Penderitaan Jasmine.

1979 Words
Sedikit perbuatan, terkadang membuat orang yang menyimpan rasa terbang hingga langit ke tujuh. Tapi, benarkah perbuatan itu setulus hati untukmu? Belum tentu! Karena itu, berpikir realistis sangat penting untuk meminimalisir kesempatanmu menerima rasa sakit dan harapan palsu. *** Mata Jasmine terpaku melihat wajah datar Jere menatapnya. “Kenapa berhenti? Saya mau masuk kelas, Jasmine.” Mota menyenggol lengan Jasmine, menyadarkannya yang masih mematung. Jasmine, Mota dan Dian segera menepi, memberi akses jalan pada Guru Biologi dan juga Jere untuk menaiki anak tangga. “Maaf, Buk.” Jere hanya diam tanpa melirik Jasmine sedikit pun, berlalu begitu saja, mengikuti Guru Biologi yang akan masuk ke kelasnya. “Habis lo, Jas,” ujar Mota menatap prihatin Jasmine. “Jalan, dong!” seru seorang cewek dari anak tangga di bawah mereka. Jasmine dan kedua sahabatnya melanjutkan langkah menaiki tangga, tanpa menoleh pada orang yang memerintahkan mereka. “Gue benar-benar nyesel ngomong enggak lihat tempat.” “Kok bisa, ya? kita enggak sadar ada mereka,” timpal Dian. “Bener! Enggak ada suara sama sekali,” sambung Mota. Jasmine, mengatur napas, saat mereka sudah sampai di depan kelas 11 Mipa 1. “Semoga mereka enggak dengar pembicaraan kita,” harap Jasmine. “Amin!” timpal Dian dan Mota. “Kalau Jere dengar, PDKT-an lo bakal selesai, Jas.” “Sial banget! Masa dua orang sekaligus,” kesal Jasmine. “Hari terbaik untuk seorang, Jasmine Nahen.” “Si Mota, bukannya Jasmine dihibur malah diledekin anak orang,” tegur Dian. Mota tertawa kecil. “Lucu, Di.” “Ya, udahlah. Lama-lama sama lo pada, bisa gila gue. Gue balik kelas dulu, bye,” pamit Dian pergi. Mereka berdua menatap kepergian Dian menuju Mipa dua yang berada di sebelah kelas Mereka. Awalnya, Dian begitu terpukul saat tahu kalau dirinya terpisah dari Jasmine dan Mota, tapi keduanya terus memberi semangat dan memberikan segala petuah pada Dian, kalau yang terpenting itu adalah mereka satu sekolah. Sehingga, Dian dapat menerimanya sampai saat ini. Setelah kepergian Dian, Jasmine dan Mota juga memasuki kelas mereka yang sangat ribut. “Gue benar-benar enggak nyaman, Ta. Gue takut, mereka berdua dengar.” “Lo tenang aja, gue yakin mereka tuli,” ucap Mota asal. Jasmine tertawa pelan seraya mendorong tubuh Mota yang nyaris tersungkur. “Ah ... kepala gue jadi pusing,” keluh Jasmine meletakkan kepala di atas meja. “Udah lo tidur aja-ntar guru masuk gue bangunin,” saran Mota. Jasmine memejamkan mata berusaha melupakan wajah Ari yang tersenyum jenaka padanya. Namun, justru semakin dilupakan, semakin membuat Jasmine resah. Tidak berapa lama. Wajah datar Guru Matematika hadir memasuki kelas yang mulai tenang. “Jas....” “Apa?” tanya Jasmine melirik Mota sekilas. “Gurunya udah datang,” cicit Mota pelan. Mendengar hal itu, Jasmine menegakkan tubuhnya, menatap ke arah depan. “Baru juga sedetik, Ta,” keluh Jasmine pelan, yang membuat Mota menahan tawanya. “Hari ini kita bahas contoh soal buat materi minggu lalu, ya. Jangan lupa dicatat dulu baru bertanya.” Seluruh murid yang berada di kelas mengindahkan ucapan Guru Matematika itu, tidak ingin mencari masalah. Dua jam lebih proses belajar-mengajar 'lah dimulai. Akhirnya, bel istirahat pulang berkumandang memenuhi Xaverius. Jasmine dan Mota memutuskan menghampiri Dian lebih dulu, karena tidak ingin berimpitan saat menuruni tangga, selain itu mereka ingin sekali sampai di lantai satu dengan cepat. "Buruan, Di," ketus Mota melihat Dian dengan pergerakannya yang sengaja diperlambat. Dian terkekeh. lalu, belari kecil menghampiri kedua sahabatnya di depan pintu kelas. "Tumben jemput gue." "Enggak bersyukur dijemput!" ketus Mota. "Wah...lo ngajak ribut gue!" geram Dian. "Udah-udah, ayo buruan." Jasmine berjalan lebih dulu menuju tangga yang memperlihatkan beberapa siswa sudah mulai menguasai tangga. Setelah menuruni anak tangga, akhirnya mereka sampai di lantai satu. Berjalan menuju warung yang berada di sebrang sekolah untuk menunggu jemputan Dian dan Mota. “Tadi papa lo telepon gue, Jas,” mata Jasmine terkunci pada wajah Dian, memberi isyarat untuk menceritakan kejadian sesungguhnya. “Enggak gue angkat, sih, lagi belajar soalnya.” Ia menghela napas lega. “Syukurlah. Nanti kalau ditelepon lagi enggak usah diangkat.” Dian menggoyangkan kepala ke kanan dan kiri. “Gila! yang telepon bokap lo, Jas, Gue enggak berani.” “Bilang aja lo enggak dengar.” “Enggak, Jasmine!! Bokap lo telepon gue bukan cuma sehari, tapi setiap hari. Ntar, kalau ketemu kasih alasan apa, bambang?” Raut wajah gadis itu berubah lesu. Tidak pernah terpikir olehnya menjalani hidup seperti ini, hidup yang jauh dari kata adil. “Sadis banget hidup gue.” Tiba-tiba, satu hal yang mungkin saja benar muncul di benak Jasmine. “Apa Kak Janis meninggal karena sifat over protektif mereka, ya?” “Huss ... Jangan ngawur lo,” protes Mota. “Gue lama-lama capek, Ta, Di.” Tangan kanan Dian merangkul bahu Jasmine prihatin. “Sabar, Jas. Kita tahu lo kuat.” “Kalau butuh sesuatu, lo punya kita, Jas. Jangan pernah sungkan!” Kali ini Mota yang berbicara. “Makasih banyak, ya, gue enggak pernah nyangka punya sahabat kayak kalian.” "Bosan gue denger bacotan, lu. Itu-itu terus," gerutu Mota yang hanya ditanggapin anggukan oleh Dian dan tawa Jasmine. Tin... Tin... “Duluan ya, Jas, Ta, jemputan gue udah datang.” Mata Jasmine dan Mota memperhatikan seorang pria yang mengemudikan mobil Jazz silver milik Dian melalui kaca. Pintu mobil yang terbuka menghadirkan wajah tampan seseorang yang tak disangka. “Kak Leo? Beneran? Kapan balik?” tanya Mota saat melihat Leo keluar dari mobil dan melambaikan tangan ke mereka. “Kem-“ belum selesai Dian menjawab. Mota sudah menyeret Jasmine yang sedang duduk untuk menemui Leo-Kakak kandung Dian yang selama ini kuliah di Yogyakarta. “Hai, Kak... apa kabar?” Jasmine yang memulai perbincangan. “Baik banget ... kalian makin gede, ya. Padahal baru gue tinggal enam bulan.” Mota memukul pelan lengan Leo. “Gue rindu lo, Kak.” “Mau gue peluk?” tanya Leo merentang tangannya. Mota menghambur ke dalam pelukan Leo, memeluk erat pria yang pernah menjadi gebetannya itu. Walau begitu, tidak pernah ada rasa canggung di antara mereka. “Gue juga rindu banget sama lo,” balas Leo. “Woi!! pinggir jalan ni. Lagian lo pada tinggal di Indonesia, jadi gue enggak biasa lihat pemandangan sensual begini,” ketus Dian yang membuat keduanya terpaksa melepaskan pelukan. "Sensual matamu!" hardik Mota. "Ya, ampun ... kalian ribut mulu dari tadi!" kata Jasmine geram. “Besok, kalian main ke rumah. Gue ada beli oleh-oleh buat kalian.” “Gue pasti datang,” balas Mota sangat antusias. Mereka bertiga menatap Jasmine menunggu jawabannya, karena di antara mereka yang sangat sulit keluar dan berkumpul adalah Jasmine. Tentu mereka mengerti keadaan Jasmine yang dilarang oleh kedua orang tuanya, namun mereka berharap sekali ini saja Jasmine memberikan jawaban sesuai keinginan mereka. “Nanti gue kabarin, ya,” putus Jasmine. Kalau jawaban sudah seperti itu. Kedua sahabat Jasmine hanya bisa pasrah. “Gue berharap lo datang dek.” Kali ini Leo yang memohon. Dia tersenyum tipis merasa tidak enak pada Leo. “Jasmine usahain, Kak.” “Kalian enggak mau barengan?” tanya Leo menawarkan tumpangan bagi keduanya. “Mota udah terlanjur dijemput, kalau Jasmine mau ketemuan sama tante Yosi dulu,” jelas Dian pada kakaknya. “Kalau gitu kita duluan, ya, enggak papakan?” Mota mengangguk. “Enggak papa.” “Hati-hati, Kak,” kata Jasmine melambaikan tangan pada Leo dan juga Dian. “Kalian juga.” Setelah mengatakan itu Leo dan Dian masuk ke dalam mobil, lalu pergi. Perginya mobil Dian bertepatan dengan tibanya mobil Fortuner hitam milik Mota yang dikendarai oleh supir. “Bye, Jas. Nanti kabarin kalau udah ketemu tante Yosi,” pinta Mota sebelum masuk ke dalam mobil. “Iya!” seru Jasmine singkat. Sekarang, giliran Ia menunggu angkot untuk membawanya bertemu dengan tante yang sangat dirindukan. tiga puluh menit berlalu, akhirnya tujuan Jasmine sampai. Setelah turun dari angkutan umum, mata Jasmine langsung tertuju pada tantenya. Jasmine melambaikan tangan pada Yosi yang berdiri di sebrang jalan tepat di depan kafe tempat mereka bertemu. Yosi dan Jasmine sama-sama memperhatikan sisi kanan dan kiri secara bergantian, memastikan tidak ada kendaraan yang akan tiba saat Jasmine menyebrang. “Hati-hati, Nak,” ucap Yosi menguatkan volume suaranya. Yosi merangkul Jasmine, saat gadis itu sudah sampai di hadapan tantenya. “Tante rindu kamu, Jas.” “Jasmine juga, Tan.” Jasmine memeluk pinggang tantenya itu sebagai balasan. “Ayo masuk, tante penasaran kenapa kamu larang tante untuk ke rumah langsung.” Mereka berdua masuk ke dalam kafe, disambut dengan lagu bergenre pop ‘How Would You Feel’ yang di populerkan oleh Ed Sheeran menambah kesan nyaman pada kafe tersebut. How would you feel, if I told you I loved you? It's just something that I want to do I'll be taking my time, spending my life Falling deeper in love with you Jasmine sangat menyukai salah satu bait lirik dari lagu itu. Mengakui perasaan itu hal yang cukup penting bagi kondisi hati yang hanya terus berharap. “Bagaimana sekolahmu?” pertanyaan pertama yang dilontarkan Yosi setelah Jasmine memesan makanan dan minumannya. “Lancar ... Tante sehat kan? Kok kurusan sih?” memperhatikan pipi Yosi yang semakin tirus. “Tante diet sedikit, kemarin berat badan Tante nambah karena keseringan ngemil sambil nonton drakor.” “Uh ... Jasmine pengen kayak dulu lagi, Jasmine mau tinggal sama tante aja.”kata-kata itu lolos begitu saja dari mulut Jasmine tanpa Ia sadari. “Capek ya, Nak?” Jasmine mengangguk pasrah. “Lama-lama Jasmine enggak kuat tante, Jasmine enggak tahu kenapa mama, papa jadi kayak gitu. Dulu waktu Jasmine SD dan kak Janis SMP kita masih dikasih kebebasan walau sewajarnya. Tapi sekarang? Jasmine benar-benar kayak b***k yang harus turutin perintah majikan.” “Eh ... enggak boleh ngomong gitu. Tante emang enggak tahu perasaan kamu, tapi tante ngerti maksud dari ucapan mu. Tante udah berusaha supaya kamu tinggal sama tante lagi, tapi tetap aja orang tua kamu enggak izinkan.” “Tante tinggal di Jakarta aja,” usul Jasmine tanpa berpikir panjang. “Itu enggak mungkin sayang, pekerjaan dan rumah tante ada di Yogya, kalau mau pindah, banyak yang harus tante urus di sana.” Jasmine menghela napas. “Bener-bener enggak kuat, Tan,” keluhnya. “Uang sekolah kamu gimana?” Dia menaikkan bahunya tidak tahu bagaimana. “Kemarin Jasmine udah nanya sama mama, tapi mama bilang enggak ada duit.” “Ahh ... enggak tahu, Tan, Jasmine enggak ngerti,” bulir bening akhirnya jatuh di pipi gadis itu. Pelepasan dari beban sangat berat yang Ia pikul. Yosi mengelus bahu Jasmine menenangkannya. “Udah, ya. Kamu masih ada tante, apapun itu ceritain sama tante.” Jasmine menghapus air mata dengan kedua tangannya. “Tante berapa lama di sini?” Yosi berpikir jawaban yang tepat untuk keponakannya itu, karena yang Ia tahu, setahun pun dirinya menetap itu masih kurang bagi Jasmine kesayangannya itu. “Mungkin dua hari?” tanya Yosi sedikit ragu menunggu reaksi Jasmine. “Dua hari aja?! Tan-“ “Tante kesini karena khawatir sama kamu. Sebulan ini kamu ngeluh terus setiap cerita sama tante.” Tersirat rasa bersalah dan bahagia dalam hati Jasmine. Bersalah karena membuat Yosi khawatir dan bahagia karena Yosi menyempatkan waktu datang dari kota yang berbeda hanya untuk memastikan keadaannya. “Ya udah enggak papa, Jasmine ngerti kok.” Yosi terkejut mendengar jawaban Jasmine. Pandangan matanya mulai mengabur karena air mata yang tiba-tiba hadir. Perasaannya bahagia mendapati keponakannya yang dulu begitu manja sudah memiliki pemikiran dewasa sekarang. Terkadang beratnya masalah memang membuatmu menjadi lebih dewasa tanpa disadari. “Tante kena-“ “Hai! Selamat siang.” Sapaan dari seseorang membuat Jasmine menggantungkan ucapannya pada Yosi. ‘Bagaimana bisa?’ ucap Jasmine dalam hati. ----- Sometimes, something that is hidden will present a variety of thoughts that are uncertain, giving birth to pain through a sense of curiosity aided by attitudes that are in harmony. (Terkadang, sesuatu yang disembunyikan akan menghadirkan berbagai pemikiran yang tidak pasti, melahirkan rasa sakit melalui rasa ingin tahu yang dibantu oleh sikap yang selaras)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD