[8] 001000: Merajut Asa

1247 Words
“Apakah aku bisa membantu?” gumamku seraya mengerjakan sisa tugas yang masih ada. Bahkan, tugas Nol pun sudah mulai ku jawab terlepas dari benar salahnya. Aku tidak ingin menunggak hingga mepet dengan deadline, seperti kebanyakan umat mahasiswa kalau kata kakakku sendiri. “Entahlah, aku tidak yakin- apa mungkin Kak Rahman bisa?” pikirku lagi. Kak Rahman mendapatkan dana dari seorang publisher untuk game yang dia buat sendirian. Karena mendapatkan pendanaan itu dia ingin membentuk tim dan mencari tempat di kota aku berkuliah ini. Entah mengapa, aku memilih menelpon laki-laki itu. “Assalamu’alaikum, Kak Rahman.” “Wa’alaikumussalam Sar. Tumben nelpon, takok opo?” tanya Kak Rahman dengan gaya Jawa yang sepertinya dia buat-buat. Dia tidak asli Jawa, begitu pula aku. Dan terkadang, aku ingin membalas sarkas dengan gaya sunda waktu SMA dulu. “Kak. Kakak bakal buka tempat latihan gak kak dengan dana besar yang kakak dapat?” tanyaku. Kak Rahman tertawa. “Wah, kok tanya gitu Sar? Kakak emang ada rencana dari lama sih, tapi gak tau bisa jadi apa nggak. Soale gak tau bisa profit apa nggak, dan ini RPG masih perlu di-maintenance makanya cari tim ke sana. Lagipula, kamu kan sudah kakak ajarin dan sudah jago,” komentar Kak Rahman. Aku ragu mendengar kalimat itu. Kak Rahman memang profit-driven kalau perkara bisnis selain game yang dia buat itu. Dia cukup passionate untuk membuat game RPG yang sekarang mulai heboh dan dapat publisher itu, meski aku tahu dia beberapa kali sempat nyaris berhenti. Apakah dia bersedia untuk bergerak di edukasi... adalah sebuah harapan yang sepertinya mustahil mengingat dia tidak berfokus di sana. Dia tidak ada keinginan untuk mengedukasi orang selain adiknya sendiri. “Ini bukan buat kamu ‘kan, Assar?” tanya Kak Rahman. “Bukan Kak. Buat temanku,” jawabku jujur. “Oalah. Nanti aku coba carikan. Dia ada biaya berapa?” tanya Kak Rahman. “Tidak ada,” jawabku lagi. Entah kenapa, aku ingin marah mendengar pertanyaan terakhir Kak Rahman. “Wah, bakal susah sih. Aku coba ya... mungkin ada satu sih yang bisa. Doakan dia gak sibuk,” komentar Kak Rahman. Aku menghembuskan napas lega. “Terima kasih Kak.” “Tentu saja, whatever you want brother,” balasnya sebelum menutup telepon. Aku menatap lama ponselku setelah dia menutup teleponku. Ada sepercik harapan, tetapi harapan itu tidak pasti. “Aku hanya berharap Allah berkenan memberi dia jalan,” gumamku pelan. Entahlah, aku tidak kuat melihat dia seakan berputus asa. Aku kira, semua orang memilih masuk ke kampus ini atas keinginan mereka sendiri... [Kak Rahman]: Jemput kada nih? Mun kam datang aku umpat kam daripada bataksi larang-larang di Bandara. Waluh harganya. [Assar]: Handak jemput akan kah Kak? [Kak Rahman]: eeh. [Assar]: Oke-oke. Siap-siap dulu nah. Aku melihat ke jam yang menunjukkan angka 15:35. Dia akan datang malam nanti. [Assar]: Kadada bagasi lo? [Kak Rahman]: Oh, kada pang. Baju cuma sewadah tas belakang banar ai. Oke. Setidaknya dia masih ingat aku tidak memiliki mobil di sini. [Kak Rahman]: Kaka masih sangkal kam kada bemobil pang. Jaka kada nyaman ku bawa koper dah. [Assar]: Seenaknya. [Kak Rahman]: Boarding. [Assar]: Selamat sampai tujuan. Aku pun mulai bersiap-siap. Ya sebut saja agak gila motor ke bandara. Sebenarnya aku lumayan hafal jalan ke bandara dari apartemen, tentunya karena dulu kakakku juga tinggal di sini. Bisa dikatakan, aku mewarisi semua yang dia miliki saat berkuliah di sini. Apartemen ini, motor yang ku pakai sekarang, dan tentunya semua perabotan dalam apartemen. Aku pun mengambil kunci motor. “Hadeeeh, mauk banar dasar urang parak aku tadi tuh,” keluh seorang pria dengan berat sekitar 80 kilo. Tampilannya sekilas urakan, meskipun aku yakin dia sudah kena tegur berulang kali tentang penampilannya. Namun, dia setidaknya masih memakai hoodie yang sering dia pakai sehingga urakan itu tidak terlalu nampak jika dia menutup kepalanya. “Kenapa pulang, Kak Rahman?” tanyaku berhati-hati. Kak Rahman naik ke motor dan aku pun mulai menjalankan motor. “Biasa, tahu ja toh di pesawat, main HP kada pakai airplane mode. Dipadahi besangit. Untung tadi ditagur pramugari,” jawab Kak Rahman dengan ketus. Ah, mulai sudah keluhan kecil dia. “Wadai kam ku bawa akan dah di tas. Kena pas datang,” komentar Kak Rahman lagi. Aku menganggukkan kepala, mata berfokus ke jalan raya. “Terima kasih banyak Kak!” ucapku sedikit berteriak, supaya angin tidak mengalahkan suaraku. “Besok datang lo? Kadada kah himpunan mengiau buhan kam?” tanya Kak Rahman sekaligus. Aku tidak menjawab, seakan angin membuat suara dia gak terdengar. “Besok datang lo?” tanya Kak Rahman dengan suara lebih tinggi. “Inggih Kak!” teriakku balik. Setelah itu, hanya percakapan kecil tidak berarti terkait kehidupan Kak Rahman yang sempat dicap pengangguran oleh kampung sebelum dia mendapatkan dana itu. Dia tampak menggerutu sepanjang menceritakannya. Sebenarnya, aku ingin iri dan kesal dengan kakakku ini. Kalau ada orang yang bisa dibilang diberkati oleh surga, aku akan nobatkan itu pada kakakku. Dia sering lupa, dia hanya “menganggur”, jika itupun bisa benar-benar dicap menganggur, selama kurang lebih 3 bulan dan sudah dapat publisher. Bukan sembarang publisher, X-Sol yang salah satu publisher game di negeri ini yang sedang naik daun. “Sebenarnya mereka menawarkan beli full untuk game-ku sampai cabut kepemilikanku sendiri dengan harga super gede, tapi aku tolak sih. Aku sayang dengan karya ciptaanku sendiri. Waktu X-Sol tawarkan dana membuat Studio dan mengambil hak rilis dengan hak cipta tetap aku pegang, aku bersedia,” komentar Kak Rahman di antara celotehannya. “Cuma ya kakak jadi b***k X-Sol toh?” tanyaku balik tepat di celotehan itu. “Iya sih, tapi seenggaknya aku mengerjakan RPG yang aku suka. Benda yang aku sudah kembangkan dari pertengahan kuliah akhirnya berharga buat hidupku!” jawabnya bangga, “dan ini nggak berarti selamanya aku dibawah X-Sol. Hanya RPG itu dibawah X-Sol. Aku akan mewujudkan mimpiku membuat banyak game dengan dana ini.” Ambisius. Itu satu hal tentang kakakku. Dia punya mimpi besar. Kami pun tiba di apartemen. Sepanjang malam, Kak Rahman mengajakku mengobrol terkait rencana bisnisnya yang panjang dengan menu bolu jadul hingga jam menunjukkan angka 12 malam. Melelahkan, tetapi aku malas berdebat dan berkelahi, lagi, karena masalah sepele. Cukup tugas yang susah. “Kak, aku capek. Aku mau tidur dulu,” keluhku melihat jam yang sudah malam itu. “Masih sore,” komentar Kak Rahman santai. Aku hanya mendengus kesal. “Oke oke. Aku pinjam STNK dan kunci motor ya,” ucap Kak Rahman mengalah. Aku menganggukkan kepala dan beranjak ke tempat tidur. “Oh ya, siapa sih yang bikin kamu mau bantu dia? Biasanya kamu gak mau bantu orang lain,” tanya Kak Rahman penasaran. “Teman kampus,” jawabku malas seraya merebahkan tubuhku ke kasur dan menarik selimut. “Cewek?” tanya Kak Rahman. “Iya,” jawabku sekenanya, tanpa menyadari implikasi dari jawabanku barusan. “Oalah. Aku gak yakin temanku yang kataku bisa itu bisa kalau cewek. Dia belum lulus sebenarnya, tapi dia juga lumayan sudah kemampuannya,” komentar kakakku itu. Aku hanya menghembuskan napas kesal. “Lalu bagaimana bisa bantu orang? Kasian orangnya,” keluhku sederhana. Kak Rahman tidak menjawab untuk beberapa saat. “Aku cari angin dulu. Mungkin besok waktu kumpul tim aku ada ide, Sar,” komentar Kak Rahman lagi. “Iya, iya. Kakak jalan-jalan aja dulu sana. Mau kemana memangnya? Cari burger?” tanyaku dengan mata tertutup.  “Hehe, tahu aja. Iyalah. Aku mau ke sana, sekalian mau ngobrol sama seorang teman lama,” jawab kakakku. Aku menganggukkan kepala dan mendengar suara pintu ditutup.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD