Chapter 3

1584 Words
            Lelaki dengan rambut gondrong yang menutupi telinganya itu menatap tajam kearah meja bar di sisi club yang lain. Manik mata coklat gelapnya menajam dan mengamati berbagai polah dari gadis yang benar-benar membuatnya terkejut setengah mati. Disana, Kiara Andzikriadi dengan baju kurang bahannya nampak begitu akrab dengan sekelilingnya. Berbanding dengan Alan yang bahkan merasa lagu dalam club malam ini terlalu keras.             Seketika Alan langsung mengingat berbagai ucapan gadis itu, mulai dari celanannya yang robek, penampilannya yang urakan, sampai sikap tidak disiplinnya yang dikata keterlaluan. Dan apa yang ia lihat saat ini. Kiara dengan tanktop sexy dan hotpans, Alan bahkan berpikir bahwa jeans sobek masih cukup bagus bila dibandingkan dengan penampilan Kiara saat ini.             Oh, tapi tentu saja Alan tak bisa menampik bahwa Kiara sangat memukau. Aura gadis itu seakan menguar tanpa batasan saat terlepas dari celana panjang dan setelan batiknya. Alan tidak menganggap bahwa penampilan batik Kiara terlihat jelek, tapi jika seperti ini Kiara nampak lebih mempesona.             Alan terlonjak saat Roy menepuk bahunya, lelaki itu berdiri bersamaan dengan kekasihnya. “Panggung udah di buka!” Roy berteriak, lalu berjalan kearah tengah club yang mulai di padati oleh banyak pengunjung.             Alan lalu kembali mengedarkan pandangannya, dan membelalakkan mata saat melihat Kiara yang menari mengikuti musik dan berdentam. “Dia gila,” desis Alan saat melihat begitu banyak lelaki yang menatap gadis itu lapar.             Lelaki itu lantas mendengus, lalu mengambil minumannya dan meneguknya dengan cepat. Rasa pusing langsung menghantam kelapa Alan membuat lelaki itu mengernyit dan menatap gelasnya. “Astaga!” pekiknya saat mendapati gelas yang isinya ia tandas habis bukanlah miliknya. “Mama, Alan nggak sengaja,” racaunya dengan pusing di kepalanya yang terasa semakin berputar. Alan mengerjapkan matanya, lalu mengambil gelas miliknya sendiri dan meneguknya habis.             “Ini lebih baik…” desahnya dengan menyandarkan tubuhnya pada punggung kursi. Alan memejamkan matanya, merasakan sensasi seakan-akan tubuhnya terasa ringan. Adrenalinnya seakan terpacu dan Alan merasa tidak memiliki beban. Pantas saja banyak orang menyukai minuman ini, pikirnya yang sedikit sehat. Lelaki itu membuka matanya, dan dentuman musik dalam club malam itu kini seakan menyatu dalam telinganya. Membuat Alan begitu ingin melakukan hal yang sama dengan banyak orang yang mulai menggerakkan tubuhnya.             Alan menepuk-nepuk pipinya, lalu tersenyum dan mulai berjalan memasuki kerumunan. Senyum Alan makin lebar saat menemukan Kiara yang tengah menggoyangkan tubuhnya mengikuti irama. Senyuman Alan hilang saat ada dua lelaki yang nampak menggoda Kiara membuat gadis itu berhenti menari dan mencoba menolak saat dua orang itu mendekatinya.             Alan mempercepat langkahnya, “Jangan ganggu dia,”geramnya sembari mendorong salah satu lelaki yang sebelumnya terlihat gigih mendekati Kiara.             “Dia free, siapapun yang turun berarti dia kosong malam ini,” jelas lelaki itu dengan wajah tidak bersahabat.             Alan menggertakkan giginya marah, “Gue pengen nonjok wajah jelek lo sekarang juga.”             Kiara yang sendari tadi sempat terkaget dengan kehadiran Alan nampak tersadar dan segera menengahi, “Pergi kalian berdua! Dari tadi gue udah nolak ajakan kalian kan!” tegasnya.             Kedua lelaki itu nampak berpandangan satu sama lain, lalu salah satu dari mereka mengisyaratkan untuk mundur dan memilih untuk mencari gadis lain. Salah satu aturan yang tidak tertulis dalam semua club malam adalah jika seorang wanita turun ke dance floor sendirian, maka dia sedang mencari pasangan, dalam artian lain one night stand. Dan sepertinya Kiara melupakan hal itu.             Kiara berbalik, menatap Alan yang masih memasang wajah kerasnya, “Dan lo!” tunjuknya dengan jari yang mengacung. “Apa yang lo lakuin disini?”             Alan menunduk, memandang wajah feminim yang di poles dengan lipstick yang lebih merah dari biasanya. Lelaki itu lantas mengangkat alis kirinya, “Seharusnya gue yang ngomong gitu, No-na,” tekan Alan pada akhir kalimatnya hingga terasa seperti sebuah ancaman. “Kenapa lo bisa ada disini? Lo pasti nggak minta ijin sama Ayah lo kan?” tanya Alan pelan penuh dengan tuduhan.             Kiara lantas menurunkan tangannya, menatap Alan dengan kegugupan. “Gue ijin kok!” jawabnya berbanding terbalik dengan ekspresi wajahnya yang gugup.             Suasana disana semakin ramai, pengunjung mulai melompat dan menghentakkan tubuhnya, dan hal itu membuat Alan menarik gadis itu mendekat. Mengukungnya dalam d******i tubuh besarnya, melindunginya. “Sayangnya, gue bisa lihat kebohongan lo dengan jelas,” bisik Alan tepat di samping telinga Kiara.             Gadis itu menelan ludahnya gugup, terlebih saat tangan Alan kini berada di pinggangnya, menariknya mendekat, dan bisa dikatakan hampir memeluknya. Tangan Kiara berada di depan dadanya, menahan agar tubuhnya tidak semakin menempel dengan Alan. “Lo mau apa?” bisiknya hampir terdengar seperti cicitan.             Alan menghembuskan napas beratnya, membuat telinga Kiara memerah samar. “Anak nakal, harus hukum.” Alan menjauhkan wajahnya, menatap gadis cantik itu dengan senyuman penuh dengan rencana. “Tapi sebelum itu, silahkan lanjutkan aktivitas lo,” ujarnya melepaskan kukungannya.             Alan hanya tersenyum saat melihat gadis itu menatapnya dengan pandangan menyelidik, seolah-olah menebak apa yang sedang di pikirkan lelaki gondrong namun sialnya begitu tampan itu. Kiara mendengus sembari membuang mukanya, lalu berjalan menjauh, semakin kedepan hampir menuju pusat keramaian, membuang seluruh beban pikirannya dan mulai menggilai musik dengan nada hentak itu.             Tanpa ia sadari, Alan mengikutinya, berdiri tepat di belakang gadis itu dan menjadikan tubuhnya tameng agar gadis bertubuh sexy itu tak diganggu dengan beberapa lelaki yang juga nampak menari di sekelilingnya.             Kiara baru tersadar saat tanpa sengaja gadis itu terdesak kebelakang dan dengan cepat ditahan oleh lelaki dibelakangnya. “Apa yang lo lakukan disini!” bentaknya pada Alan yang mengernyit saat beberapa orang mendesak keduanya.             “Jangan peduliin gue, nari aja sepuas yang lo mau,” jawab Alan dengan tatapan tajamnya. Seakan menunjukkan bahwa sesungguhnya lelaki itu tidak menyukai apa yang ia sendiri katakan. Kiara lalu kembali menghadap kedepan mencoba mengabaikan eksistensi lelaki yang cukup membuatnya gugup. Ia adalah gadis pecinta malam, tubuhnya seakan tidak bisa menahan diri jika sudah mendengar musik hentak dan dance floor yang mulai dirayapai para penghuni malam. Ini adalah salah satu cara mengosongkan otaknya yang penuh.             Kiara lalu menoleh lagi, menatap sekilas kepada Alan yang masih berdiri dengan tegap tepat di belakangnya. Ia lalu tersenyum tipis, membuat Kiara langsung kembali menghadap kedepan. Malam itu masih sama, Kiara yang menggila di malam hari, meloncat, berteriak, dan menari sesuka hatinya. Namun ada yang sedikit berbeda, mungkin. Entah dibagian mana, gadis itu merasa hatinya menghangat, dan merasa—aman. Karena adanya lelaki yang sebelumnya ia maki dengan k********r, kini berada di belakangnya sepanjang malam. Hanya berdiri disana, dan tak mengusiknya. Lelaki itu seakan-akan, melindunginya dan menguarkan kenyamanan disaat yang bersamaan.             Dance floor sudah mulai kosong, dan sekarang sudah menjelang dini hari. Kiara menekuk wajahnya tidak suka, saat Alan dengan wajah datarnya melemparkan jaket jeans abu-abu itu padanya. Kiara memakai jaket Alan tanpa protes saat mendapatkan delikan tajam dari lelaki gondrong itu. Saat ini mereka sedang duduk di ujung ruangan, tempat Alan dan beberapa temannya tadi yang sekarang entah berada dimana.             “Lo nggak pulang?” tanya Kiara yang berharap lelaki itu akan langsung berdiri untuk mewujudkan pertanyaannya. Namun yang Kiara lihat berbeda, Alan kini sedang mengikat setengah rambutnya dengan kuncir pink dan terlihat usang. “Feminim banget~,” ejek Kiara yang hanya dibalas lirikan tak peduli oleh Alan.             Alan menoleh kearah Kiara, “Gue kaget banget, sumpah!” lelaki itu berbalik menampilkan pandangan mengejek yang membuat gadis itu seakan tak berkutik.             “Ini bukan urusan lo,” desis Kiara yang tak suka Alan mengangkat topik yang membuat dirinya malu ini.             “Oh, tentu ini urusan gue. Ucapan lo tentang jeans sobek, urakan, dan kedisiplinan seakan mendengung di telinga gue,” Alan menampilkan seringainya. Lelaki itu nampak lebih tampan saat rambutnya terikat, rahang tegasnya terlihat begitu jelas hingga Kiara harus mengumpat dalam hati akan hal itu.             “Oke sorry, lo boleh ngatain gue munafik atau sebagainya,” Kiara menutup matanya dengan kesal, lalu kembali memelototi Alan yang nampak tak terganggu dengan pelototannya. “Tapi, jangan lapor ke Ayah!” pintanya yang terdengar seperti perintah. Alan tersenyum geli tanpa bisa dicegahnya, dan Kiara makin geram akan hal itu. “Gue serius!” pekik gadis itu.             “Sebenarnya gue bukan pengadu, tetapi karena lo yang kasih saran kayak gitu, pasti bakal gue lakuin dengan sepenuh hati,” Alan tersenyum senang. Sepertinya dunia memang begitu adil. Jika disiang hari tadi Kiara bisa berlaku seenaknya sebagai murid teladan, kini Alan bisa membalikkan situasi itu.             “Sebenarnya mau lo apasih!” Kiara memekik, ia sangat tidak suka dengan tingkah Alan yang bertele-tele seperti ini. Dan untung saja Alan termasuk kedalam jajaran lelaki yang peka, sehingga lelaki itu memilih untuk berhenti mengerjai Kiara. Di siang maupun di malam hari ternyata gadis itu masih sama saja, pemarah.             Alan menghembuskan napas sebentar, memiringkan tubuhnya agar bisa menatap Kiara dengan penuh. “Ini cuma penawaran,” gumam lelaki itu dengan kemisteriusan.             “Cepat ngomong, nggak usah basa-basi,” desak Kiara tidak sabaran.             Alan mengulas senyumnya, menatap sebentar gadis yang nampak begitu cantik itu. “Kita bisa saling membantu,” Alan memberikan jeda dalam kalimatnya. “Lo ngelakuin tugas lo sebelumnya, tetapi dengan lembut dan sopan.” Ada kekesalan dalam diri Alan saat mengatakan hal itu.             Kiara tersenyum mengejek, “Lalu apa untungnya buat gue?”             “Banyak,” jawab Alan dengan tegas. “Pertama, gue bakal ngerahasiain penyakit kepribadian ganda lo ini. Kedua, gue bakal ngejagain lo. Ketiga, lo bisa jadiin gue tameng kalo sampai ketahuan nanti.”             Setelah mendengar ucapan Alan, bukan mengerti gadis itu malah terlihat sangat jengkel. “Pertama, gue nggak punya penyakit kepribadian ganda. Kedua, gue nggak butuh penjagaan lo. Dan ketiga, gue nggak bakalan ketahuan!”             “Lo udah ketahuan,” bisik Alan penuh dengan rasa puas. Lelaki itu lalu menggerakkan kepalanya, menyuruh Kiara untuk menoleh kearah depan tanpa suara.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD