Terbongkar

1969 Words
Pagi ini, seperti pagi biasanya bagi Jasmine. Ada saja sikap orang tuanya yang membuat wajah dan mood Jasmine hancur. Terkadang, keduanya membuat Jasmine kesal, terkadang membuat gadis itu sampai meneteskan air mata karena orang tuanya yang tiba-tiba sangat perhatian. Kali ini yang menjadi masalah, ketika Jasmine tidak menggendong Yuan yang menangis saat dirinya sedang mengikat tali sepatu. “Tega sekali,” sarkas Yuli sembari menggendong Yuan. Semakin kesal. Ia tidak suka kalau kedua orang tuanya mengatakan dia tidak mencintai adiknya itu. Padahal Agung dan Yuli mengetahui seberapa besar kasih sayang Jasmine terhadap adik semata wayangnya. “Ma!! Jasmine juga enggak tega lihatnya, tapi Jasmine mau sekolah,” kesal Jasmine pada Sang Mama. “Lebih penting Yuan dari pada sekolah kamu itu!” seru Yuli menatap tajam putri nya. Jasmine yang tidak tahu lagi cara menghadapi Yuli, menghembuskan napas pasrah. “Ya udah, Jasmine pergi sekolah dulu, ya, Ma.” Jasmine menyentuh tangan Yuli untuk berpamitan, namun di hempas begitu saja oleh Yuli tanpa menatap Jasmine dan masih fokus menenangkan Yuan. Jasmine hanya menatap Yuli sejenak setelah itu pergi begitu saja tanpa berpamitan lagi. “Lama-lama berasa di ‘neraka’,” gerutu Jasmine dalam hati. **** Nyaris dua jam waktu yang Jasmine habiskan untuk menempuh jarak dari rumah ke sekolahnya. Xaverius adalah sekolah yang dipilih dan diputuskan orang tua Jasmine untuknya. Sejak dulu Jasmine sudah memberitahu kalau Ia sangat ingin satu sekolah dengan Janis kakaknya, namun setelah kepergian Janis kedua orang tuanya sama sekali tidak mengijinkan Jasmine untuk bersekolah di sana, padahal jaraknya juga tidak terlalu jauh dari rumah mereka. Benar-benar tidak adil bagi seorang Jasmine. Jasmine sedikit berlari menuju gerbang sekolah di mana sudah ada Guru BK yang menyuruh seluruh murid untuk berlari karena gerbang yang sebentar lagi akan ditutup. “Jasmine tumben kamu telat,” kata Guru BK memberhentikan langkah Jasmine. “Maaf, Buk. Tadi jalanan macet sekali.” “Ya, sudah masuk sana, sebentar lagi pelajaran akan dimulai.” Jasmine mengangguk. “Makasih, Buk.” Ia berlari cepat menuju pintu masuk sekolah. Lari Jasmine mulai perlahan, ketika matanya menatap Jere yang sedang melepaskan helm di parkiran motor. Dalam hati, Jasmine terus memohon agar Jere menangkap keberadaan dirinya, lalu berteriak memohon pada Jasmine untuk menunggunya. Selambat mungkin Ia melangkah agar berjalan beriringan dengan seorang Jere. Tentu, kerja keras tidak menghianati hasil. “Jasmine!” teriak Jere walau tidak keras karena malu dengan sekitar yang masih ramai dengan siswa-siswi yang juga baru datang. Jasmine tersenyum tipis sebelum membalikkan tubuh menghadap belakang. “Jere? Kamu telat juga?” Jasmine bertanya seolah-olah terkejut dengan keberadaan Jere. Jere mengambil posisi berhadapan dengan Jasmine seraya mengatur napas yang terengah-engah. Jasmine tertawa pelan melihat wajah lucu Jere. “Kamu kenapa? Kok kayaknya capek banget?” “A-aku ngejar kamu ... capek banget, huh....” “Kita jalan pelan-pelan, yuk. Mata guru BK udah melotot tuh,” ucap Jasmine menyentuh lengan Jere untuk menuntunnya. Jere tersenyum tipis melihat tangan kanan Jasmine menyentuh lengannya untuk pertama kali. Tiga bulan, sejak Jere mengajak Jasmine berteman, setelah satu tahun lebih mereka bernaung di organisasi yang sama, ini kali pertama Jasmine menyentuh bagian tubuhnya selain telapak tangan untuk bersalaman. “Kamu kenapa kok senyum-senyum?” tanya Jasmine pada Jere. “Ha? Enggak,” jawab Jere menyadari pertanyaan Jasmine. Jasmine melirik jam di layar ponselnya, lalu beralih menatap Jere. “Jer, nanti kita lanjut lagi, ya, pelajaran udah mau mulai.” Jere mengangguk. “Nanti ke kantin bareng, ya.” “Iya.” Jere menghembuskan napas kasar dengan wajah datar yang dimilikinya. Dia menatap kepergian Jasmine dengan remeh. “Buru-buru banget, Mas. Ngejar target, ya?” Jere menghempaskan tangan Ari yang sedang merangkulnya. Dia sangat membenci pria di hadapannya itu sejak dulu dan sekarang menjadi kakak kelasnya di sekolah. “Sekali lagi sok akrab. Gue pastiin buat bunuh, lo!” Jere berlalu pergi tanpa pamit pada Ari. Ari mengikuti Jere dengan langkah pelan dari belakang, menyebabkan langkah Jere terhenti dan menatap tajam Ari. “By the way, gue enggak ngikutin, Lo. Pintu sekolah cuma satu.” Ari memutuskan berjalan duluan untuk menghindari prasangka buruk Jere. “Jere!!” suara tegas yang Jere sangat kenali membuat bulu kuduknya merinding. “Maaf, Buk, Jere masuk sekarang.” Ia berlari cepat sebelum mendapatkan masalah dengan guru BK. Jasmine mengayun-ayunkan kakinya tidak sabar melihat guru Fisika yang tetap saja mengajar walau bel istirahat sudah berbunyi sejak lima menit lalu. “Kalau kalian mau keluar, silahkan. Saya tidak melarang!” suara bariton guru Fisika itu meruntuhkan keberanian Jasmine yang ingin sekali keluar dari kelas. Seluruh Guru fisika di sekolah Xaverius memang terkenal sangat killer, belum ada murid yang berani berurusan dengan guru Fisika di Xaverius. “Baik, kalau tidak ada. Kerjakan soal yang tadi Saya berikan dan minggu depan dikumpul, sampai jumpa.” Seluruh mata murid mengikuti langkah kaki Guru fisika itu hingga keluar dari kelas. Suara hembusan napas dan keributan mengolok-olok guru fisika akhirnya memenuhi kelas 11 MIPA 1 setelah Guru itu menghilang. “Lama-lama gua gedek sama itu guru, ngeselin banget,” gerutu Mota sahabat Jasmine yang duduk di sebelahnya. “Lo nunggu Dian, kan?” Mota mengangguk. “Gue duluan, ya. Jere udah nunggu depan kelas,” ucap Jasmine memohon pada Mota dengan tatapannya. Mota memutar bola mata nya malas. “Iye-iye,” balasnya pasrah. “Oke ... Kalian berdua memang sahabat terbaik dalam hidup, Gue.” Setelah itu Jasmine pergi meninggalkan Mota yang menggelengkan kepala menatap sahabatnya yang sedang berbunga-bunga. “Maaf, ya, Jer, pasti kamu udah nunggu lama kan?” Jere tersenyum menatap Jasmine. “Enggak kok, Jas.” “Lama banget,” batin Jere. “Pergi sekarang, yuk, keburu bel istirahat bunyi.” Pinta Jasmine. Mereka berdua melangkah menuruni tangga ke lantai satu untuk menuju kantin, karena Jasmine dan Jere berada di kelas sebelas, maka, kelas mereka berada di lantai dua sedangkan lantai satu adalah kelas sepuluh dan lantai tiga adalah kelas dua belas, lantai empat berisikan ruang khusus latihan, OSIS, dan berbagai ekstrakulikuler SMA Xaverius. Xaverius memiliki empat bangunan di mana terdapat empat lantai dari setiap bangunan. Ke-empat bangunan itu mengelilingi tiga lapangan yang menjadi pusat pandang dari setiap sisi bangunan. Bangunan tersebut terdiri dari bangunan khusus staff sekolah, SD, SMP dan SMA. Ya, Xaverius adalah sekolah elite dengan berbagai tingkatan pendidikan, sehingga mereka akan bercampur menjadi satu jika saat upacara. “Kok keluarnya lama, kenapa, Jas?” tanya Jere penasaran. “Tadi pelajaran Fisika, kamu tahu dong guru fisika Xaverius gimana?” Jere tersenyum. “Aku tahu.” Walau Jere IPS, namun dia tetap mengetahuinya, itu karena guru Fisika sangat-sangat terkenal di lingkungan Xaverius. Tiba, di kantin mood Jere hancur ketika mendapati Ari sedang duduk dengan mangkuk bakso di hadapannya, menyambut Jere dengan senyuman, seolah Ia tahu kalau Jere memasuki kantin. Senyuman lebar milik Ari membuat Jere mendengus kesal, dan itu disadari oleh Jasmine. “Kenapa, Jer? Ramai banget, yak?” Jere tersadar, menggelengkan kepalanya menanggapi Jasmine. “Ayo ... Kamu mau makan apa?” tanya Jere ketika mereka sudah sampai di salah satu meja kosong. “Eee ... aku enggak makan, milo panas aja.” “Loh, kenapa enggak makan?” “Tadi aku udah makan, kamu makan aja aku temenin.” Jere tersenyum berlalu dari hadapan Jasmine. Tanpa Jasmine sadari, sejak tadi seseorang terus mencuri pandang menatapnya. Tatapan yang penuh ambisi namun tersirat luka di sana. Jere yang sedang memesan pesanan menatap kegiatannya memperhatikan Jasmine, Jere menghela napas. ‘Gue yang berusaha, dia cuma lihat-lihat doang,’ ucap Jere dalam hati. Jere mengambil nampan yang berisi pesanannya dengan Jasmine. Berjalan hati-hati sesekali memperhatikan orang tadi yang masih mencuri pandang pada Jasmine. “Jasmine makannya cepat aja, ya, nanti keburu bel istirahat bunyi.” Dahi Jasmine saling bertautan bingung dengan ucapan Jere. “Jer, yang makan itu cuma kamu.” Jere menghela napas kasar. “Maaf-maaf, Jas. Enggak fokus.” “it’s okay.” ‘Kampret,’ batin Jere kesal. “Eh, kita duduk disini, ya? Enggak papa, kan?” tanya Dian menatap Jere. “Enggak ada bangku kosong lagi,” sambung Mota menatap sekeliling. “Duduk aja,” ucap Jere kembali fokus pada makanannya. “Lo enggak makan juga, Jas?” Jasmine memberikan isyarat pada Mota melalui matanya menunjukkan Jere. Dia tidak ingin Jere tahu kalau dirinya sangat jarang makan di kantin. Ia malu untuk jujur pada Jere, kalau dirinya tidak memiliki duit untuk makan. “Maaf,” bisik Mota di telinga Jasmine. “Gue lupa lo udah makan,” jawab Mota agar di dengar oleh Jere. Dian hanya menggelengkan kepala menatap tingkah kedua sahabatnya. Lima menit kemudian bel berbunyi yang menandakan jam istirahat berakhir. “Jer, kita duluan ke kelas, ya.” “Oke.” hanya satu kata itu keluar dari mulut Jere yang masih fokus pada makanannya. Sementara Mota dan Dian terpaksa meninggalkan makanan mereka yang banyak tersisa karena tidak ingin di hukum karena telat memasuki kelas. “Kalian sadar enggak sih, tadi ada Kak Ari di kantin?” tanya Jasmine pada kedua sahabatnya. “Sadarlah. Makin ganteng ya dia,” ujar Mota memukul pelan lengan Jasmine. “Iya, kalian tahu enggak tadi waktu gue sampai kantin, itu anak kayak senyum gitu lihatin gue. Benar-benar keajaiban banget.” Mota dan Dian membelalakkan matanya mendengar perkataan Jasmine. Selama ini Mota dan Dian yang menjadi saksi akan perasaan terpendam seorang Jasmine. Sejak Ari menolongnya setahun lalu, saat Jasmine masih duduk di kelas sepuluh semester dua, Ari menolongnya yang sedang membawa tumpukan buku dari ruang guru di suruh oleh guru Biologi yang kebetulan melihat Ari kebetulan melintas. Cinta pandangan pertama pada seorang Ari dimulai saat itu, ditambah lagi Ari yang begitu ramah padanya saat itu, padahal Ari adalah orang yang cukup terkenal di Xaverius karena kepintarannya, selain itu di umurnya yang masih muda dia sudah menjadi seorang pria yang mapan dengan usaha kafe sukses yang dimilikinya pribadi, wajah yang tampan menjadi nilai lengkap bagi Pria bernama Ari itu. “Selamat sobat gue, akhirnya cintanya ter-notice juga,” ucap Dian merangkul Jasmine sejenak. “Ini kedua kalinya setelah setahun berlalu, tapi yang di-notice gue, Di, bukan cinta gue,” kata Jasmine memperbaiki perkataan Dian. “Makanya ngaku dong, Jas. Lo cemburu dia dekat sama cewek, senyum-senyum kalau lihat dia, bahagia di senyum-in dia, tapi kalau bukan punya lo sama aja bohong." Mereka bertiga tercengang ketika seorang cowok yang mereka kenali melewati mereka berjalan cepat menuju tangga yang tidak jauh dari posisi mereka berdiri. “Jas, lo lihat kan?” tanya Dian. Jasmine tetap membatu dengan mata yang fokus pada tangga. “Itu tadi Kak Ari, Jas.” Kali ini Mota yang berbicara. “Lo mampus kalau dia dengar semua yang kita bicarakan,” ujar Dian. Jasmine menatap kedua sahabatnya secara bergantian. “Gue pasrah! Gue bener-bener pasrah,” ucap Jasmine mengangkat kedua tangannya ke atas. Jasmine kembali melangkah pelan diikuti Dian dan Mota. “Jas, kayaknya Kak Ari udah dengar kalau lo suka sama dia.” “Malu banget, Dian...,” sesal Jasmine. Mota bertepuk tangan sembari menaiki anak tangga. “Hebat! tadi itu pengakuan cinta lo secara tidak langsung, Jas.” “Huh....” Mota tertawa mendengar nada pasrah Jasmine, tapi wajahnya tetap biasa saja. Jasmine termasuk cewek yang tidak terlalu hiper dalam hal menyenangkan. Seperti sekarang, dia sangat bahagia, tapi yang dia perlihatkan hanya senyuman tanpa kehebohan yang berlebihan. “Mau ke atas juga, Buk?” Suara laki-laki yang cukup familiar di telinga Jasmine, membuatnya menahan Dian dan Mota, agar menunggunya untuk menatap ke belakang. Betapa terkejutnya mereka ketika mendapati seorang murid laki-laki dan guru Biologi sedang menatap ke arah mereka yang tiba-tiba berhenti. ‘Mati kamu, Jas,’ batin Mota memikirkan nasib Jasmine setelah ini. ‘Siapapun itu, mereka tidak akan pernah tahu isi hati seseorang kalau tidak dinyatakan, karena itu berhenti memendam perasaan pada seseorang dan bertingkah seolah-olah dia milikmu, jika yang kau lakukan hanya takut untuk mengakui, cukup nikmati kebersamaan tanpa status dengannya dan nikmati mimpi memilikinya.’
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD