CHAPTER DUA

3745 Words
Rumah sakit hari ini sepertinya ramai karena parkiran tampak padat. Setelah Anna menurunkan dr. Steve di pintu utama, ia memarkirkan mobilnya di tempat biasa dan masuk melalui lift karyawan. “Lama tidak melihatmu.” Anna menoleh dan tidak menyangka Logan berdiri di belakangnya saat lift mulai sepi dan hanya menyisakan mereka berdua. Ia memakai seragam berwarna krem seperti biasa dengan dasi berwarna merah marun, celana bahan dan pantofel. Rambutnya di sisir rapi ke belakang dan penampilannya tampak sempurna hari ini. “Apa kau keberatan kalau aku mengajakmu makan nanti siang?.” Logan maju selangkah, mensejajarkan diri dengan Anna saat lift mulai merangkak naik hingga Anna bisa mencium aroma maskulin pada tubuh Logan. “Nanti siang? Boleh, aku ada di sini sampai nanti siang.” “Bagus, aku akan menjemputmu di ruang praktik dr. Steve. Sampai nanti.” katanya saat pintu lift terbuka dan ia menghilang saat pintu lift tertutup. Anna kembali ke orientasinya dan dalam sekejap pesona Logan hilang dalam pandangan dan pikirannya. Ia keluar dari lift dan langsung menuju ruang praktik. Clara sudah ada di meja kerjanya. Sibuk dengan map-map plastik yang bertebaran di atas mejanya. “Ada setumpuk surat untuk dr. Steve yang perlu kau cek. Dan tadi pagi Mr. Drake menelepon. Hanya memastikan bahwa undangan untuk pesta-nya sudah sampai. Mungkin ada di antara setumpuk surat-surat itu.” Clara melirik ke atas meja kecil tak jauh dari tempatnya duduk. Anna mendekati dan meliriknya sebentar. “Oke, terima kasih Clara.” Anna mengambil setumpuk surat itu dan menumpukkannya di lengan kanannya. Sebagian surat-surat berukuran kecil dan sisanya adalah amplop-amplop coklat besar tapi tidak terlalu berat. Ia membawa surat-surat itu ke dalam dan menaruhnya di mejanya. Ia mempunyai sebuah meja dan kursi kecil di belakang ruang praktik dr. Steve, bersama dengan beberapa lemari yang berisi pakaian dokter dan sebuah pot di sudut ruangan juga rak sepatu yang selalu tampak bersih. Ia duduk di mejanya dan mulai membuka surat-surat itu. Beberapa surat berasal dari bank dan sisanya adalah undangan, salah satunya adalah undangan yang dimaksud Clara. Ia mulai menekan telepon yang ada di atas mejanya untuk menghubungi Mr. Drake, sekadar memberitahu bahwa undangannya sudah sampai dan akan segera disampaikan kepada dr. Steve. Ia lalu menuliskan ‘undangan dari Mr. Drake.’ Beserta tanggal dan jamnya ke buku agendanya. Ia kembali meneliti surat-surat itu dan menghancurkan beberapa ke mesin penghancur kertas yang sekiranya tidak penting. Sedangkan yang penting ia masukkan ke sebuah map putih transparan dan ia taruh di atas meja dr. Steve. Ia keluar dan melihat Clara duduk membelakanginya. Terlihat sibuk dengan pulpen yang dipegangnya dan sebuah kertas yang ada di depannya. “Ada yang bisa kubantu?” Anna mendekat dan Clara menoleh, Menatap Anna yang menjulang tinggi di sampingnya. “Apa tidak ada yang bisa kau kerjakan di dalam?” Clara berpindah duduk dan Anna menjatuhkan diri di kursi Clara. “Tidak, jadi biarkan aku membantumu.” “Kau yang memaksa ya, baiklah.” Clara tertawa dan memberikan beberapa form kepada Anna. Menyuruhnya menyalin data-data pasien dr. Steve. Selama beberapa menit mereka hanya diam. Sama-sama sibuk. Tapi akhirnya Anna membuka suaranya. “Clara, apa kau tahu mengenai anak dr. Steve?” Clara menoleh sedangkan Anna masih merasa pertanyaannya tidak penting. “Anak dr. Steve?” Clara mengulangi pertanyaan Anna dan kali ini membuat Anna ikut menoleh ke arahnya. “Aku hanya tahu kalau dr. Steve mempunyai dua anak laki-laki yang tinggal berjauhan. Lalu, kenapa kau menanyakannya?” “Salah satu dari anaknya akan datang ke sini dan bertugas di klinik. Dokter menyuruhku menjadi asisten pribadinya. Kalau tidak salah Jullian yaa…” Anna mulai menatap Clara dengan tatapan tajam. “Jullian Peter Haynsworth. Tidak salah lagi, tentu saja dia karena salah satu anak masih sekolah di sekolah menengah.” “Kau pernah bertemu dengannya?” “Sudah lama sekali. Aku bertemu dengannya beberapa hari sebelum libur musim dingin. Ia sempat ke sini dan menjemput dr. Steve.” “Oya, bagaimana orangnya?” Anna mulai terlihat antusias. “Tampan dan sedikit berbicara.” Hanya itu informasi yang bisa Clara berikan. Bagaimanapun ia hanya mengenal Jullian sekilas dan dalam pandangannya pria itu begitu dingin. Tapi sepertinya untuk informasi yang ini tidak perlu diberitahukan pada Anna. Biarlah Anna menilai sendiri. *** Suara dering ponsel mengalihkan perhatian Anna. Sebuah panggilan dari dr. Steve. “Yaa dok, oohh begitu… baiklah… oia, sebelum jam dua kita sudah harus berada di klinik. Aku mengerti… hati-hati…” Anna tertawa kecil lalu mematikan panggilannya. “Kau mau makan siang keluar?” Anna menyimpan ponsel dalam sakunya. “Tidak, ibuku membawakan grilled cheese untukku.” “Baik sekali. Kau beruntung Clara.” “Tapi sepertinya kalau urusan cinta kau lebih beruntung Anna.” Clara melirik Logan yang berjalan mendekati mereka, dengan pesona yang bahkan tidak akan pernah bisa ia tutupi. Langkahnya begitu mantap dan teratur. “Aku dan Logan hanya berteman.” Anna berbisik tepat saat Logan sudah berdiri di depan mereka. “Suster Clara, boleh aku meminjam sahabatmu sebentar?” tanya Logan dengan seulas senyum. “Ooohh… tentu saja Mr. Hamilton. Kau hanya perlu memastikan ia kembali tidak kekurangan satu apapun.” Mereka tertawa. Sebelum pergi Anna menanyakan Clara apakah ia ingin menitip sesuatu, tapi wanita itu menggeleng sambil tersenyum dan akhirnya menatap punggung Anna dan Logan yang semakin menjauh. Mereka keluar dari hiruk-pikuk rumah sakit menuju sebuah restoran di depan rumah sakit. Menyebrang melalui zebra cross saat lampu lalu lintas menunjukkan gambar manusia berwarna hijau. Lalu masuk ke dalam resto itu dan berdiam beberapa detik untuk menemukan meja yang kosong. Setelah menemukan di pojok ruangan, mereka langsung memesan makan dan minum. Seorang pelayan bertopi dan celemek menuliskan pesanan mereka di selembar kertas. Setelah mengulangi pesanannya untuk memastikan tidak ada yang salah, pelayan itu menyuruh mereka menunggu sebentar. Anna menumpukkan kedua tangannya di atas meja melirik ke sekeliling. Memandang para pelayan yang sibuk hilir mudik. Menatap kasir yang sibuk dengan uang di laci mejanya. Di pojok ruangan terdapat sebuah lemari kaca yang menyediakan berbagai macam kue dan sebuah lemari es yang menyimpan berkaleng-kaleng soda. “Bagaimana kabar Emily?” Anna bertanya tepat saat pesanannya datang. Setelah mengucapkan terima kasih kepada pelayan. Logan menjawab. “Baik, ia akan lulus tahun ini.” Anna terlihat mengangguk. Ia ingat bagaimana pertama kali ia mengenal adik Logan, Emilia Hamilton. Gadis cantik yang begitu kurus dan tinggi. Anna tidak mengerti apa saja yang dimakan gadis itu sehingga bisa menghasilkan tubuh selangsing itu. Gadis itu bahkan terlihat jauh lebih dewasa dibanding umurnya yang baru menginjak remaja. Kulitnya coklat keemasan, sangat berbanding terbalik dengan Logan yang berkulit Pucat. Sepertinya gadis itu menghabiskan banyak waktu di pantai tropis untuk berjemur. Anna juga pernah mendengar bahwa di usianya yang masih remaja Emily sudah melakukan berbagai macam operasi plastik untuk tampil jauh lebih cantik. Mereka mengalihkan pembicaraan ke sesuatu yang lebih menarik. Membicarakan pekerjaan mereka, bahkan gosip-gosip yang sedang beredar di rumah sakit tempat mereka bekerja. “Terima kasih sudah menemaniku makan siang.” Mereka hampir sampai di ruang praktik dr. Steve. “Sama-sama.” Anna masih berdiri di depan pintu ruang praktik dan Clara tidak terlihat di mejanya. Setelah mengucapkan terima kasih sekali lagi, Logan Menjauh dan Anna masuk ke ruangan. dr. Steve masih belum nampak padahal seharusnya mereka sudah dalam perjalanan menuju klinik. Ia mengeluarkan ponselnya dan mengirim pesan singkat untuk dr. Steve. Tidak lama pesan balasan masuk. Lima menit lagi aku menunggumu di lobi. dr. Steve Anna langsung menyambar tas-nya dan mulai berjalan menuju parkiran. Tidak lupa ia menenteng mantel dr. Steve yang masih tergantung di wooden hanger. Ia membunyikan klakson dan membuat dr. Steve yang sedang mengobrol menoleh seketika. Setelah mengucapkan salam kepada sahabatnya. Ia melesak ke dalam mobil. Anna langsung menginjak gas dan roda mobil mulai berputar. “Dokter, anda mendapat undangan dari Mr. Drake.” katanya sambil menyebut tanggal dan jamnya. “Atur saja di jam-ku yang kosong.” *** Anna memakirkan mobilnya di sebuah bangunan sederhana. Seorang pria paruh baya terlihat sedang mengurus tanaman di pekarangan di samping klinik. Klinik itu tidak terlalu besar tapi cukup untuk menampung beberapa pasien. Dan dalam pengetahuan Anna cukup banyak meraup keuntungan tiap bulannya. Pasien di sini tidak pernah sepi, apalagi reputasi dr. Steve dan dr. Raymond, adik dr. Steve yang sudah bekerja untuk rumah sakit-rumah sakit besar di New York. Klinik itu adalah klinik umum. Semua orang berpenyakit pergi ke sana. Demam, flu atau hanya sekadar pusing. Kalau penyakit itu memang serius, dr. Steve akan membuat rujukan ke rumah sakit yang lebih besar. “Selamat sore Anna.” Maria, staff pendaftaran itu menyapa Anna dan membungkuk ke arah dr. Steve yang langsung masuk ke ruangannya. Klinik itu hanya punya tujuh karyawan. Maria dan Simon yang selalu berdiri dibalik sebuah meja besar berwarna coklat sebagai bagian pendaftaran, Yuri, Bryn, Diandra dan Leon sebagai apoteker yang selalu bergumul dengan obat-obatan di balik ruangan kaca. Dan Dane sebagai petugas kebersihan. Anna sendiri tidak bisa dibilang menganggur karena ia pasti membantu Maria menangani pasien atau mendata kartu-kartu pasien. Anna pergi ke dalam dan kembali dengan segelas air di tangannya lalu duduk di samping Maria. Satu pasien sudah masuk ke ruang periksa dan tiga orang pasien datang lagi. Maria sibuk dengan komputernya dan Anna mulai mengupdate data pasien. “Anna.” Maria menoleh tapi Anna masih sibuk dengan berlembar-lembar kertas dan pulpennya. Ia hanya berdehem. “Heeii…” Maria kali ini menjauhkan jari-jarinya dari papan ketik dan menatap Anna yang belum juga menoleh. “Aku dengar anak dr. Steve akan praktik di sini? Anna hanya mengangguk, sama sekali tidak tertarik dengan topik yang dibuka temannya. “Apa kau pernah bertemu dengannya?” Anna menggeleng. Masih belum menatap lawan bicaranya. “Apa kau tidak penasaran? Kau pasti akan sering bertemu dengannya.” “Karena itulah, untuk apa aku penasaran. Toh nanti aku akan bertemu dengannya. Lagipula, dr. Steve menyuruhku untuk menjadi asistennya.” Anna melepas bolpoinnya dan kali ini menatap Maria dengan salah satu alis terangkat. “Kau serius?” Ia mengangguk dan menyeruput air di gelasnya. Pasien datang lagi dan menyela pembicaraan mereka. Maria mengecek nama pasien lalu memberikannya nomor urut. “Lalu bagaimana dengan dr. Steve. Bukankah dia juga membutuhkanmu?” “dr. Steve menyuruhku bekerja untuk anaknya. Dia berfikir dia tidak terlalu membutuhkanku.” “Iisshh, bagaimana mungkin dia bisa bilang seperti itu. Bukankah semua-muanya kau yang mengatur. Aku tidak yakin dia bisa benar-benar melepasmu.” “Sudahlah, aku tidak peduli. Yang penting aku masih bisa bekerja. Aku tidak tahu apa jadinya kalau dr. Steve memecatku. Bekerja untuk anaknya aku pikir sudah beruntung.” “Aahh yaa, semoga beruntung kalau begitu. Apa kau pernah membayangkan kira-kira bagaimana wajah anak dr. Steve. Apa matanya bulat seperti ibunya dan senyumnya menawan seperti dr. Steve.” Maria menarik garis bibirnya dan memandang ke langit-langit klinik. “Apa yang kau pikirkan?” Anna memukul kepala Maria dengan gulungan kertas dan membuat gadis itu terkikik. Semakin malam, klinik semakin ramai dan Anna baru saja membeli makanan untuk makan malam. Ia menaruh sup ke dalam mangkuk dan masuk ke ruang periksa dr. Steve. “Aku membelikanmu sup, udara di luar sangat dingin.” “Terima kasih Anna.” dr. Steve mendekatkan mangkuk itu dan menghirup aromanya yang menggoda. “Masih ada empat pasien di luar. Kau bisa pulang satu jam lagi. dr. Raymond sudah ada di ruangannya. Selamat malam.” Anna siap keluar sebelum akhirnya dr. Steve memanggilnya kembali. “Oia Ann, besok kau bisa menjemput anakku di bandara.” “Hah?” Anna hanya bisa bereaksi seperti itu dan menatap dr. Steve yang tersenyum. “Maksudku. Tentu.” Anna tersenyum balik. “Jam berapa kira-kira?” “Aku rasa pagi, kau bisa ada di sana jam sembilan?” “Jam sembilan pagi. Tidak masalah. Aku akan mampir ke rumah sakit lebih pagi.” “Tidak usah. Kau bisa berangkat langsung dari rumah. Oia, apa kau butuh foto anakku?” Anna berfikir sebentar lalu menggeleng. “Tidak usah, aku hanya butuh namanya dan akan menuliskannya pada sebuah karton besar. Anak anda bisa membaca bukan?” Mereka tertawa bersama. “Tentu saja.” dr. Steve mengambil selembar post-it kuning dan pulpen lalu mulai menuliskan nama anaknya. “Ini.” Post-it itu berpindah tangan dan Anna membacanya pelan-pelan. “Jullian Peter Haynsworth. Nama yang bagus. Dokter yakin aku tidak perlu ke rumah sakit terlebih dahulu?” dr. Steve menggeleng dan Anna pamit keluar. *** “Apa yang kau lakukan? Sudah malam, cepat pergi tidur.” Lucia menghampiri Anna yang masih terduduk di ruang tamu. “Aahh mom…kau hampir merusak tulisanku.” Lucia duduk di samping Anna dan memperhatikan Anna yang sedang sibuk membuat nama anak dr. Steve di atas karton berwarna putih. “JULLIAN PETER HAYNSWORTH.” Lucia mengeja nama di atas karton itu baik-baik dan melayangkan tatapan penuh tanya ke arah Anna. “Anak dr. Steve, aku harus menjemputnya besok di bandara.” Gadis langsung menjawab sebelum ibunya bertanya lebih lanjut. “Ternyata keluarga itu benar-benar memiliki anak? Aku pikir mereka hanya hidup berdua.” “MOM…” Anna melotot seakan menyuruh ibunya diam. “Kenapa harus kau yang menjemputnya? Lama tidak bertemu anak, apakah mereka tidak ingin menjadi yang pertama melihat kedatangannya.” Kali ini Anna mengangkat bahu dan melanjutkan aksi menebalkan tulisan itu. “Dokter menyuruhku menjadi asisten anaknya.” “APA? Kenapa? Aahh ya, sepertinya kau sudah pernah membicarakannya. Apakah anak itu akan tinggal lama di sini?” Anna menutup spidolnya dan menatap ibunya baik-baik. “Dia akan praktik di klinik.” “Oya. Kau sudah pernah melihat sebelumnya? Apa dia tampan?” Anna tersenyum sinis “Belum, kenapa mommy bertanya seperti itu?” “Mom pikir kau cocok sekali dengan keluarga Haynsworth. Mom akan sangat senang kalau kau menjadi menantu mereka. Apa mereka hanya punya satu anak?” “Aaiisshh… Berhenti mengigau, aku mau tidur.” Anna melempar spidol ke meja dan langsung meninggalkan ibunya yang masih terduduk di sana. Ia berbaring di ranjang kecilnya. Mematikan lampu dan menyalakan lampu tempel yang temaram lalu mengumpat di balik selimut. *** Jullian menunggu di ruang tunggu bandara dan mencari-cari seseorang yang membawa papan namanya. Ayahnya bilang akan ada seseorang yang menjemputnya dan mau tidak mau ia terpaksa menunggu. Sudah hampir lima tahun tidak bertemu kedua orangtuanya dan ia bahkan lupa alamat ke rumahnya sendiri. Terakhir ayahnya memberi kabar kalau keluarga mereka pindah rumah dan karena itulah ayahnya menyuruh seseorang menjemputnya. Ia melirik arloji mahalnya yang sudah menunjukkan pukul 09.45. Itu berarti ia sudah menunggu selama tiga puluh menit. Ia mulai meruntuk dan bersumpah akan menghajar orang yang menjemputnya kalau ia datang. Ia memperhatikan tiap orang seakan siap menelan hidup-hidup jika orang yang membawa tulisan namanya ada di dekatnya. Ia menahan geram melihat jarum panjang jamnya terus bergerak berputar seirama. *** Anna tersentak kaget melihat jam di meja kecilnya menunjukkan pukul 08.45. Ia berteriak dan langsung terloncat dari ranjangnya. “Ya tuhan bagaimana ini. Mooomm, kenapa kau tidak membangunkanku?” Anna terus berteriak sambil masuk ke dalam kamar mandi. Tidak butuh waktu lama karena beberapa menit kemudian ia keluar dari kamar mandi, berpakaian asal dan menyambar tasnya di atas meja lalu berlari keluar. Menemui ibunya yang sedang duduk asik di ruang makan. Ia berdiri di depan ibunya dengan napas terengah-engah. “Kenapa mommy tidak membangunkanku, bukankah aku bilang kalau aku harus menjemput anak dr. Steve.” Lucia menaruh cangkir di meja dan menatap anaknya sambil tersenyum. “Kau tidak bilang akan berangkat jam berapa? Mana aku tahu.” Anna mengerutkan dahinya lalu menghentakkan kakinya sambil meracau dan berbalik pergi. “Heeyy Annabel Carter, kau tidak sarapan? Kau bahkan belum menyisir rambutmu.” “Aku sudah telat.” Anna mengambil ikat rambut dari tasnya dan menggulung rambutnya asal. Perlu menunggu hingga kurang lebih lima menit sebelum Anna mendapatkan taksi. Setelah memberitahukan tujuannya, ia sibuk dengan pikirannya sendiri. Bagaimana bisa ia kesiangan dan kenapa pula alarmnya tidak berbunyi. Ia terus menyuruh supir taksi menaikkan kecepatan padahal ia tahu kalau kondisi jalanan padat. Ia mengigiti kuku ibu jarinya karena gugup. Bagaimana ia bilang pada dr. Steve kalau kejadiannya seperti ini. Anak itu pasti akan marah besar. Sedetik setelah taksi berhenti di bandara. Ia langsung menghambur keluar, ia bahkan tidak mengambil kembalian untuk ongkos taksinya. Sebelum ia benar-benar masuk ke hall kedatangan, ia menabrak seseorang hingga tersungkur. Lututnya tergesek lantai dan rok tanggungnya hampir terangkat memperlihatkan paha mulusnya. Ia menghela napas dan buru-buru berdiri, membetulkan roknya yang lecek dan berbalik, manatap pria di belakangnya. Pria tinggi dengan kacamata hitam itu hanya berdiri tanpa ada keinginan untuk sekadar meminta maaf. “Kau ini punya mata atau tidak?” Anna berbicara sinis. Pria itu melepas kacamatanya dan menatap Anna dari atas sampai bawah lalu melirik kertas karton yang dibawanya. “Yang salah itu kau, seharusnya aku yang berbicara seperti itu. Tidak sopan.” Pria itu menyelipkan kaca mata hitamnya di saku jas. “Aahh sudahlah, aku sedang buru-buru.” Anna berlari secepat kilat. Menilik setiap orang yang ada di sana. Dan sejujurnya ia menyesal menolak tawaran dr. Steve untuk memberikan foto anaknya kalau tahu kejadiannya akan seperti ini. Jullian pasti sudah turun dari pesawat dan sekarang ada di sekitar sini. Lalu bagaimana ia mengetahuinya? Anna akhirnya menanyai orang itu satu-persatu. Ia bertindak seperti orang bodoh. Berkeliling hanya untuk menanyai nama mereka satu-persatu sambil menunjukkan karton itu ke depan muka setiap orang. Benar-benar memalukan. Setelah yakin bahwa orang yang dicarinya tidak ada di sana dan berfikir ia pasti sudah pulang karena terlalu lama menunggunya. Apa yang harus ia katakan pada dr. Steve? Ia keluar dari hall kedatangan dan menemukan pria yang tadi ditabraknya masih berdiri di sana. “Masih belum mau meminta maaf?” Anna melirik pria di sebelahnya. “TIDAK.” Ia menghampiri taksi dan masuk. “Hey tunggu.” Pria itu kalah selangkah dari Anna karena sebelum Ia berhasil meraih pintu taksi, gadis itu sudah menyuruh supir taksi itu melaju. *** Anna sibuk menenangkan hati selama perjalanan menuju rumah sakit. Ia terus memaki diri sendiri. Menyesali kecerobohannya kali ini. Taksi itu berhenti dan menggugah Anna ke kesadarannya. Ia tersentak lalu membayar, tapi kali ini ia mengambil uang kembaliannya. Bagaimanapun ia tadi sudah merasa rugi karena tidak mengambil uang kembalian yang mungkin bisa ia belikan makan siang. Anna menyusuri lantai menuju ruangan dr. Steve. Bersiap menerima kemarahannya. Walaupun ia ragu kalau dr. Steve bisa marah padanya. Pria itu begitu lembut walaupun rahang dan tulang pipinya mencerminkan ketegasan. Ia menarik napas panjang dan melirik penampilannya di kaca yang ada di samping lift. Benar-benar berantakan. Wajahnya masam seperti belum mandi dan rambutnya, biarpun sudah ia gulung hingga ke atas tapi karena tadi ia berlari, beberapa helainya mulai terurai terlepas dari ikatan. Setelah sampai di lantai ruangan dr. Steve. Ia menyempatkan diri ke kamar mandi untuk membasuh wajahnya dan menyisir rambutnya. Ia memperhatikan gulungan karton hasil karyanya semalam lalu kembali berdecak kesal. Ia merobek karton itu dan membuangnya ke tong sampah. Clara memperhatikan Anna yang mulai mendekat ke arahnya. Setelah Anna benar-benar ada di hadapannya, ia melongok ke belakang Anna seperti mencari seseorang. Setelah tidak menemukan apa yang ia cari ia memandang Anna yang menampakkan raut wajah kesal. “Ada apa?” Clara mengangkat bokongnya dan pindah di kursi sebelah. Membiarkan Anna menduduki kursi yang sebelumnya ia tempati. “Apa dr. Steve sedang ada tamu?” Ia menatap wajah Clara dengan lesu dan melihatnya menggeleng. “Ada apa? Bukankah kau disuruh menjemput anak dr. Steve? Kau tidak membawanya ke sini? Atau kau langsung mengantarkannya ke rumah?” Clara tampak bersemangat dan itu semakin membuat Anna merasa bersalah. Ia menghela napas pasrah dan menggeleng. “Aku kesiangan. Aku bahkan tidak sempat bertemu orangnya. Ia mungkin sudah pulang sendiri ke rumahnya.” Clara membuka mulutnya lebar seakan tidak percaya dengan kata-kata Anna barusan. “Bagaimana bisa seorang Anna seceroboh itu?” Anna tidak menjawab dan sibuk dengan pikirannya sendiri. “Aku akan ke dalam.” Anna sudah berdiri tetapi masih menatap Clara seakan meminta kekuatan. Clara tersenyum. “dr. Steve tidak akan memarahimu. Percayalah.” dr. Steve menyuruhnya masuk hanya dengan sekali ketukan. Anna masuk dan langsung disambut oleh udara AC yang begitu dingin. Sepertinya kegugupannya membuat udara di sana terasa lebih dingin dari biasanya. dr. Steve masih sibuk dengan dokumennya. Sama sekali tidak menatap gadis yang berada di depannya. “Ada apa Anna?” tanya dr. Steve yang masih belum melepas pandangan dari dokumennya. “Maafkan saya dok, saya telat dan tidak menemukan anak dokter di bandara.” Satu-satunya suara yang terdengar adalah denting pulpen mahal dr. Steve yang membentur kaca meja. Ia mengangkat wajahnya dan menumpukan kedua tanganya di atas meja. “Saya benar-benar menyesal dok.” Ia berusaha menampakkan wajah menyedihkan seakan meminta dr. Steve untuk mengasihaninya. “Tidak apa-apa. Dia sudah sampai di rumah.” Wajah Anna masih dingin seakan menunggu kata-kata dr. Steve selanjutnya. “Kau sakit?” tanyanya. Gadis itu menggeleng. “Kau terlihat acak-acakan hari ini. Kau boleh istirahat kalau kau sakit.” Tidak mempedulikan kekhawatiran dr. Steve, Anna malah tersenyum lebar. “Saya tidak apa-apa dok. Sekali lagi saya minta maaf atas keteledoran saya.” dr. Steve menyeringai lalu berkata “Baiklah, karena kau mengaku bersalah. Kau harus ikut makan malam nanti.” Senyumnya langsung menghilang. Ia langsung menerka-nerka wajah ekspresi Jullian saat bertemu dengannya. Apakah pria itu akan memarahinya karena membiarkannya menunggu. “Oia, tolong pesankan bunga papan untuk dikirimkan ke rumah Mr. Drake. Berikan ucapan selamat atas hotel barunya.” Anna tersentak lalu mengangguk cepat. Berfikir apakah sopan kalau menolak undangan dr. Steve. “Kau harus datang. Aku tidak akan menerima alasan apapun.” Seakan tahu apa yang ada di pikiran gadis di depannya, dr. Steve mengerlingkan sebelah matanya. “Pasti dok.” Anna keluar dari ruangan itu dan langsung menyambar air mineral yang ada di atas meja. Ia duduk di kursi sementara Clara pergi entah ke mana. Ia mengeluarkan ponselnya dan menghubungi florist langganannya untuk memesan sebuah bunga papan. Setelah ia memberitahu tipe dan tulisan yang diinginkanya, ia menutup telepon lalu melakukan transaksi melalui ponselnya. Entah kenapa ia merasa pekerjaannya terancam saat ini. Bagaimana tidak, ia akan menjadi asisten Jullian dan ia bahkan melakukan kesalahan sebelum bertemu dengan orang itu. Ia mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja. Membuat bunyi yang menarik bagi suster yang berada di meja sebelah ruangan. Mengetahui tindakannya mungkin mengganggu, ia berhenti dan menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Ia tidak habis pikir bagaimana kalau jullian marah dan memecatnya. Walau ia yakin dr. Steve tidak akan membiarkan itu terjadi. Makan malam… Rasanya seperti mempermalukan diri sendiri. Ia mendesah pelan sebelum akhirnya menegakkan pundaknya. Mencoba mengumpulkan kekuatan dalam dirinya. Ia bukan gadis penakut. Setidaknya itulah yang selalu di ajarkan di dalam keluarganya yang kejam. To Be Continue LalunaKia
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD