Spare Time

1355 Words
Saat semua siswa asyik bermain bola basket saat pelajaran olahraga, Bhanu memilih berlarian keliling lapangan daripada berduel 3 on 3 secara bergantian itu. Alasannya, tidak pandai bermain basket. Dan, itu terbukti benar. Teknik dribblingnya standar, shoot bola ke dalam ring saja 0, daripada membuat tim kalah lebih baik dia berlari keliling lapangan untuk mengolah kesehatan jantungnya sejak dini. Dharma nampak terengah-engah memblok pergerakan lawan hingga peluit dibunyikan. Tanda pertandingan kecil itu sudah selesai. Kemudian cowok itu melambai memanggil Bhanu untuk berhenti dan menepi di pinggir lapangan. Di sana sudah ada Cecil membawa 2 botol minuman untuk kedua sahabatnya itu. “Nggak perlu punya pacar, Cecil bisa jadi babu ternyata.” Kata Bhanu sambil terkekeh. “Sembarangan! Gue lagi jamkos nih, bosen amat di dalem kelas pada diskusi materi matematika. Ew.” Dharma menyenggol lengan Cecil halus, “Ciye, gabung sono. Biar ikutan pinter, terus dipepet guru biar dikirim lomba atau direkomendasi beasiswa luar negeri.” “Pala lo! Ogah gue lomba tapi kalo beasiswa boleh sih.” Sahut cewek itu lalu duduk di podium supporter di pinggir lapangan. “Eh, lo pada mau ke rumah nggak? Hang out, yuk!” “Ngerujak aja di rumah lo!” saran Bhanu. “Mangga gue belom numbuh.” Ujar Cecil kemudian Bhanu menunjuk pohon mangga tempat biasanya dia berdiam diri setelah shalat atau jam-jam kosong. “Eh, nggak serem apa? Kalo ada yang nunggu gimana? Perasaan siswa nggak ada yang pernah nyolong tuh mangga.” “Ya ijin dong, kayak ‘Mbah, permisi. Minta mangganya ya?’ begitu kata mama gue kalo mau ambil tapi nggak ada yang punya buat ijin.” Dharma hampir tersedak, “Apaan dah, ambil mah ambil aja kali.” “Ih, lo belum pernah denger orang kesambet habis nyolong buah ya?” Cecil menyahuti Dharma sambil bergidik ngeri. Itu hanya ketakutannya, padahal dia belum pernah bertemu kejadian itu seumur hidupnya. Dharma menggeleng, “Ya nggak sampai kesurupan juga kali. Lagian, pohon itu tahu kalau buah yang dia punya pasti akan diambil mahluk lain untuk di makan, justru kalo nggak di makan bisa-bisa dia sedih karena merasa tidak terlalu bermanfaat.” “a***y, dalem banget Dharma omongannya hari ini.” Seru Bhanu. “Lo panjat ya, Ma?” “Lah kok gue, Cecil aja!” cowok itu menatap enggan. “Dia kan anak cheers, bisa dong manjat-manjat.” “Nggak manjat pohon juga, Dharma!” Bhanu tertawa lalu meneguk habis minumannya. Dia membiarkan kedua sahabatnya itu berdebat tentang siapa yang akan memanjat pohon nanti, atau buah apa saja yang ingin mereka makan. Bhanu hanya memasang telinganya saja. Sedangkan matanya, menatap lurus ke Yura, nampak sedang tertawa-tawa dengan segerombolan teman cewek sekelasnya. Rambut dikuncir kuda, agak berantakan mungkin setelah berlarian dengan mendribbling bola basket tadi. “Ada yang jatuh cinta.” Bhanu menoleh cepat, telinganya ini masih bisa mendengar, “Who?” “Lo!” sahut keduanya bersama-sama. Bhanu mengerutkan mukanya, raut penuh tanya menuntut alasan dan atas dasar apa dengan munculnya tuduhan itu. “Emang gue keliatan kayak orang lagi suka? Enggak, kan?” sangkalnya keras. Cecil menetap dan menggerayangi pundak Bhanu, sedikit menggoda, “Terlalu sering menatapnya lama, kurang cukup kuat tuduhan kita?” Bhanu menghembuskan napasnya pelan, lalu tertawa. Membalas kata-kata Cecil, “Lo berdua juga sering kali. Tapi, nggak ada apa-apa buktinya, terus kenapa gue enggak?” “Dan, kalian sering bareng-bareng akhir-akhir ini.” Sahut Dharma. Bhanu bungkam. “Udah, jangan bahas-bahas gue deh. Mending kita pikirin, nanti jadi beli buah apaan.” “Oke, nggak gue bahas di sini soal tuh cewek, tapi gue bahas nanti di rumah gue.” Cewek itu tertawa nyaring sebab menemukan bahan untuk meledek Bhanu lalu pergi, sebelum itu dia berkata. “Pokok di rumah gue cuma ada timun sama bumbu doang, nah lo berdua yang pikir sisanya!” titahnya. Ibarat, kalau Cecil itu sudah seperti Ratunya di sini. Siapa lagi yang cerewet, sering rewel, tetapi juga yang paling vokal jika ada penindasan? Cecilia lah orangnya. Sampai-sampai kedua cowok itu begitu menghargai dan menjaga Cecil ketika cewek itu berulah.                                                                                                         … “Gue akhir-akhir ini lagi suka banget nonton film Bring It On, lo pada ngerti nggak? Yang tentang kompetisi Cheerleaders gitu.” Ucap Cecil sambil mengiris buah-buahan di depannya, ada bengkuang, kedondong, belimbing, dan pepaya yang Bhanu dan Dharma beli di pasar tadi sepulang sekolah. Bhanu mendengarkan dengan mengulek bumbu sedangkan Dharma jadi juru icip. “Nggak tau, gue liatnya Step Up. Ngedance-dance juga, kan?” kata Bhanu Dharma menyahut, “Wah, keren sih, Cil. Kalo performance lu ala-ala Step Up.” “Beda, coy. Nanti grup Cheerleaders gue dilabrak anak-anak grup dance begimane?” “Labrak balik lah!” jawab Dharma dan Bhanu bersamaan dengan ringannya. Cecil membanting pisau ke dalam baskomnya. “Lo berdua mikir nggak sih, kenapa pepaya gede banget? Pegel gue motonginnya!!!” “Adanya itu, Cil.” Bhanu memelas. “Nggak ada yang kecil.” Tambah Dharma. Cewek itu mengerang, “Dharma, potong deh. Pegel tangan gue.” Posisinya bergantian, Cecil menjadi tukang icip dan tukang makan kerupuk, sedangkan Dharma menyelesaikan pekerjaan Cecil. Yang nampaknya, potongannya jauh lebih rapi dari Cecil. Itu membuatnya merasa kagum dengan Dharma. Padahal cowok itu mengaku jarang sekali masuk dapur, kenapa sekali memotong buah-buah bentuknya sangat rapi? Tidak seperti Cecil nampak awut-awutan. Bhanu jadi tidak selera melihat buah potongan Cecil. Setelah semuanya siap, mereka bertiga menyantap rujak hasil buatan mereka sambil mengeluh sedikit-sedikit tentang sekolah, tentang aktifitas mereka akhir-akhir ini. Mengeluh tentang bab praktikum kimia tentang titrasi yang membuat stress sebab salah sedikit saja cairannya bisa berubah menjadi sangat merah murah bahkan merah hingga praktikan harus mengulang lagi perhitungan dan kalkulasi cairan-cairannya. Diiringi dengan candaan-candaan garing bahkan aneh milik Bhanu. “Lo tahu nggak sih, gue kemarin diajarin soal zodiak-zodiak sama Yura.” “Wuih, nggak ada angin tiba-tiba bahas Yura.” Sindir Dharma. “Cantik nggak sih, Ma? Boleh lah, gue restuin kalian!” goda Cecil. Bhanu mendadak risih, “Kita ngomongin zodiak, loh. Bukan hati ke hati!” “Ey, dari zodiak bisa masuk hati ke hati.” Goda Cecil lagi. Bhanu kesal, sampai berkacak pinggang. “Bener-bener ya lo berdua!” dan Cecil malah menjulurkan lidahnya, meledek. Dharma menengahi, “Wooo, tenang-tenang. Gue nggak mau ya ini cobek kebalik gara-gara kalian berantem!” kata Dharma. “Ya udah, sok atuh diceritakeun tentang teteh na, kang Bhanu.” Bhanu diam saja. “Eh, tapi yang diomongin Yura kemarin tuh nggak salah sih. Gue searching beneran soal apa yang dia omongin waktu itu. Gue jadi aware sama diri gue pas liat zodiak-zodiak. Cuman, gue males ah kalo percaya sama ramalannya.” Cecil memulai berbintangan. “Kata Yura, siklus zodiak juga bisa dipengaruhi bulan. Terus nanti lo bisa juga manifesting ketika bulan-bulan tertentu. Atau, beberapa zodiak bisa saja apes ketika season-season zodiak tertentu gitu deh.” Dharma masuk pada pembicaraan itu, “Oh, sama aja dong kayak Chinese zodiak? Misal nih, Tahun zodiak pada elemen apa nanti yang apes zodiak apa.” “Ya apa?” Bhanu penasaran. “Tau, nggak apal gue. Haha!” ia tertawa, “Lagian, siklus kalender zodiak china tuh bisa sampai 60 tahun sekali.” “Hah, kok bisa?” seru Bhanu. “Oh, iya bedanya apa sih?” Dharma menegakkan badannya sambil menyomot satu persatu buah di depannya, “Kalo zodiak barat itu siklusnya kan setahun tuh, pas 12 bulan. Nah, kalo Chinese zodiak bisa lama banget soalnya masing-masing hewan membawa 5 elemen. Kayak, air, api, kayu, metal, dan bumi.” “Lho, udara nggak ada?” Dharma menggeleng, “Jadi kedua belas hewan itu punya masing-masing elemen. Makanya lo pasti pernah denger kan pas tahun baru china ada tikus api, naga api, ayam api, kerbau metal, anjing kayu. Banyak pokoknya. Dan, karakternya juga beda-beda. Misal nih, lo lahir di tahun ayam kayu bakalan beda sama ayam api. Secara elemen aja beda. Bahkan, ketika tahun ayam api, ada ayam berelemen lain yang bisa kena ciong.” “Ohhhh, gitu. Berarti zodiak barat sama china tuh beda yah konsepnya?” tanya Bhanu. “Beda culture juga.” Jawab Dharma. “Terserah lo mau pake dan percaya yang mana.” “Semua aja, biar selamat!” cewek itu tertawa tengil. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD