Kekhawatiran

1267 Words
Hari ini adalah jadwalnya jam pelajaran Agama. Untuk pertama kalinya semenjak tahun ajaran baru di mulai, sang guru baru bisa mengajar pada minggu ke 3 karena beliau sedang sakit, menurut laporan beberapa guru. Bhanu sudah paham biasanya kalau pelajaran Pendidikan Agama Islam, Dharma pasti akan keluar. Cowok itu akan menghabiskan waktunya di perpustakaan atau di kantin bersama Cecil. Tetapi, berhubung sekarang sudah berbeda mungkin dia akan menghabiskan waktunya sendirian di sana. “Nu, cabut dulu.” Katanya saat pergantian jam pelajaran matematika ke pelajaran pendidikan agama. Semua siswa nampak berhamburan karena sangat menjemukan sekali setelah melalui pelajaran matematika itu. Rumus-rumus baru, cara pengerjaan baru, pr baru juga tentunya, tak akan pernah ketinggalan. Semua anak nampak meregang dengan berlarian ke sana kemari sebelum akhirnya duduk kembali ketika Guru Agama Islam, Pak Idris, datang memasuki Kelas Bhanu. Bhanu yang tadinya ingin duduk dengan Yura, namun ia urungkan. Karena teringat bahwa teman sebangku Yura, Devi, juga beragama islam. Akhirnya dia tetap di tempatnya melalui jam pelajaran ini. Awalnya, dia sudah cukup fokus mendengarkan pelajaran oleh Pak Idris. Menurut Bhanu, Pak Idris itu cukup menyenangkan. Beliau mengajarkan pelajaran dengan diselipi lelucon-lelucon yang cenderung tidak merendahkan sisi lain. Sangat menenangkan, dan Bhanu bisa mengambil banyak pelajaran dari cerita-cerita beliau. Sampai akhirnya, dia melirik tempat Yura yang kosong. Bhanu kaget, dan mencari Yura ke sekeliling kelas. Nihil. Cewek itu tidak ada di manapun. Apa Yura membolos?, batinnya. Seusainya pelajaran Agama, Bhanu segera keluar dan berkeliling sekolah untuk mencari Yura. Dia tidak menemukan Yura di tempat favorit mereka, kursi di bawah pohon mangga, di perpustakaan, di parkiran motor, bahkan di kantin. Sampai dia berpapasan dengan Dharma di depan koperasi. “Woi, cari siapa lu?” tanyanya. “Yura.” Dharma tersenyum tengil, mencolek-colek lengan Bhanu. “Katanya nggak suka.” “Emang enggak kok. Tadi dia nggak ada di kelas pas pelajaran Agama. Dia islam, kan?” “Kalopun islam tapi dia sakit, mending bolos tidur di UKS lah. Noh, anaknya nongol.” Tunjuk Dharma pada Yura yang berjalan keluar dari UKS. Bhanu langsung berlari menghampiri Yura dan meninggalkan Dharma sebelum cowok itu selesai mengumpati Bhanu. “Ra, lo sakit?” Yura tersentak, “Owh, agak pusing tadi pas waktunya matematika. Soalnya semalem gue begadang.” “Lo ngapain begadang? Ke koperasi yuk, beli s**u biar agak enakan.” Yura mengangguk, “Ini mau beli roti juga.” Jedanya, “Semalem begadang karena nggak bisa tidur aja sih. Biasa, overthinking.” Bibir Bhanu membulat, “Oh, jangan sering-sering overthinking, Neng. Nggak baik buat kesehatan. Mikirin apa sih?” “Ada deh, kepo amat jadi orang.” Ledek Yura. Bhanu tertawa kecil, “Sok, dibagi kalo berat banget, kita kan temen.” “Gampang deh, mau makan dulu. Laper nih.” Yura masuk ke koperasi dan mengambil beberapa roti untuknya, sedangkan Bhanu malah mengekorinya kemana-mana. Yura sampai bingung sendiri saat Bhanu menempelinya. “Nu, lo kenapa sih?” “Takut pingsan. Kayak Cecil tuh, pernah pusing gara-gara begadang, eh paginya hampir pingsan. Gue juga repot ngebopong.” “Yeu, nggak separah itu juga kali. Jauhan dikit ah.” Peringat Yura diakhiri dengan tawa kecilnya. Di bilang risih itu ya risih, tetapi kelakuan Bhanu itu makin hari makin lucu. Perhatian, tapi ada banyak alasan yang mengiringi sisi lembut dan perhatiannya itu. Kalau kata Yura, tipikal teman yang perhatian dan sangat baik kepada sesama, Namun, Yura juga menaruh peringatan pada dirinya sendiri bahwa Bhanu itu memiliki zodiak cancer, dan dia juga Leo. Susah menolak pesona Leo dan kelembutan Cancer. Kalau salah mengartikan, bisa-bisa patah hati. Yura pun memahami bahwa Bhanu bermaksud berteman dengannya, dan dia juga ingin berteman dengan Bhanu. Tidak ada perasaan lebih ketika dia sadar dan mengetahui birth chart Bhanu kemarin. “Ra, lo mau ke kantin apa ke kelas?” “Balik kelas aja deh.” “Oh, kalo gitu gue ke kantin dulu, ya? Mau nyari Dharma tadi. Kayaknya kabur tuh anak.” “Bukannya lo yang kabur dari dia?” Bhanu terkekeh malu, “Iya sih, ini mau nyari. Bye.” Cowok itu berbalik dan pergi ke kantin. Sesampainya di kantin dia bertemu dengan Ajeng dan Mirah. “Eh, Bhanu. Sini duduk sama kita!” ajaknya. “Liat Dharma enggak?” “Waduh, enggak tuh. Tapi Cecil barusan lewat sini.” “Oh, ya udah mau cari mereka dulu.” Mirah mencegah, “Eh, makan dulu atuh, kasep.” “Aduh, nanti deh. Genting ini. Punten, teteh sadayana. Mangga!” Kedua cewek itu tertawa senang ketika menggoda Bhanu dengan berbicara logat sunda itu. Sengaja memang kalo bertemu mereka, pasti saling menggoda dengan berbicara dengan aksen sunda itu. Ajeng dan Mirah pernah bercerita kalau ingin ke Bandung, tetapi tidak pernah ke sampaian. Ketika punya teman yang pindah dari Bandung, mereka suka berinteraksi dengan Bhanu. Bhanu anaknya lucu dan seru, enak diajak mengobrol juga. Dan, Bhanu merasakan hal itu. Pertemanannya di SMP dan SMA terasa begitu berbeda. Di SMA dia bisa menjadi dirinya sendiri dan menarik banyak orang, tidak seperti di SMP. Meskipun dulu sewaktu kelas satu dia pernah meminta kepada guru untuk mengadakan ujian lisan hanya untuknya dan mengundang decak marah dan risih, semua orang tetap ingin berteman dengan Bhanu. Sebab anak itu memiliki pesona tersendiri. Sesampainya di kelas, dia menemukan Cecil tengah duduk di depan kelasnya. Menunggu seseorang datang menghampirinya. “Dharma mana?” “Nggak tahu, gue cari nggak ada. Katanya pergi sama adik kelas gitu.” Nadanya agak murung. “Oh, ekskul kali.” “Bukan, bukan anak ekskulnya.” Bhanu terkaget, Cecil nampak gelisah sampai gadis berambut panjang dengan mata seperti kacang almond itu memilih ujung baju seragamnya nampak gelisah. “Lo, kenapa, Cil? Dia jalan sama adik kelas doang, bukan tuyul.” Cecil mendengus dan gemas sampai memukul Bhanu, kesal. “Ih, kan dia janji mau nemenin makan di kantin kelas 10. Malah dianya kecantol adik kelas.” “Tadi gue ketemu dia di koperasi. Masih sendirian kok.” “Ya, masih sendirian. Nggak tahunya pas lo tinggal dia sama cewek lain.” Bhanu tertawa, “Cemburu lo? Jangan berantem lah, yuk sama gue aja. Gue temenin makan bakso di sana. Bakso asin favorit lo.” Cecil melangkah dengan lemasnya, wajahnya ditekuk, mulutnya maju hingga 2 centi panjangnya, sudah hampir seperti bebek hingga Bhanu gemas menyubit bibir itu. “Heh, asin tau tangan lo!” “Manyun aja, ngomong kek. Ada apa sih?” “Nggak ada apa-apa kok. Heran aja, Dharma sama cewek lain.” Bhanu berdecak dan menggeleng, “Ya udah emang kenapa sih? Sewot amat lu, heran gue.” “Lo salah paham, gue bukannya suka sama Dharma.” Sangkalnya keras, “Gue menyayangkan dia pergi sama orang setelah janji lebih dulu sama gue.” “Ohhh gitu.” Bhanu paham perasaan yang Cecil rasa saat ini, kesal dan kecewa. “Kan, ada gue. Nggak apa-apa kalo nggak ada Dharma lo bisa aja gue, Cecil. Kita juga sering kemana-mana tanpa Dharma kok. Ini cuma Dharma yang pergi sama cewek lain, mungkin sebentar atau bisa aja dipanggil sebentar sama guru-guru.” “Ya tapi…” “Please, Cecil. Temen lo nggak akan pergi jauh. Nanti kita tanyain. Gue pesenin bakso dulu.” Kata Bhanu ketika mereka memasuki area kantin. Bhanu masih tidak paham, kekhawatiran gadis itu. Mengapa ia begitu khawatir? Dulu, dia pernah khawatir ketika Cecil bergabung dengan teman-temannya di Cheerleader. Tetapi kekhawatiran itu sebatas takut cecil lebih nyaman berinteraksi dengan cewek-cewek yang notabene lebih bisa memahami perasaan dan segala kegundahan hatinya. Cewek itu sangat terkoneksi bagus dengan cewek lainnya. Tetapi, nyatanya Cecil lebih khawatir apabila Dharma bermain dengan cewek lain. Apakah Cecil juga khawatir bila Bhanu bermain dengan Yura?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD