan kepalanya. “Jujur saja, aku tidak tahu mengapa, tapi aku mengatakannya begitu saja. Aneh karena kita baru empat hari bertemu, namun aku dua malam terakhir ini bermimpi menceritakan kepadamu tentang semua masalahku,” jawabnya jujur. Orang menelan mimpi sebagai perintah? “Lalu, apa reaksiku?” tanyaku datar. “Tidak ada. Aku selalu terhenti di tengah kalimat sebelum terbangun menyadari keteledoranku,” ucap Latifah pelan. Aku tidak tahu ini omong kosong atau apa, tapi kita ikuti saja dulu. Aku tidak ingin menelan semua informasi ini mentah-mentah. “Apa Zahra mengetahui ini?” tanyaku datar. Latifah menatapku bingung. “Tentang keluargamu,” jelasku. Latifah menganggukkan kepala. “Zahra adalah temanku semenjak SMA. Dia sudah tahu semuanya,” jawab Latifah. Setidaknya dia jelas tidak membohongi Zahra. Aku akan cross-check lain waktu. “Oke ... lalu, apa hubungan masalah itu dengan kemampuan program?” tanyaku kepada Latifah lagi. Latifah menghembuskan napas berat. “Ayah memohon kepada beberapa tanteku yang bersedia patungan uang kuliahku dengan beberapa syarat. Mereka bersedia menyekolahkanku di kampus ini kala aku berhasil tes UTBK. Namun, mereka hanya membiayai uang kuliah dan aku harus mencari uang sendiri untuk biaya bulanan hidup. Aku diberi saku oleh ayah untuk sebulan saja ... aku bersyukur lowongan itu aku dengar pula kala aku tiba,” lanjutnya pelan menceritakan tentang kehidupannya, seakan menghubungkan dengan alasan pemrograman. Aku mulai sedikit paham kenapa dia kerja sampingan. “Beberapa syarat katamu?” tanyaku lagi. Dia menganggukkan kepalanya lemah. Dia mengeluarkan sebuah kertas dengan materai 10000 di sana. Kenapa keluarga besarnya sampai memakai materai seperti ini? “Kamu bisa baca, Assar. Aku jujur tidak kuat mengucapkan isinya,” jawab Latifah pelan. Aku menerima kertas itu dan mulai membacanya. “... harus lulus dalam 8 semester ... jika IPK dibawah 3.0, maka seluruh bantuan sekolah dari semester berikutnya hingga lulus tidak dibiayai ...” Aku mencoba tidak emosi membacanya, mempertahankan ketenangan yang aku punya. Aku tidak mudah percaya, namun materai 10000 adalah hal serius. Ini ... gila. “Aku sebenarnya tidak punya bakat pemograman. Aku hanya ingin mewujudkan mimpi ayah. Aku ingin keluargaku ada seseorang yang bisa dibanggakan,” ucap Latifah pelan. Aku mencoba tidak mengeluarkan air mata. Sial, hal seperti ini tidak lucu. Kehidupan ditentukan oleh nilai. “Aku tidak tahu apa aku bisa membantu, karena aku tidak tahu persis arena kampus ini seperti apa. Kita lihat saja dulu,” jawabku menggantung. Aku tidak bisa mengatakan iya, karena aku perlu mencari kebenaran satu potong jawaban saja: apakah Zahra tahu? “Aku paham kalau kamu ragu, Assar. Lagipula, kita baru berinteraksi selama empat hari,” ucap Latifah.  “Aku akan pikirkan dulu,” ucapku seraya beranjak, “jawaban pastinya akan aku berikan kala aku bisa memberikannya.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD