Frekuensi

3274 Words
Saat-saat ketika jam kosong mengisi pagi menjelang siang untuk anak-anak kelas 10, Bhanu melamun sambil menatap ke luar jendela. Nampak semuanya berlalu lalang sedangkan dirinya menetap di dalam kelas, di belakang mejanya dengan 20 origami berbentuk burung hingga katak. Tangannya bergerak otomatis sedangkan pikirannya melayang pada sebuah imajinasi lucu yang membuatnya diam-diam tersenyum geli sendiri. Ia membayangkan jika anak-anak yang bermain bola basket di situ adalah anak-anak singa, yang berlalu lalang bergerombol adalah sekumpulan bison, yang menjulang tinggi itu jerapah, yang bergosip di tepian lapangan dan sepanjang koridor itu adalah burung-burung berkicau yang memberi pujian berlebihan kepada si anak-anak singa. Semua dipikirannya sudah seperti simulasi savana di Afrika Selatan yang berlatar sekolahnya. Sedangkan, dirinya adalah pohon baobab tinggi dan besar yang lebih suka berdiam diri melihat semua gerakan di sekitarnya. Ia tersenyum, ketika mendapati siswa jerapah menegur beberapa siswa burung karena terlalu banyak mengoceh. Setidaknya itu sedikit menghiburnya dari kesendirian ketika Cecil dan Dharma sedang mendatangi ekskul yang mereka ikuti. Bhanu? Tidak, dia tak mau lagi kembali ke perkumpulan rohis. Rasanya, terlalu banyak tuntutan. Untuk sebagian anak-anak, mengikuti ekstrakulikuler tujuannya adalah mendobrak potensi, tapi dalam kasus Bhanu rasanya bukan mendobrak potensi—lebih tepatnya mendobrak pintu kegeraman yang tertahan dalam benaknya. “Nu, ngelamun aja?” Cecil datang dengan kantung kresek penuh gorengan. Menyodorkannya pada Bhanu yang terlihat lesu tak bersemangat. Sekaligus balas budi, karena tadi pagi gadis itu dan Dharma menghabiskan sarapan Bhanu. “Laper nggak? Makan yuk!” “Lah, lo ngapain dong balik kalo barusan dari kantin?” Cecil terkekeh, “Nyari temen dong. Lo ngapain sendirian? Nggak kumpul ekskul?” “Gue lagi kabur.” “Kenapa?” tanyanya dengan mulut penuh gorengan tempe, bahkan Bhanu bisa melihat minyak di sudur bibir cewek itu. “Lo ikut ekskul apa sih?” berteman hampir seminggu ini mereka lupa bertukar informasi mengenai ekstrakulikuler yang diikuti. “Rohis.” Cecil menengadahkan tangannya dengan wajah menuntut penjelasan lebih. “Nggak betah.” “Hah? Baru mau sebulan kita sekolah, udah nggak betah. Lo diapain?” Cecil menatap sangsi. Bhanu garuk-garuk kepala, bingung harus darimana menjelaskan. Tidak ingin menjelekkan tetapi tidak ingin mengungkapkan juga masalahnya. “Ya nggak betah aja.” “Kenapa? Maksud gue itu, apakah lo kurang klik sama anak-anak di sana?” Cewek itu bertanya dengan santainya. Klik. Iya, nggak klik, batin Bhanu. “Ya gitu deh, gue juga bingung. Pas masuk ternyata nggak srek aja.” Cecil mendesah, “Haduuuh, Bhanu. Emang mereka nggak kasih testimoni dulu? Lagian ngaco banget sih lo asal masuk. Ikut-ikutan doang apa gimana nih?” Kata cewek itu. “Menurut gue, ekskul tuh paling enak buat main, bukan yang serius-serius banget, loh. Paham nggak maksud gue?” dia memastikan agar Bhanu tidak tersinggung dengan pendapatnya. Bhanu lagi-lagi berpikir, kenapa Cecil ada benarnya? Dia belajar di sekolah, dia belajar juga di rumah. Dan, untuk bermain sambil seru-seruan sama teman itu jarang dia lakukan. Apalagi, dia lebih suka menonton NatGeo, channel tv kesayangannya yang bisa memberikan informasi beserta visual menarik. Dia mau belajar dengan cara yang seru seperti itu. Tetapi sayang, Papa, Mama, dan Bhina juga punya urusan masing-masing. “Tapi, kalo lo emang religius banget anaknya, ya terusin aja, Nu.” “Enggak. Gue nggak mau.” Seru Bhanu hampir membuat Cecil terenyak. “Gue daftar ekskul tahun depan aja deh.” Cecil menyenggol bahu Bhanu, “Ada yang diperpanjang tahu, makanya keluar kelas dong! Gue liat-liat lo jarang banget mau keluar. Lo beneran buronan anak-anak Rohis?” “Gue nggak mau kepedean, tapi takutnya iyaaa!” ia memegangi kepalanya yang mendadak pening harus overthinking ketika bertemu dan dibombardir serentengan pertanyaan aneh-aneh yang membuat dia jadi super-super asin nantinya. “Alah, Nu. Santai ajalah, tinggal bilang nggak mau gabung aja lho, apa susahnya?” Susah, Cil, kalo aku dikucilin gimana?, batin Bhanu beringsutan dalam duduknya. “Jangan-jangan lo tipikal orang yang bilang iya-iya di luar tapi dalemnya lo nggak mau ya?” tanyanya enteng. Bhanu melotot melihat cewek itu mengunyah gorengan sambil menatapnya lurus, santai dan begitu urakan ketika mengelap bibir dengan punggung tangannya ketimbang tisu yang disodorkan Bhanu sebelumnya. “Kalo nggak nyaman tuh bilang aja kali. Temen mah bisa cari lagi.” Ia mengangguk kecil. “Iya, gue paham. Makanya nggak keluar dulu. Males ah kalo ditanyain. Gue benar-benar udah nggak tertarik—bahkan nggak tertarik sedari awal.” Kata-katanya meluncur mengundang tatapan penuh tanya Cecil, “Didaftarin orang, kasarannya gue kayak dikerjain tapi dia nggak sadar kalo ini jebakan buat gue!” Gadis itu terperangah, “Gue nggak ngerti. Pasti ada alasannya kan? Tapi, kalo lo belum mau bilang alasan lo sampai takut ketemu mereka dan mengurung diri dengan origami hewan-hewan lo begini tanpa sedikitpun makanan, gue bakal tunggu sampai lo cerita sendiri. Dan, info baik untuk anak baik adalah masih banyak ekskul yang diperpanjang pendaftarannya, kayak radio nanti lo bisa bareng sama Dharma atau Cheers bareng gue!” “Ngarang!” Bhanu mendengus mendengar pilihan terakhir lalu gadis itu tertawa. “Lagian lo itu kayak sama siapa aja sih, Nu. Hal-hal yang mengganggu tuh jangan disimpan sendiri.” Bhanu tertegun. “Jangan takut nggak punya temen lah, di sekolah ini ada ratusan siswa yang bisa jadi temen kok, kalo sefrekuensi. Kayak, gue sama Dharma. Bayangin saking punya pikiran yang sama, kita sering berbagi apapun.” Kata-kata Cecil seperti tawaran persahabatan bagi Bhanu, ia masih diam mendengarkan gadis itu. “Jujur sama diri lo sendiri, nanti orang-orang yang lo mau ada di deket lo bakal mendekat. Lo tau kan, pesona seseorang tuh nggak main-main, Nu.” Sambungnya lalu tersenyum. “Udahan, ceramah pagi menjelang siangnya. Gue laper, kepingin bakso!” “Gue tuh nggak bisa ngaji, tapi mereka malah maksa gue belajar terus-terusan.” Bhanu jujur dengan wajahnya menatap jendela luar. Cecil tak bergeming, “Udah itu aja?” Bhanu melirik Cecil, itu aja katanya?, batin Bhanu. “Sorry, maksudnya, belajar dengan cara memaksa bukannya agak gimana ya?” Cecil bertanya dengan hati-hati, takut menyinggung. “Emang, di agama lo ada target untuk bisa baca tulis gitu ya, Nu?” “Enggak.” Bhanu beranjak dari duduk dan berjalan keluar kelas menuju kantin, Cecil mengikuti cowok itu sambil sesekali melirik Bhanu yang berwajah tegang itu. Batin Cecil menertawakan Bhanu, ini cuma ke kantin tapi kok mukanya kayak mau berangkat perang ya? “Lah, terus lo kalo shalat gimana dong? Bukannya doa-doa kalian pakai huruf arab?” “Ada bacaan pakai alphabet dooong, mana sih!” “Oh iya juga, pernah ngintip buku panduan shalat temen waktu SMP.” Ia tertawa, “Kalo nggak ada target, belajar nyantai emang nggak bisa? Gue aja kalo disuruh ngebut hapalan 1000 Karakter Klasik China juga susah kali.” “Ya lo hapalan aja pusing, apalagi gue, baca tulisan biasa aja pusing!” Ada sensasi berbeda ketika ia mengatakan ini dengan lantang dan kepada orang lain. Meskipun Cecil menjawabnya dengan bingung, tetapi dia tidak menuntut pengertian Cecil maupun menjelaskan lebih jauh karena keduanya sudah sampai di kantin. Bhanu memesan makanan untuk Cecil lalu kembali sambil membawa 2 mangkok bakso beserta gorengannya. “Maksud lo apa baca tulisan aja pusing, Nu?” tanya Cecil dengan tangan sibuk menumpahkan micin dan merica ke dalam kuahnya, menumpahkan bukan menaburkan. Bhanu mengernyit ngeri membayangkan betapa asinnya kuah itu. “Kalo pusing itu istirahat, kan?” lanjutnya. “Ya makanya, gue nggak mau balik lagi.” Keluh Bhanu, dengan gilirannya menumpahkan sambal hampir setengah wadah ke dalam kuahnya, Cecil tercengang dibuatnya. “Gue di sekolah belajar, baliknya pasti ngaji juga kok. Terus kalo gue dipaksa belajar terus-terusan, capek juga! Gue mau main kali.” Cecil bertepuk tangan, “Makanya, ekskul tuh cari yang bisa buat main gitu. Kebetulan ada fotografi, radio, jurnalistik, sama voli yang diperpanjang. Sisanya udah pada tutup pendaftarannya. Lo suka yang mana?” Bhanu berdengung, lamat-lamat mengunyah bakso sambil berpikir. Ia sering bermimpi suatu hari ingin menjadi salah satu seorang fotografer jurnalis National Geographic. Berjalan-jalan di alam bebas, memotret hewan-hewan di hutan, laut, atau savanah. Berkeliling melihat fenomena masyarakat, peradaban manusia serta budaya di berbagai daerah maupun negara. Apa ambil fotografi aja ya? Mama kasih ijin nggak ya?, seruan batinnya. “Fotografi beneran kosong?” ia mendesis, mulutnya kepedesan. Gadis itu mengangguk dalam, “Iyah, Nu. Gue anterin ke kelas XI IA3, kalo mau daftar langsung ke ketuanya, soalnya mereka nggak punya ruangan sendiri, gabung sama anak teater soalnya. Tau kan, teater gitu.” Tangannya melambai-lambai menggambarkan kemegahan pementasan ekskul itu yang penuh dengan properti.  Bhanu mengangguk lalu celingukan, “Dharma mana deh, nggak balik apa?” meneguk es yang baru saja diantarkan oleh penjual minuman es hingga hampir habis. Bibirnya makin lama makin pedas hingga berbicara pun dia sambil mendesis. “Tau dah. Gue beli nasi bungkus aja, biar anaknya makan di kelas.” Cecil perhatian banget sama Dharma, batinnya. “Cil, sebenarnya mulut gue tuh pedes tau.” “Iyalah, lo hampir taruh semua sambal ke mangkok, ya kali nggak pedes, Nu!” sahut Cecil. “Awas mules lo, kebakar pantatnya besok!” cewek itu terkekeh hingga tersedak kuah baksonya yang asin hingga membuat tenggorokannya sontak terasa kering. “Bukan, maksudnya itu mulut gue sebenarnya ‘pedas’.” Bhanu menggunakan jarinya untuk saat mengutip kata pedas itu. “Gue mau cerita soal pengalaman gue kemarin dicecar sama anak-anak sana.” Cecil mencondongkan badan dan mukanya mendekat, antusias dengan keterbukaan Bhanu, akhirnya. “Jadi, gue akuin kalo nggak bisa ngaji. Ya, bukan berarti gue males ibadah atau mengaji, bukan. Gue ada masalah lain yang gue punya dari kecil, sebenarnya. Nanti lo bakal ngerti sendiri deh kalo jam pelajaran udah aktif banget.” Cecil mengernyit heran, gadis itu sepertinya bisa langsung mengetahui permasalahan Bhanu. “Nah, habis itu—“ Bhanu diam, matanya tak fokus dan melihat ke sana-sini. “Mereka kayak makin nyepelehin gue aja sih, gue paham kalo orang yang agamis itu sangat dijunjung di mana-mana, lo paham lah, orang-orang taat selalu dapat poin bagus dalam segala aspek atau citra diri. Dan, karena gue ada kesulitan di sini, jadinya gue diledekin deh, Cil.” “APAAA!!” pekik cewek itu menarik perhatian semua orang. “Mulut lo kek toah, pelanin dikit kalo kaget!” terlanjur malu berkat ulah Cecil. “Mana bisa pelan, namanya kaget itu spontan!!” cecar Cecil, “Terus? Kok gitu sih, Nu?” Bhanu mengacungkan telunjuk, memerintahkan Cecil untuk berhenti berpikir jika orang-orang itu jahat kepadanya, “Bukan ngeledek yang ngejelek-jelekin gitu. Intinya mereka mau mendukung gue untuk terus belajar cuman cara ngemotivasinya yang gue rada nggak suka sih.” Jelas Bhanu menyeruput kuah pedas terakhirnya. “Tau nggak, masa’ ada yang ngajakin gue adu cepat baca sih, Cil. Dikata mau ngerap apa ya? Terus diajakin belajar bareng adiknya yang masih kecil lah, belajar sama kakaknya kalo mau privat juga. Aduh, males banget gua, Cil.” Cecil tertegun, satu persatu keresahan Bhanu meluncur dengan penuh kesadaran sama bersamaan dengan peluhnya menetes dari kening dan dia sama sekali tidak bereaksi ketika menutupi matanya itu. Cecil semakin curiga, jika Bhanu memang memiliki sesuatu yang tidak beres, tetapi takut untuk mengkonfirmasinya. “Dilap dulu dong, nggak pedih mata lo kena keringat?” “Oh, makasih.” Sahutnya. “Jadi, kalo dipikir-pikir ngapain gue balik ke sana, mending kabur.” Cecil tertawa lirih, “Lagian, lucu banget ngemotivasi kenapa terkesan berkompetisi gitu? Mending cabut juga kata gua.” Timpal Cecil memberikan minumannya pada Bhanu, cowok itu terengah dan mengipasi lidahnya yang terbakar cabai. “Lo nggak seharusnya berada di tempat yang bikin lo nggak nyaman dan bikin lo makin nggak percaya diri. Mungkin, sebagian orang mengatakan itu tantangan. Menurut gue, kasus lo beda,” Cecil mengatakannya dengan yakin, “Lo hanya bukan bagian dari mereka aja. Mending keluar dan jadi diri lo sendiri aja, Nu. Ngapain juga repot-repot nyiksa diri.” Cecil dengan raut wajah judesnya berpendapat seperti itu. Detik berikutnya dia heboh, segerombolan anak-anak rohis datang ke kantin. “Mati gue!” “Ada gue, elah!” sahutnya. “Baik-baikin aja dulu.” Ridwan, si pengurus inti datang menyapa Bhanu lebih dulu dan duduk di sebelah cowok itu. “Hei,” sapanya kepada kedua adik tingkatnya itu. “Nu, kok lo nggak pernah ngumpul lagi? Nggak ikutan piket dan ngaji sama kita-kita?” Cecil acuh ikut mendengarkan dengan mulutnya tak berhenti mengunyah gorengan, “Iya, Nu. Kok ngilang. Dicariin pembina, loh. Beliau mau tau progress lo kemarin.” Timpal Fajar. Cecil dan Bhanu hanya bersaling pandang dengan kaki mereka saling menendang di bawah meja, mengirimkan kode-kode bantuan. “Gue kayaknya nggak cocok deh, Kak Ridwan, masuk Rohis. Maaf nih, gue mau berhenti aja.” “Lho, kenapa? Kita mau diklat kok malah cabut sih?” kata Alfan menimpali dari belakang Ridwan. “Diklat kita seru, loh. Ya kali nggak kuy?” “Kita nggak ada yang jahatin lo malah.” Sahut Ali terdengar sengak. Ridwan berdeham dan menatap Cecil, “Bisa ngobrol sama temen gue sebentar nggak?” “Ngobrol aja, don’t mind me.” Tersenyum singkat dan kembali memakan baksonya. Gelagat dan lirikan pedas mata Cecil lantas membuat ke lima cowok-cowok itu menatap culas. Saling tak mengindahkan dan tak menggubris. Cecil is being Cecil, kinda rude and sassy girl. “Lo kenapa kok mau cabut dari ekskul? Kita ada salah sama lo?” kata Ridwan namun ditimpali dengan tawa penuh cibiran Cecil. “Bukan ngetawain kalian, itu ada yang lucu di sana. Lanjutin.” Sebuah interupsi Cecil yang memang dia sengaja lempar untuk cowok-cowok itu. Tidak sadar jika yang mereka lakukan memang salah, teruntuk sudut pandang Bhanu. Cecil, jika jadi Bhanu paling sudah membalik meja ini. Dilihatnya Bhanu masih nampak tenang dan sabar, seolah tidak ingin mengatakan hal buruk yang bisa berbalik menyakiti dan menimbulkan permasalahan. “Sorry, gue rada tertekan aja sih sama tuntutannya. Gue cuma nggak cocok aja ternyata. Baru gue sadar ketika gabung beberapa waktu sama kalian kemarin. Maaf banget nih.” Kata Bhanu nadanya netral. “Nggak apa-apa, kan? Toh, kalian belum diklat. Gue belum sah dong jadi anggota Rohis?” Cecil mengangguk-angguk, meskipun matanya melihat ke meja lain, telinganya masih memantau pembicaraan itu dan mulut masih mengunyah. “Nu, nggak sekedar diklat aja yang bikin semua jadi anggota. Kita terima semua yang niat masuk dan kita tuh nggak cuma berkegiatan tapi juga beribadah. Kita bareng-bareng saling nuntun, biar makin jadi umat taat. Kok lo malah kabur sih?” kata Alfan. “Lo baper sama bercandaan kita?” “Iya, Nu?” tanya Ridwan. Bhanu tidak bisa memungkiri, “Iya. Gue tersinggung sama beberapa orang.” Raja dan Fajar mengeluh, “Jangan dimasukin hati banget kali, Nu. Kita bercanda doang. Kita-kita yang seangkatan sama lo kepengen ngasih motivasi kok.” Adrenalin Bhanu terpacu makin cepat saat mendengar pernyataan Fajar, bagaimana bisa mereka mengatakan hanya bercanda saja ketika sudah sangat menyakiti? Mengapa harus menjadikan seseorang sebagai lelucon? Apakah dengan merasa tersinggung adalah sebuah kesalahan yang patut dilimpahkan kepada korban hanya karena kalah jumlah dan suara? Alih-alih si pengolok merasa bertanggung jawab atas kesalahannya sendiri? Hanya karena mereka berjumlah lebih banyak dan Bhanu hanya sendiri artinya Bhanu harus mengalah atas dirinya sendiri? Gejolak itu makin tinggi, dan sekali tarikan napas dia menyemburkan segala perasaannya. “Gue sama lo nggak seakrab itu untuk saling bertukar candaan. Dan, maaf ya kalo kalian tersinggung karena gue sebenarnya nggak bisa nyambung sama kalian.” Kenyataan getir yang harus diterima 5 cowok itu. “Cabut, Wan. Emang udah dapet pengaruh lain, kayaknya.” Ali masih saja sengak, cowok itu seangkatan dengan Ridwan dan Alfan. Sedangkan Fajar dan Raja baru kelas 10. Ketika Ali berpapasan dengan Bhanu, cowok itu menepuk pundak dan berbisik sesuatu di telinga Bhanu dengan lirihnya, “Umat islam diharamkan bermain bahkan bersahabat dengan orang kafir.” Itu sangat membuat Bhanu semakin geram. Gerak tangannya reflek mengambil bongkahan es batu yang masih besar dari gelasnya lalu melemparnya tepat di belakang kepala Ali hingga terbelah menjadi berkeping-keping. “b******n!” umpat Ali dengan kepalanya yang amat pusing. Cecil terkesiap melihat adegan itu langsung menahan tangan Bhanu. Ali sudah memberontak tak karuan akibat tidak terima dengan perlakuan adik kelasnya itu. “Anak baru kurang ajar lo!” “LO YANG KURANG AJAR SAMA TEMEN GUE!” sahut Bhanu kencang. Suasana Kantin menjadi tegang dan mencekam. Cecil masih bingung dengan apa yang menyulut Bhanu berubah menjadi sosok yang menyeramkan, penuh amarah. Bhanu yang sangat tenang dan selalu cengengesan sudah hilang. Cecil hanya melihat Bhanu yang marah. “Jangan sekali-kali lo ngomong kayak gitu lagi! Atau yang gue lempar bukan es, tapi batu beneran!” “Woi, apa-apaan sih lo, Nu?” seru Fajar. “Eh, Jar, temen lo tuh mulutnya minta diyasinin! Udah kayak setan, nggak tau cara memanusiakan orang lain. Jijik gua!” kata Bhanu masih betah meremas tangan Cecil di belakangnya. Cewek itu perlahan-lahan mengusap pundaknya yang terengah-engah karena napasnya yang menderu, adrenalin yang mengalir deras. Emosi tertahan yang berhasil ia luapkan hari ini. Dipicu dengan sebuah hinaan tak pantas yang melukai istilah perdamaian itu sendiri. “Lo kalo nggak punya kalimat baik untuk diucapkan, mending diem!” pekiknya lagi. Suaranya sangat keras dan tegas. “Berani lo sama kakak tingkat?” Ali hendak menyerang namun ditahan Ridwan dan yang lainnya. “Heh, Li, mending lo cabut dah. Gedek gue liat muka lo!” kata Ari salah satu pentolan sekolah, anak kelas XII IS3, “Nggak usah belagu berantem di kantin. Di lapangan kalo lo ada nyali, Li!” lanjutnya menatap tajam ke arah Bhanu dan Ali. Ali dengan raut muka marah, ragu, serta merasa terinjak-injak oleh Ari yang duduk di bangku sebelah mereka hanya bisa mendengus geram lalu berbalik. Daripada melawan pentolan sekolah, itu ide yang sangat buruk. Ke lima cowok itu pergi dan kerumunan akhirnya bubar ketika titah Ari memerintah semuanya untuk kembali ke kegiatan semula. “Nu, minum dulu yuk.” Jujur saja, Cecil masih kaget. Bhanu benar-benar meledak. “Balik ke kelas---“ “Anjir lo pada, ada apaan?” Dharma duduk menubruk badan Bhanu sambil ngos-ngosan. “Elo berantem, Nu? Elo???” sulit percaya, Bhanu pendiam bertengkar? Karena apa? Batinnya. Cecil memukul Dharma keras, “Adu bacot doang, balik dulu yuk. Lo nggak liat apa semua pada liatin Bhanu!” Ketiganya menatap sekeliling, hingga akhirnya Bhanu bersirobok dengan sorot Ari. Cowok itu malah mengacungkan jempolnya, mengakui keberanian Bhanu melawan kakak kelas yang menindas teman ceweknya itu. Bhanu beranjak dan buru-buru masuk kelas. Dharma sudah menuntut penjelasan sejak tadi, sama halnya dengan Cecil. “Ali ngomong sesuatu yang buruk makanya gue marah. Maaf kelepasan!” “Dia ngomongin gue?” tebak Cecil “Ngomongin Cecil? Ih ngapain? Bagusnya elo apaan?” katanya langsung mendapat toyoran dari Cecil. “Canda, cantik!” “Pokoknya, dia ngomong hal buruk. Udah, gue nggak mau membahas. Gue benar-benar nggak bisa terima dengan orang yang suka bikin ribut dan kekacauan. Gue nggak bisa pokoknya temenan sama mereka. Mulai sekarang, gue bodoh amat dibilang kasar atau apapun itu. Gue mau ngomong apa yang ada dipikiran gue saat ini. Ugh!” cowok itu geram dan mengatakannya dengan menatap tajam ke 4 bola mata yang menatapnya. Dharma terdiam, “Bisakah saya menerima awalan kejadian ini? Saya seperti orang b**o loh, teman-teman.” Ia mencoba melucu dengan gaya bicara melambai. “Nggak apa-apa, Nu. Lo omongin apapun yang ada di kepala lo itu. Gue bakalan denger kok, kita bakalan dengerin lo, ya kan, Dharma?” Cowok itu menggeleng, “CERITAIN DULU!” serunya. “NANTI AJA!!!” balas Cecil tak kalah kencang. “Ugh, gedek banget gue rasanya. Jangan sampai, shalat dhuhur gue ketemu sama tuh orang ya!” sesekali berdecak kesal. “Sumpah, gua nggak ngerti. Lo pada nggak mau cerita dulu apa?” “UDAH LO DIEM DULU!” seru Cecil dan Bhanu bersamaan. “Astaga.” 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD