[4] 000100: Etika Kehidupan

1452 Words
Sudah satu jam aku menikmati membaca novel di ruangan ini. Sudah lebih dari setengah penghuni kelas hilang entah kemana. Sepertinya, kelas hari ini adalah kelas kosong. Aku tetap membaca novelku, dan kesunyian yang ada membantuku. “Kamu serius anak Bu Lisa?” tanya Latifah yang membuatku terkejut dan menjatuhkan novelku. Latifah tersenyum menahan tawa sementara Zahra terlihat datar, namun tidak dengan wajah menjengkelkan yang dia berikan kemarin. Sedikit kesal, aku mengambil novel yang aku baca dan melihat ke arah Latifah. Sementara itu, novelku aku letakkan di meja. “Kalau iya, apakah menjadi masalah? Toh biasa saja kan kalau aku anak siapa gitu?” tanyaku datar. Latifah dan Zahra tampak terkejut dengan jawabanku. “Bukan begitu, Assar,” komentar Zahra. Nadanya lebih rendah daripada kemarin. So much for my trolling plan. Terserah. “Bagaimana ya ... rasanya nggak sopan gitu, soalnya kamu orang dekat dengan bos besar tempat kami kerja,” ucap Zahra lagi. “Kalau kalian ingin dekat denganku supaya kerja lebih nyaman, lupakan saja,” balasku datar. Aku tidak tertarik dengan percakapan ini lagi dan mengambil novelku. “Aku tidak tertarik menjadi orang yang dimanfaatkan. Aku bukan kakakku yang dimanfaatkan sekitarnya begitu saja hingga dia tersesat untuk waktu yang lama sebelum menemukan dirinya sendiri,” lanjutku lagi. Aku mendengar Zahra menghela napas berat. “Aku hanya tidak ingin hubungan kita buruk sementara aku tahu fakta kamu anak bos perusahaanku. Rasanya tidak etis,” balas Zahra. Aku meletakkan novelku kembali ke meja, dan menatap ke arah dua sekawan itu. “Aku tidak terlalu peduli, Zahra. Teman-teman SMA ku dulu banyak yang lebih tidak sopan kepadaku. Lingkaran pertemananku kecil, tapi mereka bisa aku percaya. Aku tidak butuh teman-teman yang hanya memanfaatkanku,” balasku tajam. Aku lalu melihat ke novelku lagi. “Jika kalian berharap dengan memperbaiki hubungan denganku sehingga hidup kalian menjadi di novel-novel yang banyak beredar, saranku hentikan saja. Aku tidak tertarik dengan kehidupan romansa. Aku kuliah di tempat ini karena ingin menjadi network security engineer, bukan cari jodoh,” ucapku menutup percakapan. “Novel itu, kenapa kamu menyukainya? Bukannya itu karya si CEO gila yang mati kecelakaan dan perusahaannya pailit serta kena skandal perusahaan luar negeri yang menyamar jadi nasionalis?” tanya Zahra mengganti topik seraya melirik novelku. Sepertinya dia menyadari novel yang aku baca. Aku itu penggemar karya orang itu, kalimat dia seperti menyiram minyak ke api. “Aku tidak peduli dia bertindak apa. Apakah kamu mengira kalau perusahaan termaju se-Indonesia yang kita kenal dengan nama Azhar EduTech juga punya banyak skandal yang menyelimutinya dibalik motto memajukan pendidikan bangsa yang mereka bawa? Tidak ada hitam dan putih, kehidupan tidak sesederhana bermain catur. Lagipula, aku menikmati karya, bukan mengikuti doktrinnya,” jawabku serius. Zahra tampak terkejut. “Kamu percaya konspirasi?” tanya Zahra dengan tatapan tidak percaya. “Oh, konspirasi perusahaan Azhar EduTech? Aku lumayan percaya. Kan setiap orang bebas mau percaya atau tidak. Lagipula orang-orang seperti aku dan kamu, percaya atau tidak dengan konspirasi itu, tidak memberi pengaruh apapun,” jawabku dengan serius. Aku menghembuskan napas berat, percaya atau tidak percaya terkait skandal, tidak akan mengubah apapun. “Kenapa kalian kerja part-time?” tanyaku mengalihkan topik. Keduanya mencoba menyimpan keterkejutan dan kegugupan mereka dengan topik itu. “Kompleks,” jawab Zahra menahan penjelasannya. “Maaf, aku tidak bisa menceritakannya,” jawab Latifah. “Baiklah,” balasku diikuti dengan helaan napas berat, “kalau kalian tidak ada lagi yang ingin dibicarakan, aku mau baca novelku.” Mereka pun berlalu. Aku melanjutkan membaca novel yang ada di tanganku. 10:50, dan aku saat ini berada di kelas selanjutnya. Sepertinya nasib mengujiku, dua wanita itu juga sekelas lagi. Ini jadi berapa, 4 kelas jurusan bertemu dengan mereka? Ayolah, kenapa harus sekelas! Kelas sudah menjadi pasar meskipun masih sepuluh menit sebelum dimulai. Siapakah pengajar untuk kelas Etika Profesional ini? Entahlah, yang penting jangan kosong. “Assalamu’alaikum,” suara laki-laki berusia sekitar 33 tahun mengejutkan kami. Beliau masuk ke kelas membawakan absen, menandakan beliau adalah pengajar kelas ini. “Wa’alaikumussalam,” jawab kami refleks. Beliau pun menghapus papan tulis dari kelas sebelumnya, dan mulai menulis di depan papan. Nama yang beliau tuliskan membuatku terkejut. Prof. Ahmad Ayyubi ST., M.Sc., Ph.D Ini kah Prof yang disebut-sebut itu! Beliau sangat muda! “Assalamu’alaikum. Saya Pak Ahmad Ayyubi, bisa disapa Pak Ayyubi. Mahasiswa suka memanggil saya Prof meski saya sendiri lebih suka dipanggil Pak atau Bapak saja. Ini gelar saya tulis sebagai formalitas akademik. Hari ini saya akan mengajarkan tentang Etika Profesional. Mungkin teman-teman bertanya, apaan sih ini kuliah kok ada. Etika Profesional adalah perkuliahan unik di kampus kita yang mengajarkan tentang bagaimana mental seorang computer engineer dalam melakukan pekerjaan. Sederhananya, kita bicara tentang work ethic, pentingnya teamwork, dan khusus kelas saya, tentang kehidupan. Ada yang kelas Pengantar Teknologi Komputer atau Dasar Pemograman?” tanya beliau di akhir sesi penjelasan awal itu. Aku dan beberapa mahasiswa lainnya mengangkat tangan kami. “Jadi, berbeda dengan dua mata kuliah itu, di mata kuliah ini kita sistem penilaiannya adalah peer scoring. Ini adalah mekanisme khusus kelas Etika Profesional saya yang menguji kemampuan kalian menilai rekan kalian dengan sejujur-jujurnya. Dengan kata lain, jika kalian mengulang kelas ini ... salahkan teman kelompok kalian,” komentar beliau yang diikuti dengan kekehan kecil. Kami pun ikut tertawa hambar. “Oke. Tadi serius. Saya juga memberikan penilaian berupa performance score yang berdasarkan dari laporan kalian. Dengan kata lain, kalian akan membuat laporan progress setiap pekan. Baiklah. Kita mulai kuliah pertama hari ini. Kuliah ini terbagi menjadi tiga sampai lima pertemuan materi, tergantung kecepatan kalian memahami, dan sisanya adalah tugas besar. Tugas besar ini berguna untuk melatih kemampuan kerjasama kalian, etos kerja kalian, dan juga tentang work-life balance kalian. Akan sangat berguna untuk perkuliahan kalian kelak pula. Di sini saya lebih mengevaluasi kerja sama dan usaha, hasil akhir jelek masih termaafkan. Tugas besar dari saya adalah membuat permainan sederhana yang harus selesai di pekan 16. Tidak ada ETS dan EAS. Untuk engine pengembangannya, saya bebaskan. Bahkan boleh murni pakai bahasa pemograman saja, jika kalian berani. Tim boleh 2 sampai 5 orang per tim. Harap daftar tim dikumpulkan maksimal pekan depan oleh satu perwakilan ya. Saya tidak pernah menunjuk komting karena seorang leader harus mengambil inisiatif.” Harus tim ya ... siapa memangnya yang bisa dijadikan teman setim? Tidak ada yang aku kenal akrab di sini .... “Bagi yang tidak membentuk tim sampai pekan depan, harap siapkan mental untuk nilai E. Saya tidak ingin kalian lone wolf khusus di mata kuliah ini. Kalau mau lone wolf di pemograman atau pengantar, silahkan saja.” Sial! “Baiklah. Hari ini saya akan membicarakan tentang work ethics.” Dan beliau pun memulai kuliah tentang work ethics atau etos kerja. Menariknya, beliau mengangkat berbagai perspektif untuk bentuk etos kerja tapi secara umum kerja rajin dan kerja cerdas adalah dua hal yang diperlukan yang aku tangkap. “Baiklah, sekian untuk perkuliahan hari ini. Sampai jumpa pekan depan. Jika saya berhalangan hadir, titipkan daftar kelompok kepada asisten saya Mas Rasyid atau Mba Mutiara, terima kasih. Assalamu’alaikum.” “Wa’alaikumussalam warohmatullahi wabarokatuh.” Prof Ayyubi pun keluar dari ruangan. “Haduh, bentuk kelompok lagi,” keluhku kesal. Aku sangat berharap ada teman SMA ku di sini. Mereka enak kalau kelompok, benar-benar bekerja dan bisa dipercaya. Aku tidak tahu di sini siapa yang bisa aku yakini kemampuannya. Mana aku tidak kenal mereka lagi. Para penghuni kelas segera berebut membentuk kelompok. Aku menghela napas berat, sepertinya aku tidak terlihat dan dilewatkan begitu saja. Ah, mungkin aku harus menikmati mata kuliah ini lagi? Tidak! Ibu bilang tidak boleh menyerah! Allah tidak suka orang-orang yang putus asa! “Assar!” suara Latifah mengejutkanku. Aku melihat dia dan Zahra, bersama dua orang lain, datang ke mejaku. “Mau gabung?” tanya Latifah kepadaku. Apa aku punya pilihan? Entahlah. Sepertinya tidak untuk saat ini. “Not like I have a choice, aku ikut,” jawabku. Latifah tampak senang dan tersenyum, sementara Zahra menjaga ekspresi datarnya, meski aku melihat senyuman tipis di wajahnya. Dua rekan mereka yang lain tidak menunjukkan ekspresi yang menarik. “Ah iya, kenalan dulu. Fatimah, Ismail, ini Assar. Assar, ini Fatimah, ini Ismail,” ucap Latifah memperkenalkanku kepada dua rekan mereka yang aku belum kenali. “Salam kenal,” sapa Fatimah seraya menelungkupkan kedua tangannya. “Senang gue gak dipenuhi cewek grupnya, kebanyakan tuba fallopi nanti,” komentar Ismail dengan gelak tawa seraya menawarkan jabatan tangan. Aku melihat Fatimah tidak suka dengan pilihan bahasa Ismail. “Kalau gitu kita jadi pasukan cowoknya,” balasku tersenyum. Aku menerima jabatan tangan itu.  “Ah iya, aku masukkan ke grup chat dulu ya,” ucap Latifah. Kami berempat menganggukkan kepala. Setelah itu, kami pun membubarkan diri. Aku menggunakan kesempatan ini untuk berkenalan dengan Ismail.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD