Pengakuan

3232 Words
Setengah hari Bhanu ditemani oleh luapan emosi tersisa bercokol di benak sebab masih tak terima dengan apa yang Ali katakan tadi di kantin. Apalagi, ketika jam kosong pertama berlanjut dengan jam kosong lainnya secara berturut-turut karena guru-guru mengadakan rapat di Aula. Bhanu sempat beradu pandang dengan Ali ketika dia pergi menemui Sanca, ketua ekskul fotografi di kelas XI IA3. Raut mukanya begitu menyebalkan, saling melempar sorot dendam yang belum dibalas dengan tuntas. Padahal yang harusnya merasa bersalah itu dia, bukan Bhanu. Ia merasa pantas melempar bongkahan batu es tadi. Bhanu sebenarnya juga tak mau berurusan dengan cowok itu. Sungguh tidak penting. Tetapi, dia masih sangat-sangat sakit hati dan reflek ingin mencari keributan saat itu juga. Hari ini suasana hatinya kian buruk berkat insiden kantin tadi. Untungnya, Sanca cowok yang ramah, santai, bahkan humoris. Ia menerima Bhanu dengan senang hati tanpa ada tuntutan apapun jika siswa yang mendaftar tidak memiliki perlengkapan bagus, semuanya saling membantu. Untungnya, Bhanu tidak perlu kesulitan soal peralatan karena Bhina punya 2 kamera yang akhir-akhir ini tidak terlalu sering digunakan. Setelahnya berbincang-bincang ringan nan singkat dengan Sanca, tiga serangkai itu cepat-cepat kembali ke kelas karena rapat guru di Aula sudah bubar. Terlihat beberapa guru juga sudah menenteng tas dan buku-buku untuk memasuki kelas masing-masing. Berlari ketiganya sampai guru Bahasa yang ada di depan pintu kelas mereka berhenti dan menoleh ke belakang, wanita berkacamata tebal dengan tubuh berisi itu nampak kaget menemukan ketiganya berdiri tegap dengan napas terengah-engah. “Habis dari mana kalian?” tanya Bu Sri, Guru Bahasa Indonesia. Dharma yang paling sigap, “Kami habis dari kelas atas, Bu. Daftar ekskul.” Kemudian Bu Sri mengangguk dan melangkah masuk memasuki kelas dan duduk di tempat mereka masing-masing. “Selamat siang, anak-anak. Enak ya jam kosong?” sapa Bu Sri dengan wajah yang datar tak menunjukkan kesan ramah sedikitpun. Kacamata beliau bertengger di ujung hidung hingga kepalanya terkesan mendongak dengan congkaknya tanpa senyum terulas. Hening sebab semua anak-anak baru lebih memilih diam terkaku dihujani tatapan dingin sang guru. “Hari ini kita langsung masuk materi, ya? Buku sudah ada?” “Sudah, Bu.” Kompak bersuara. “Harusnya minggu lalu saya ngisi kelas ya, tapi berhubung ada lomba penulisan karya ilmiah kakak-kakak kelas XI dan saya harus kasih bimbingan dan pendampingan, jadi kalian harus ngebut sampai 2 bab sekaligus minggu ini.” Kata beliau mengundang decak kegelisahan para siswa. Mengeluh hingga menggaruk-garuk kepala. Seminggu ini mungkin akan jadi pecan sibuk karena mereka sudah banyak menerima tugas-tugas dari guru. Bhanu? Dia ragu pada dirinya sendiri bisa melalui pecan ini tanpa harus mengalami migraine karena kelamaan berkutat dengan buku. Namanya juga sekolah, Nu, serunya menyemangati diri sendiri. “Hari ini saya akan membahas tentang Laporan Observasi, ada yang sudah membaca materinya?” Kini salah satu anak menjadi relawan sebagai penjawab tanpa membaca buku sedikitpun, Karina orangnya. Bhanu mengangguk kecil mendengar jawaban cewek itu, jelas akan langsung paham ketimbang merasa kesusahan membaca buku yang terbuka tidak pada halaman yang tepat. “Ya benar sekali jawaban dari Karina. Sekarang, intruksinya adalah saya ingin kalian menonton cuplikan video yang akan saya putar, kemudian kalian amati dan perhatikan secara seksama informasinya. Apakah cuplikan berikut termasuk laporan observasi atau bukan? Lalu tulis pendapat kalian di sebuah kertas ditambah dengan menjawab pertanyaan yang saya tulis di papan. Ini tugas individu ya, paham semuanya?” Semua siswa menyahuti pertanyaan Bu Sri. Detik berikutnya beliau dibantu dengan beberapa siswa laki-laki yang duduk di depan sana untuk menyalakan proyektor kemudian video yang ada di dalam laptop Bu Sri diputar dan terproyeksikan ke dalam layar yang lebih besar, tentunya. Cecil dan Dharma sudah siap dengan pulpen dan kertas buram mencatat poin-poin dan istilah khusus sedangkan Bhanu dia hanya diam. Bersedekap dan mendengarkan baik-baik video mengenai Wayang tersebut. Hingga selama 5 menit lamanya, dia masih belum merubah posisi mata dan kepalanya karena menikmati tontonan itu. Tangannya bersedekap tak menghiraukan colekan tangan Dharma yang menanyainya mengapa tidak menulis ketika hampir satu kelas menulis dan mencatat informasi? Bhanu menggeleng. Berakhir sudah 5 menit penuh dengan informasi itu, kini Bu Sri kembali melempar pertanyaan, “Jadi anak-anak, saya beri kalian waktu 30 menit ya untuk menuliskan dan menjawab 5 pertanyaan mudah di papan tulis itu. Kemudian jawaban pertanyaan itu kalian kembangkan menjadi ringkasan secara runtut. Kalau ada yang sudah selesai, silahkan kumpulkan ke saya lalu kita bahas bersama-sama, mengerti?” Bhanu culas mendengarnya. Membuat paragraf panjang? Sepertinya hari ini dia akan tidur siang dengan waktu yang cukup lama karena firasatnya dia akan benar-benar sangat kelelahan. Apalagi, videonya cukup lama dan Bhanu terlalu menikmati menontonnya sampai dia bingung harus memulai dari mana. “Iya, Bu.” Sahut semuanya. “Ya sudah, kerjakan.” Titah beliau kemudian berkutat dengan layar laptopnya. Entah sedang mengurus apa, Bhanu masih menatap sosok itu ketika yang lain sudah ribut berlomba mulai menulis opini mereka. Dharma menyenggol Bhanu yang melamun, “Kerjain, Nu. Nggak kelar loh nanti.” “Bingung harus mulai dari mana yah?” “Jawab pertanyaannya dulu aja, belom lo catat, kan? Kalo mau catatan gue tadi, nih liat aja kertasnya. Diem aja lo dari tadi nggak nyatat.” Tukas teman sebangkunya itu. Bhanu menggaruk-garuk kepalanya lalu mengambil secarik kertas. Kepalanya penuh dengan informasi dan ingin rasanya menuangkan ke dalam tulisan, hanya saja dia terlalu malas lebih dulu. Hingga akhirnya dia memulai menjawab pertanyaan-pertanyaannya lebih dahulu dengan jawaban pendek namun pikirannya yang terlalu cepat sehingga dengan kalimat pendek itu dia hanya termenung diam dengan pikiran yang menjalar mendeskripsikan banyak hal namun tak ada satupun kalimat yang tertuang. Dia mendesah kesal ketika pikirannya selesai dengan menjawab dan menjabarkan satu demi satu pertanyaan dan kertasnya masih kosong. Dia meregangkan tangannya cukup lama sebab pegal juga jika melamun cukup lama dengan posisi yang sama. “Ya, Bhanu? Sudah selesai?” tegur Bu Sri, Bhanu gelagapan. Mau menjawab belum, beliau lebih dulu berseru, “Ayo, presentasikan tulisan kamu ke teman-teman.” Sontak semuanya gelisah, mempresentasikan tugas bukanlah perjanjian di awal, bukan? Bhanu mengumpat dalam hati, kertasnya baru terisi setengah, namun pikirannya sudah selesai menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Akhirnya, dia berdiri, tetap di bangkunya. Itu mengundang tatapan tercengang Dharma dan Cecil ketika menengok kertas jawaban Bhanu. “Yang bagian mana yang harus saya jawab, Bu?” katanya membuat Dharma dan Cecil geleng-geleng, ada apa dengan dia hari ini? Batin mereka. “Yang B saja, kalo yang A dan poin-poinnya terlalu panjang. Saya ingin tau tanggapan kamu terhadap video tadi.” Pertanyaan B : Mengapa teks tersebut dikatakan sebagai Teks Laporan Observasi? “Jadi, menurut saya video tadi bisa disebut dengan teks laporan observasi. Karena, isi dari video itu menjelaskan tentang wayang secara ke seluruhan sesuai dengan pengamatan dan penglihatan dari orang yang membuat video—“ “Penyaji.” Bu Sri menimpali. “Oh, iya penyaji,” Bhanu membenarkan kalimatnya itu. “Penyaji juga memberi informasi sesuai dengan fakta-fakta dan tidak menaruh pendapat yang melebih-lebihkan atau opini pribadi tentang wayang. Sehingga, video yang kita lihat tadi fokus ke wayangnya itu, menyajikan tentang fakta-fakta detil dan sangat objektif. Begitu, Bu.” Bu Sri mengangguk lalu mempersilahkan Bhanu duduk, “Cukup bagus penjelasannya, jadi seperti pengamatan ya anak-anak. Misal, kalian mengamati tentang suasana kelas ini atau suasana sekolahan atau mungkin yang mengikuti ekskul jurnalistik dan harus melakukan liputan ke beberapa kegiatan lalu menuliskan ke dalam artikel bisa disebut teks laporan observasi.” Semua siswa mengangguk. “Ayo, Bhanu punya kamu saya mau baca ringkasan pertanyaan yang A.” ADUH, pekik dalam hati. Cecil dan Dharma sudah saling melempar lirikan ketika Bhanu terdiam kaku. Pertanyaan A baru dijawab di point pertama dan itu hanya sekedar gagasannya saja. Melamun terlalu lama, pikirannya sibuk merangkai kata dan merangkum informasi-informasi tadi. “Ayo, Bhanu. Ibu mau lihat.” Kata beliau. “Belum selesai, Bu.” Katanya polos. “Nggak apa-apa, saya mau lihat sedikit saja. Kamu sudah bisa jawab pertanyaan B berarti sudah selesai yang A, bukan?” Matanya bergerak kebingungan dan gelisah, sorotnya meminta bantuan pada Dharma dan Cecil tetapi mereka hanya melempar catatan kasar keduanya. “E… belum saya salin ke kertas jawaban, Bu.” Cecil mengacungkan jempolnya. Untungnya, dia banyak ide untuk menghindar. “Lho, sudah hampir 20 menit loh, yang lain juga belum?” Kompak semua menjawab belum, jangan memangkas waktu, lebih baik dimaksimalkan saja siapa tahu ada kesalahan. “Ya sudah, Ibu tunggu 10 menit lagi.” Kini Bhanu mulai panik, “Nu, salin punya gue atau Cecil apa?” tawar Dharma. “Enggak, tapi gue minta tolong sama kalian ya nanti.” Cecil yang duduk di depan mereka, berbalik ketika tangan Bhanu mencolek punggungnya, “Apaan?” “Benerin kosa kata dan kalimat gue. Gue inget semua kok materi tadi.” Keduanya mengernyit heran. Kenapa untuk urusan seperti ini saja Bhanu harus butuh mereka sebagai pengkoreksi tulisannya? Hei, ini sudah seperti Dharma dan Cecil diangkat sebagai proof reader Bhanu. Tapi, kenapa? Pertanyaan yang hinggap di benak keduanya. Kemudian Bhanu mengerjakan tugasnya. Perlahan karena tidak ingin membuat Dharma atau Cecil sakit mata dengan tulisannya yang jelek. Namun seketika frustasi ketika pikirannya berlarian menuntutnya untuk segera mengutarakan kata demi kata yang berjubal di kepalanya. Ia mengerang, kesal pada dirinya sendiri. Akhirnya, dia menulis asal-asalan saja dengan cepat. Tidak peduli dengan kosa kata bahkan sususan kalimatnya yang kurang tepat atau tidak baku. Karena itu akan dikoreksi lebih dulu oleh Dharma. Dharma yang selesai lebih dulu, hanya mengintip saja. Teman sebangkunya itu menulis dengan ekspresi seperti orang sedang buang air besar. Begitu tegang, serius, dan matanya begitu nyalang yang siap merobek dan membakar kertas di depannya. Ia tersenyum samar sebab Bhanu itu sudah sangat dikejar-kejar waktu. Sebelum tepat 10 menit, Bhanu melempar ke samping kertasnya lalu mengambil napas dalam-dalam kemudian mengembuskannya dengan kasar hingga terdengar ke deret bangku samping. Sontak mereka kaget karena Bhanu mengeluh begitu kencang, yang kena malu jelas Dharma. Cowok itu memukul lengan Bhanu yang cenderung seperti lepas akan dirinya sendiri hari ini. “Apaan?” serunya melotot. Bhanu mengendik bahu, “Kalimat lo kenapa kayak bahasa sehari-hari? Kalo ini artikel berita atau majalah masih oke. Terus juga, ada kata-kata nggak baku, Nu. Ada typo yang harusnya pakai ng malah lo pakai m. Dicanangkan bukan dicanamkan.” Jelas Dharma tanpa embel-embel mencibir, Cecil kemudian berbalik. Melihat Bhanu bolak balik lalu mengerucutkan bibirnya, seperti menemukan teka-teki baru. “Oke, gue ganti dulu.” Bermodalkan tipe-x, dia menambal tinta dengan cairan putih itu. Menghapus kesalahan, menyusun kalimatnya supaya lebih rapi dan runtut. Seketika untuk pertama kalinya dia bersyukur ketika memilih sedikit keterbukaan kepada teman-temannya itu. Mereka baik, mereka mau membantu, dan mungkin seterusnya semoga saja masih mau membantu, begitu harapnya dalam hati. “Ayo, kumpulkan. Waktu sudah habis ya.” Kata Bu Sri. Semuanya beranjak kecuali Bhanu. Dharma melirik Cecil dan memberi kode pada cewek itu. Cecil mengangguk dan bergegas pergi menuju meja guru meninggalkan Bhanu dengan sederet kesalahan-kesalahan redaksinya itu. Tentu saja, Cecil menghadap Bu Sri tidak hanya mengumpulkan kertasnya dan kertas Dharma, tetapi mengulur waktu untuk Bhanu. Gadis itu berbincang dengan guru dengan agak lama sambil membawa buku paketnya. Dharma juga tak tahu apa yang mereka berdua bahas di depan kelas, yang jelas rencana Dharma berhasil. Waktu terulur agak panjang ketika Bhanu sudah hampir menyelesaikan revisiannya. “Aduh, hilang nggak gurunya?” katanya tidak menoleh kemana-mana, menulis tanpa tahu keadaan samping kanan kirinya. “Nulis aja, ada Cecil yang handel.” Sahut Dharma membuat Bhanu tertunduk semakin dalam dan menekuni kertasnya itu. “Thanks!” timpalnya lirih, lalu beranjak setengah berlari maju ke meja guru. Cecil masih nampak berbincang serius dengan Bu Sri, Bhanu dengan alaminya ikut bergabung seolah-olah tertarik dengan bahasan mereka. “Oh, tapi saya masih agak nggak paham ya, Bu. Karena kan, kalau di artikel seperti buku-buku fiksi atau non-fiksi begitu terkadang tidak harus pakai kata-kata baku juga bisa, kan?” “Iya, bisa. Itu hanya selingan saja biar nggak bosan untuk membacanya. Tetapi, alangkah baiknya tetap pakai bahasa yang mudah dipahami dan umum biar orang-orang bisa paham, Nak Cecil.” Kata beliau membuat Cecil dan Bhanu mengangguk-angguk. “Lho, Bhanu? Ngapain kamu di sini?” tanya Bu Sri seketika kaget melihat kehadiran cowok itu di belakang Cecil. “Oh ini, Bu. Ada kertas jawaban yang jatuh. Hehe” Dia cengengesan. “Saya bantu rapikan ya?” katanya lalu menyelipkan kertas jawabannya ke dalam tumpukan kertas itu dan menyusun kertas supaya terlihat rapi. Hanya sebuah alibi biar tidak kena semprot. “Kalau tidak ada yang ditanyakan lagi, saya mau lanjut jelaskan ke materi berikutnya. Kalian kembali duduk atau kalau ada pertanyaan lagi nanti, angkat tangan atau mungkin bisa ngobrol sama saya di ruang guru, ya?” katanya sangat ramah kepada kedua anak didiknya itu. Keduanya saling melirik, sama-sama mengacungkan jempol. Berhasil. Hari ini, Dharma dan Cecil tidak hanya resmi sebagai proof reader Bhanu, tetapi juga malaikat penolong. Keduanya tersenyum jahil di sepanjang langkah menuju tempat duduk. Sudut bibir Dharma ikut terangkat ketika rencananya tadi sukses menolong Bhanu. ------------------------------------------------------------------------------------------------------ Bel pulang sekolah sudah berbunyi. Untunglah materi kedua tidak ada tugas tulis menulis lagi, melainkan hanya sebuah penjelasan dan tanya jawab yang membuat Bhanu yang lebih suka mendengarkan itu sedikit lebih santai dan tenang. Alangkah indahnya jika dia bisa belajar dengan mendengarkan dan melakukan ujian dengan lisannya. Tapi, sayang itu tidak akan pernah terjadi, mungkin belum jika dia tidak mencobanya. Ide yang sungguh berani dan sangat dihindari oleh semua siswa tentunya. Ujian lisan? Siapa yang mau kecuali Bhanu. Dan sebelum pulang, Bu Sri memberikan tugas kelompok yang terdiri dari 2-3 orang untuk membuat teks laporan observasi dengan tema bebas. Penentuan kelompok juga bebas, ketiganya hanya dengan sekali lirikan saja sudah paham. Lirikan dengan hentakan alis yang mengatakan sekelompok, yuk! Setelah Bu Sri keluar dan siswa-siswi berhamburan, Bhanu mengajak Dharma dan Cecil untuk pergi duduk sebentar di bawah pohon mangga. Katanya mau santai dulu, mendinginkan kepala, sembari menikmati angin sepoi-sepoi di bawah rindangnya pohon berbuah masam sekaligus manis itu. “Eh, kita mau observasi apaan?” celetuk Bhanu. “Sambil jalan yuk, kemana gitu kek. Main lah kita!” seru Cecil, tipikal anak yang sangat suka main. “Sekalian ngajakin Bhanu jalan-jalan, Ma!” sahutnya membuka snack camilan yang dia beli saat istirahat tadi. “Tapi tetep ngerjain ya? Awas lo ngelayap tapi nggak ada bahan apa-apa.” Ancam Dharma bak ibu-ibu galak. “Kemana? Gue kalo mau jalan malah kepengen ke Glodok. Penasaran banget soalnya.” Cecil terjingkat, “Gue juga mau ngajak lo ke sana, Nu. Haha!” tawanya lepas, “Lo harus jalan puterin Glodok terus kita sambil makan-makan. Gue kangen San Tung Kuo Tieh. Lo terakhir ngajakin gue ke sana sehabis kita UN matematika waktu itu.” “Ngawur, itu ada babinya. Bhanu nggak boleh!” peringat Dharma sontak mengundang kikikan Bhanu. Bisa-bisanya Cecil yang saking senangnya itu lupa kalau Bhanu tidak boleh makan babi. “Tapi tenang, kita bisa makan di Gang Gloria aja, biar Bhanu bisa makan. Atau di petak enam.” “Oh, iya bener!” timpal Cecil, “Tapi gue lebih kepingin cakwe dan mie Kari Lam!” “Gue ngikut aja deh, karena gue ada ide buat bikin Glodok jadi tugas observasi kita nanti. Jadi dibikin kayak ala-ala lagi liputan di tempat wisata gitu sekalian kita bisa main sama makan, kan?” katanya. “Kalian jadi guide, gue yang dokumentasi.” “Hah? Ngapain pakai dokumentasi? Kan, Cuma teks laporan observasi doang?” Dharma mengingat-ingat kembali tugas tadi. “Seru aja, Dharma kalo kita bisa mendokumentasikannya terus bikin film jadi kita kayak liputan beneran gitu, loh! Jadi nggak ngetik terus dikumpulin pakai kertas doang. Biar video yang jelasin hasil kerjaan kita. Kalo ada effort lebih, ada nilai tambah dong?” ia tawarkan ide cemerlang untuk mendongkrak nilai mereka, atau lebih tepatnya mendongkrak nilainya sendiri supaya tidak tertinggal jauh ketika nilai-nilai ujiannya jatuh hancur lebur di mata pelajaran ini. Cecil dan Dharma diam sejenak dan saling menatap, “Well, nggak ada salahnya juga sih bikin video.” Gadis itu setuju, “Lo bisa edit video?” “Kecil itu mah, udah belajar dari kakak gue. Kalo gue nggak bisa, ngapain nawarin ke kalian? Bikin susah kalian dong?” dia tersenyum bangga. “Lagian gue juga udah lama banget nggak hunting foto sama bikin video iseng-iseng gitu gara-gara fokus belajar UN kemarin.” Dharma kemudian teringat sesuatu, “Oh iya, lo kalo diajak ngomong keliatannya pinter dan banyak tahu, tapi kenapa lo nggak bisa nulis apapun tadi?” Bhanu diam. “Bhanu, jangan bilang kalo lo—“ Cecil yang sudah mengumpulkan tanda-tanda sedari tadi, mulai berani untuk menebak. “—diskelsia?” Bhanu masih terdiam, beku. Untuk pertama kalinya, kekurangannya itu diketahui oleh orang lain dan bukan keluarga. Hitungannya orang asing yang baru saja berkenalan dan dekat dengannya namun ada perasaan saling percaya ketika Bhanu ingin benar-benar membuka diri. Ada perasaan bahwa dirinya bisa sepenuhnya percaya pada mereka karena Cecil dan Dharma itu teman untuknya, iya teman. “Iya.” “Oh.” Kata Cecil dan Dharma santai malah Bhanu yang terkejut. Reaksi terlampau biasa bahkan keduanya saat ini menunduk dan memakan camilan di depannya dengan menatap wajah Bhanu datar, sangat-sangat datar. Seperti tidak terkejut sama sekali. “Saudara lo ada yang begitu juga yak an, Cil?” Dharma bersuara lebih dulu. Cecil mengangguk dalam. “Makanya gue ngeh tadi. Yang sewaktu lo cerita nggak mau balik ke Rohis karena dengan baca aja lo pusing banget. Terus lo tadi disuruh nulis, gue lihat banyak yang dicoret-coret sama Dharma. Padahal yang lo utarakan ke Bu Sri tadi gue yakin jauh lebih bagus dan benar dari tulisan lo. Well, tadi gue ngira lo emang disleksia, Nu.” Jelasnya panjang lebar. “Saudara lo gimana?” “Ya enggak gimana-gimana, dia homeschooling karena pergi ke sekolah kayak begini itu bikin dia stress, sampai nggak mau sekolah, mengurung diri, hilang percaya diri, insecure juga waktu itu cerita sama gue. Kok lo bisa, Nu?” Gue juga sih, batinnya. “Dibilang stress ya stress. Tapi, gue nggak mau dibilang beda aja sih. Gue mau belajar sama banyak orang biar bisa main.” Dharma dan Cecil bungkam. Lagi-lagi hening menyerang ke tiganya. Yang ada hanya suara keripik singkong dan kerupuk yang mereka kunyah. “Dislexia wont kill you, right?” celetuk Dharma. “Enggak akan, makanya gue mau sekolah daripada sendirian belajar. Belajar sendiri malah bikin gue stress soalnya banyak banget hal yang ganggu, enakan sama temen.” “Ya udah, kita besok belajar bareng aja.” Dharma dengan tenangnya mengatakan itu. “Gue bisa bacain materi buat lo, kalo lo lebih suka belajar pakai suara.” “Benar, gue juga bisa main terus. Haha!” si cewek petualang yang hobi main dan bersosialisasi itu tertawa girang. “Nggak apa-apa, Nu, lo bisa terbuka kok sama kita. Kita nggak bakalan ngejudge kok, karena sedari awal gue ngerasa kasus lo itu beda.” Katanya menyentuh hati Bhanu. “Makasih, udah mau berbagi.” Senyumnya merekah menghargai keberanian Bhanu. Bhanu tersanjung karena sekian lama akhirnya ada orang lain yang bisa memahami dan mengerti keadaannya. Apalagi, ini teman sebaya yang tidak menilainya bahkan dipertemuan awal sekalipun. “Haha, nambah ini anggota geng kita, Cil.” “Geng kata lu? Berdua lo kata geng? Itu mah duo.” Sahut Bhanu ikut-ikut senang. “Ih, kita mah sekarang trio aja deh! Kalo geng kesannya kayak kakak kelas yang suka labrak-labrak kayak itu tuh!” julidan pertama Cecil yang membuat Dharma dan Bhanu tertawa terbahak-bahak karena tepat pada saat itu Cecil menunjuk segerombolan cewek-cewek cantik semampai sedang bertengkar di tengah lapangan dan kemudian dilerai. Sepertinya memang sedang ada perebutan seorang cowok di bawah sana. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD