Night Call

1104 Words
Malamnya, sepulang Bhanu dari rumah Dharma hari itu, dia menelepon Yura. Sekedar untuk diajak berbicara di malam hari yang senggang ini. Bhanu nampak bosan dengan tayangan channel favoritnya itu, NatGeo yang menayangkan tayangan kemarin. Dia sudah menonton itu dan sudah tahu dengan apa yang terjadi selanjutnya, membosankan baginya. Akhirnya, dia mematikan televisi dan pergi ke kamar. Mengambil teleponnya lalu mendial nomor Yura. Tidak berselang lama, cewek itu mengangkat telepon Bhanu, “Ya Nu, ada apa?” “Assa—“ dia berhenti mengucap salam, “Malam, Yura.” Mengganti sapaannya dengan yang lebih netral itu. Dia merubah kebiasaannya ketika mengucap salam semenjak sering bermain dengan Dharma dan Cecil, untuk menghargai teman-temannya itu. Namun, ia baru sadari bahwa kebiasaannya itu juga dia tunjukkan ke Yura. Sebab, cewek itu juga tidak sekalipun pernah mengucap salam. Hanya, halo, hai, dan malam. “Malam, Bhanu. Ada apa?” sahutnya dari seberang sana memecah keheningan kamar Bhanu. “Besok weekend dan gue sama Dharma mau melancarkan sesuatu.” Tawa lirih Yura nan merdu sampai di gendang telinga Bhanu. Suaranya yang ringan dan lembut menyapa telinga hingga mampu menarik ujung bibir sebelah Bhanu dan matanya langsung menatap langit dengan sendunya. “Terus?” Kalian mau ngapain?” lanjutnya. “Kita mau ngikutin Cecil dan Kak Ben kencan.” Awalan Bhanu. “Ra, kamu bener. Dharma itu punya sesuatu yang aneh selama ini.” “Aneh?” “Iya, ‘aneeeh’.” Bhanu sedikit menekankan kata aneh yang menjurus ke hal pembicaraannya tadi sore dan sempat ia serta Yura curigai beberapa waktu lalu. “Ah, ‘aneeh’ ya ya gue paham. Dia ngaku?” berikutnya terdengar suara grasak-grusuk dari telepon itu. Nampak seperti cewek itu menempuk-nepuk bantalnya. Bhanu tidak peduli mengutarakan semua yang dia peroleh tadi bersama Dharma. Rahasia apapun aman bersama Yura. Gadis itu bisa ia percayai. Sehingga cerita demi cerita hingga detail mengalir begitu saja. Aneh, Bhanu merasa sangat ingin membagi apapun yang terjadi pada dirinya juga kepada Yura, tidak hanya Cecil dan Dharma. Apalagi ketika Cecil dan Dharma seperti ini, dia jadi punya teman lain untuk diajak berdiskusi tentang hal-hal yang mengganggu hatinya, membuatnya gelisah, bahkan hal-hal yang tak dia pelajari di sekolah, seperti zodiak-zodiak yang Yura sangat gilai itu. “Iya, dia ngaku. Nggak yang terus terang kayak ‘iya, Nu. Gue suka sama Cecil’ tapi lebih ke ‘Keliatan ya?’ haha, lucu amat temen gue satu itu!” Bhanu mencemooh temannya yang bertingkah lucu kala sedang ketahuan. Masih berusaha menutup-nutupi meskipun jawabannya tetap saja memiliki makna yang absolut untuk Bhanu. “Malu itu, Nu.” “Ngapain malu? Fall in love is not a sin?” katanya lalu tiba-tiba teringat. Ia melupakan sesuatu yang penting di antara mereka. Sebuah jarak dan bahkan tembok penghalang tinggi yang nampak ketika mereka sudah lahir dan mengenalnya, agama keduanya. “Oh my god, Yura. Gue lupa. Cecil Katholik, Dharma Buddha.” Yura diam saja. Hanya terdengar helaan napasnya. Bhanu mengumpat tak selesai-selesai baru menyadari ini. Hal yang sudah sangat jelas namun ia lupakan sejenak karena lebih fokus kepada keributan yang mereka bertiga perbuat, fokus kepada Cecil yang tak nyaman dengan Ben, fokus pada pengakuan Dharma, hingga fokus pada egonya yang ingin semuanya bisa diselesaikan dan Cecil kembali pada mereka. “Yura, gue bodoh banget. Tadi, gue bilang kalo cintanya Dharma bakalan ditolak sama Cecil…” “Which is he has already know that his love is useless.” Sela Yura dengan tegas. Sumpah demi apapun, perasaan Bhanu sekarang ingin menenggelamkan dirinya sendiri. Bagaimana dia bisa lupa akan hal ini? Bhanu panik dan merasa tak enak hati dengan Dharma. Dia pasti sakit hati? Dia pasti sudah patah hati sedari awal? Dia pasti sudah menyadari jika ini semua akan terjadi hingga baik maupun buruk namun cowok itu tetap berdiri di situ? Untuk Cecil? Ah, Bhanu mendadak benar-benar bingung. “Ra, tapi gue tadi masih ketawa-ketawa sama dia ngebahas dengan film, anime, dan gundam yang rencana mau kita beli kalo udah naik kelas 3, gimana dong?” Yura terdengar tertawa, tawanya pelan dan seketika menenangkan Bhanu, lagi-lagi dia merasa aneh. Mau Cecil tertawa gemas atau tenang seperti Yura secara berkali-kali padanya tidak akan menimbulkan hentakan di dadanya, tidak seperti yang Yura lakukan baru saja untuknya. “Bhanu, mungkin dia sudah tahu. Dia sudah paham. Nggak perlu kebingungan sendiri gitu dong. Kayaknya, Dharma emang anaknya setenang itu, yah? Salute banget, kalian benar-benar kontras. Pantes cocok.” Bhanu mengedip-ngedipkan matanya, heran. Lalu mendengar lanjutan kalimat Yura. “Lo yang super sensitive dan suka meledak-ledak, kepo, posesif terus digabung sama Dharma yang juga sensitive, wise, tenang layaknya air. Kalian bertiga lucu, pertemanan kalian seru, ya?” Bhanu menunduk dan tersenyum, memang menyenangkan bersama mereka. Keluarga keduanya. “Iya, mereka menyenangkan. By the way, lo juga menyenangkan, asal lo tahu.” “Wow, gue kira gue ini nyebelin, loh.” “Enggak, Yura. Lo nggak nyebelin kok. Kalo lo nyebelin pasti udah gue tinggal deh.” Ucapnya sambil terkekeh lalu ia menghela napas. “Tapi, kalo Dharma udah tahu cintanya terhalang agama, ngapain dia besok masih mau buntutin Cecil kencan ya?” “Balik lagi, tujuan lo apa? Tujuan kalian berdua buat Cecil besok itu untuk bikin kencannya berantakan sama Ben atau lo kepingin mereka berlabuh?” Bhanu menggeleng, “Kayaknya itu di luar keinginan gue, Yura. Gue hanya ingin Cecil merasa nyaman dengan dirinya sendiri, dengan orang-orang di sekelilingnya, dengan kita sebagai teman-temannya, atau dengan cowok yang cinta dia nanti. Demi Allah, kenapa gue baru kepikiran sih?” Lagi-lagi, Yura menanggapi dengan tawa lirihnya, “Bhanu….” Panggilnya lembut, Bhanu tersentak berulang kali dengan kelembutan itu. Hentakan macam apa ini?, batinnya sambil mengelus-elus dadanya. “Love is love. Nggak perlu dibikin bingung. Ok?” Sorry, Yura. Tapi cetusan pikiranku nggak menolerir aku untuk diam saja. Ini mengganggu, aku ingin mencari tahu dan jalan keluarnya, Yura, tapi apa yang aku lakuin ini benar untuk teman-temanku?, batin Bhanu menggigit bibir bawahnya, gelisah. “Bhanu, are you there?” “Iya, Ra. Gue di sini kok.” “Melamun ya? Nggak usah dipikir banget. Biarin aja. Fokus untuk balikin Cecil ke kalian, ya? Moga rencana besok berhasil hehe. Having fun for tomorrow.” Bhanu mengangguk, “Mau ikutan nggak?” Jelas bukan hari sabtu pasti dia kosong. “Sorry, gue ada acara lain. hehe.” Tolaknya membuat bahu Bhanu mengendur seketika, “Kapan-kapan aja.” Lanjutnya. “Udah dulu, Bhanu. Gue mau tidur nih, ketemu senin yaa? Jangan lupa belajar buat UTS Fisika hari senin.” pamitnya langsung menutup telepon setelah Bhanu selesai menjawabnya. Menelepon Yura malam ini semakin membuat perasaannya merasakan hal yang begitu campur aduk.      
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD