3 Tiny Hidden Star

2783 Words
2 hari berturut-turut itu Bhanu masih mendatangi kegiatan organisasi tersebut. Semuanya nampak sangat alim dan baik. Cowok itu berinteraksi sewajarnya saja, tidak akrab maupun tidak terlalu menyendiri. Masih belum meruntuhkan tembok yang selalu melindunginya jika dunia terlalu jahat untuknya. Bahkan, dia juga memakai topeng Bhanu yang baik, sopan, dan manis. Bhanu yang suka nyinyir, salty, dan celometan itu tetap bersembunyi. Atau mungkin, tidak akan pernah muncul, selamanya. “Hari ini kita mengaji ya, anak-anak.” Kata Pak Hafidz, Guru Agama. “Baik, Pak.” Semua anak kecuali Bhanu. Anak itu bengong sambil memegangi kitab yang dioper oleh Abdul barusan. Bukannya mulai membaca sembari menunggu giliran untuk maju ke hadapan Pak Hafidz. Kaku dan tegang. Mengkhawatirkan dirinya sendiri. Menengok ke sana sini sedangkan yang lain fokus mengaji. Mau pulang saja, pikirannya. “Bhanu Abhirama Pamungkas.” Panggil Pak Hafidz. AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA, KAYAK DIJEMPUT MALAIKAT MAUT!!!, teriak dalam hati. Dengan wajah tegang super super kaku, Bhanu maju lalu duduk bersila di hadapan Pak Hafidz. Dia menelan ludah susah payah ketika Pria yang beruban dan berjenggot putih tipis itu menyuruhnya memulai untuk mengaji. “Bismillah…” “Audzubillahiminasyaitonirojim… mulai dengan bacaan Ta’awudz dulu kalau mau mengaji itu. Ayo mulai lagi.” Bhanu mengangguk dan mendesis, telinganya masih bisa sensitif di mana suara anak-anak yang mengaji itu agak berkurang. Punggungnya terasa disorot oleh puluhan mata saat ini. Ayo, Nu, kita pernah denger Mama baca bacaan itu kan, batinnya berteriak kencang, jelas ini Bhanu versi peri kecil yang berkata. “Audzubilla minasyaiton rojim… bismillahirohmanirohmin.” Lalu sang guru berdecak. “Kamu mualaf atau bagaimana?” Bhanu menggeleng, “Ayo baca yang benar, jangan bercanda kamu kalau mengaji. Sudah besar kok masih nggak lancar.” Mau pulang!, seruan batin Bhanu. Bukannya dapat ketenangan, Bhanu malah stress di depan sini. Pak Hafidz berulang kali berdecak sampai membenarkan pelafalan yang salah dan cowok itu yang memang lamban menirukan pengucapan. Apalagi, sang guru masih betah menahan Bhanu untuk terus mengaji di depannya. Bhanu sudah muka tebal ketika telinganya tidak lagi menangkap anak-anak yang lain mengaji. “Kamu ini, kayaknya harus kembali lagi ke Iqra’ deh.” Komentar Pak Hafidz. Bhanu cuma nyengir. “Saya serius. Kamu itu cowok, masa’ urusan agama saja tidak becus. Lelaki itu besok akan jadi imam. Kalau baca Al Qur’an saja tidak becus, bagaimana kamu membimbing anak istrimu besok?” Saya mending nggak nikah, pak. Jawabnya dalam hati, tentunya. Kalau diutarakan bisa ditendang. “Kok banyak sekali salah bacanya, tanda baca yang harusnya berhenti malah kamu terobos, yang harusnya bisa diteruskan saja malah kamu diam. Kelas berapa kamu mulai ngaji?” Bhanu menjawab seadanya, “TK, Pak.” Pak Hafidz kaget, “Lho, sudah dari sekecil itu kok masih belum lancar. Males ya kamu? Shalat kamu bagaimana?” “Ya shalat, pak.” Jawabnya polos, sebenarnya dia sudah tidak bisa menahan kakinya untuk tetap diam di sini. “Bolong-bolong pasti?” Ah, justifikasi paling klasik yang Bhanu dengar, sudah biasa disebut orang malas dan kurang taat hanya karena tidak fasih membaca. “Ya sudah, kembali ke tempat kamu. Besok menghadap saya ya.” Bhanu mengangguk dan berbalik untuk duduk ke tempatnya.  “Tapi bawa Iqra’ saja ya?! Iqra’ punya adiknya dibawa ya, paham?” Bhanu menggigit bibirnya saat beberapa anak malah keceplosan tertawa, merendahkan. Entahlah, mungkin itu lelucon untuk mereka. Bhanu hanya melempar senyum dan menerima itu semua. Kenyataannya memang akan selalu seperti itu, ia akan selalu dijadikan sasaran empuk untuk olok-olokan karena dia yang terlihat bodoh dan payah. Puff… “GUE BILANG JUGA APA? MENDING LO PERGI DARI SINI!!!” Bhanu Iblis muncul. “SEKARANG!” “Sopan nggak, sih? Nanti kalo keluar disangka drama? Kata Papa harus cool nerima ejekan?” gumamnya pada diri sendiri. “YA NGGAK GITU, GUE TAU LO MARAH SEKARANG, KAN? MAU NANGIS, KAN?” kompor si Mahluk berjubah hitam dan berwajah merah padam itu. Kepalanya nampak berasap. Puff… “Sabar ah, biarin aja deh. Cuek bebek aja. Mending main hp!” si Malaikat Bhanu muncul. Bhanu asli mendesah kesal, bisa-bisanya mereka muncul, membuat gelisah dan semakin runyam emosinya. Dengan reflek dia berdiri dan melenggang pergi dari situ. Pamitnya ke kamar mandi, tapi dia malah nyasar duduk di kursi taman. Tepat di bawah pohon mangga yang waktu itu sempat dia amati beberapa hari lalu. Dia bisa melihat lapangan bahkan deretan kelas dari sini. Melihat Dimas yang sedang bermain futsal, Hanan dan Rifki sedang berkumpul sambil membawa kamera mereka, siap membidik objek. Semua orang nampaknya bersenang-senang. Detik berikutnya dia duduk di rumput, dan berbicara pada 1 tanaman yang hanya ada satu di situ. “Jangan salahin angin yang bawa benihmu ke sini, ya? Anggap aja kamu disuruh buat jadi temen ngobrolku sekarang.” Katanya. “Apa kabar? Kamu nggak kurang air, kan?” tanyanya pada sebuah tanaman randa tapak kecil, yang bahkan belum ada bunganya. Bhanu bisa mengenali itu dari daunnya, berkat rajin nonton NatGeo, tentunya. Detik berikutnya, sebuah mangga kecil jatuh di atas kepalanya dan sehelai daun tua gugur mendarat di pundaknya. Menyapu dengan lembut dan perlahan sebelum akhirnya jatuh ke bumi. “Makasih, kamu juga kuat, ya? Padahal keliatannya kamu jarang dirawat sama tukang kebun. Harusnya kamu sudah waktunya dipotong biar buahmu bisa tumbuh lebat.” Bhanu ketika melihat ke atas, pohon itu terlalu lebat dan buahnya sangat sedikit. “Kalian berteman nggak? Kalo nggak temenan, parah sih!” “Aku harap, nggak ada anak nakal jahatin kalian, ya?” katanya lagi, ketika melihat ada paku yang tertancap di batang besar itu. Tidak peduli kalau dianggap gila. Ia lebih senang berbicara dengan tumbuhan dan hewan ketimbang dengan manusia saat ini. Manusia itu benar-benar superior. Menduduki posisi paling puncak dalam rantai kehidupan sehingga apapun yang mereka lakukan itu akan selalu benar. Sama persis dengan yang terjadi pada dirinya barusan. Semua orang merasa superior karena bisa berada di atas Bhanu. Hingga mewajarkan lelucon aneh itu. Hari Bhanu berakhir dengan sebuah lelucon pertama untuk masa SMAnya. Dan, hingga berjalan 1 minggu, Bhanu masih terus-terusan didorong agar bisa membaca dengan lancar. Sampai teman-teman Rohis yang seangkatan dengannya sering menculiknya. Berdalih mereka ingin menyemangati Bhanu, tetapi mereka juga yang tertawa dengan kepayahannya. Bhanu sudah sangat sensitif, banyak yang mengguruinya. Tapi dia TETAP akan membatin saja. ‘Nu, Nu… lo di rumah juga ngaji, biar lancar.’ Bhanu : Ya apa perlu gue live report kalo abis ngaji di rumah sehabis shalat magrib? Nggak penting. ‘Nu, lo ngaji sama adik gue aja dah.’ Bhanu : Lucu. Haha--tertawa dengan muka datar dan sengak-- ‘Nu, balapan baca yuk, kita liat perkembangan lo sejauh apa?’ Bhanu : Wow, mending lo sama rapper Dubai aja sono, gue ogah! ‘Nu, kakak gue mau kok jadi guru ngaji, kalo dibayar tapi.’ Bhanu : Apa guna si Bhinal kalo gue bayar kakak lo, mending duitnya buat jajan. Dari sumpah serapah itu tidak ada satupun yang keluar. Jengkel, dia sudah jengkel. Tapi kalo dia meledak, Bhanu tidak akan punya teman. Dilema seorang Bhanu yang tidak bisa dengan frontal itu karena mulutnya kalau berbicara jauuuuh lebih pedas, dia diam karena tidak ingin menyakiti hati orang lain dan dijauhi. Dia hanya ingin teman yang berwujud manusia dan bisa memanusiakannya. Pulang kerjaannya menggerutu, semuanya kena amuk. Dia mengeluh lelah membaca, setiap hari. Teriakan gurunya itu semakin mengerdilkannya. Apa karena biaya sekolah ini murah jadi kesabaran seorang guru itu jadi mahal harganya? Decakan kesal itu menghantui Bhanu, apa perlu dia mengatakan gangguannya? Ah, itu lebih jauh mengesalkan. Dia hanya ingin dianggap sama, apa keinginannya berlebihan? Hingga keesokan harinya, dia malas berangkat sekolah. Mama Bhanu sampai heran melihat anaknya bermata sembab seolah habis menangis. “Nu, kenapa? Di sekolah ada kendala apa?” tanyanya khawatir. “Mama nggak pernah nyuruh kamu belajar sampai kamu stress begini, libur aja ya?” “Aku nggak apa-apa, ma. Temen-temen kan nggak tahu.” “Apa perlu mama datengin guru kamu lagi?” mengusap kepala Bhanu. “Bhanu bisa urus ma, Mama mending siap-siap ngajar aja. Hari rabu katanya ada kuliah pagi?” mengingatkan sang Mama yang berprofesi seorang dosen itu. “Iya, makanya mama bangunin kamu. Daripada berangkat sama kak Bhina, mending mama tebengin. Tapi kalo kamu malas sekolah, istirahat aja.” Sang Mama tahu, bagaimana Bhanu itu sering melalui masa-masa sulit dan selalu membawa rasa kurang percaya terhadap dirinya sendiri. Ratna hanya ingin menjadi sosok yang bisa mendukung Bhanu ketika ia mengetahui sang anak mengidap disleksia pada saat usianya 10 tahun. Terlambat untuk tahu, padahal sedari kecil Bhanu itu sudah menunjukkan tanda terlambat dalam perkembangan linguistik. Lambat berbicara dan memahami bahasa. Waktu itu, Ratna melihat anaknya sangat stress karena dipaksa belajar, perkembangan akademiknya memburuk setiap tahun. Sang anak yang tajam dalam berpikir dan kritis saat bertanya itu ternyata mengidap disleksia. Saat itu juga, semua anggota keluarga berkiat untuk membantu Bhanu supaya bisa melalui masa-masa sekolahnya. Bhina yang lebih sering melabrak anak-anak yang merundung dan mengolok Bhanu dengan sebutan bodoh, Papa Danar yang selalu menguatkan dan membanggakan Bhanu sebagai jagoannya, dan Mama Ratna yang akan selalu membuat hidangan istimewa untuk Bhanu kalau dia berhasil naik kelas, naik kelas itu cukup, beliau tidak peduli dengan nilai sang anak. Karena banyak profesi di luar sana yang tidak butuh nilai matematika, bahasa inggris, bahasa Indonesia, ppkn, agama, atau sebagainya. “Kalo beneran nggak sekolah, mama tulis surat ijin.” “Eh, jangan ma. Kita berangkat lebih pagi aja deh.” Ratna bingung. “Lho, kenapa?” “Mau ketemu guru.” Bhanu bertekad mau menyudahi penderitaannya itu. Bodoh sekali mau dianggap baik malah jadi boomerang untuk dia sendiri. Danar, Ratna, dan Bhanu berangkat lebih awal sesuai permintaan. Si bungsu malah melamun dengan memangku kotak makanannya itu. Tidak mau makan, dengan alasan tidak nafsu. Sehingga Ratna membawakan bekal untuknya. Sekolah masih sepi. Dia berjalan memasuki kelas yang berbeda dengan kelompok gugusnya kemarin. Kali ini kelasnya sudah tetap. Dan, orangnya berbeda pula. Dia sama sekali tidak kenal akrab karena di d******i gugus lain. Kenalan lagi, kenalan lagi, batinnya lalu menarik kursi di bangku paling belakang. Dia amati dari kemarin, bangku ini kosong dan tidak ada yang menempati. Tempat duduknya sebelum ini adalah di depan guru. Bersama dengan seorang siswa tak sengaja menyapa dan mengajaknya duduk di situ. Bhanu menyelonjorkan badannya dan menenggelamkan wajahnya, menempel pada meja. Mau lanjut tidur saja daripada melamun lagi. “Haha, iya kan? Aneh banget deh, remaja-remaja jaman sekarang lagi mabok apaan sih? Cringe!” Suara itu semakin mendekat, Bhanu sampai beringsutan mendengarnya. “Lo ngomong remaja jaman sekarang tuh kayak udah dewasa aja, Cil!” Gubrak… suara tas yang setengah dibanting itu. “Setidaknya gue nggak jelalatan ya, kayak nggak pernah liat cowok cakep aja, hih.” Ujarnya terdengar penuh cibiran untuk Bhanu. “Lagian ya, mukanya kak Prasasti tuh standar tau!” “Halah, lo kalo dipepet juga mau, kan?” “ENGGAK, bosenin ah. Tipikal most wanted tuh overrated. Terlalu dilebih-lebihkan.” Kepala Bhanu menegak, melihat ada cowok dan cewek sedang duduk di depannya sambil bertukar buku. Sepertinya mereka mau mengerjakan pr kemarin. “Jadi, tugas yang disuruh kasih surat ke kakel OSIS kemarin lo mau siapa?” tanya si cowok, Bhanu ikut penasaran. “Menurut lo, yang paling nggak oke siapa?” tanya si cewek pada si cowok, Bhanu mengernyit heran sampai kedua alisnya menempel. Cewek aneh, kok nyari yang paling nggak oke sih?, batin Bhanu. “Ada tuh, kak Sakti. Dia pendiem terus kemana-mana selalu jadi kacung.” Jelas Dharma. “Oke, yang itu!” pekik Cecil. “Lho, kenapa? Bukannya cewek-cewek lebih suka kak Prasasti yang super ganteng dan almost perfect, ya?” celetuk Bhanu lalu ia merutukinya karena terlalu lancang. “Cowok yang terlalu dielu-elukan sama semua cewek di sini itu makin bikin dia keliatan bosenin!” jawabnya santai, tidak risih dengan keberadaan Bhanu. “Beda sama kak Sakti. Nggak terlalu keliatan, belum terjamah. Hidden-treasure potensial. Berlian belum terasah. Emang cowok doang yang bisa liat cewek cupu itu indah, gue juga bisa!” “Jangan didengerin, Cecil mah seleranya emang rada aneh.” Dharma, temannya semenjak SMP terlalu mengenal Cecil dengan sederet mantannya yang memiliki latar belakang beragam. “Eh, btw belum kenalan. Nama lo siapa?” lanjutnya. “Bhanu.” Jawabnya. “Gue Cecilia, panggilnya SESIL, bukan CECIL.” Tanpa memberikan jabat tangan. Sedangkan yang cowok mengulurkan tangannya lebih dulu, “Dharma. Padahal dia nih paling seneng kalo dipanggil pake C bukan S.” “Bacaannya nggak gitu, gue botakin lo biar kayak bhikku!” jawabnya. “Lo jangan kasih pengaruh buruk ke orang ah, gue mau orang manggil gue SESIL bukan CECIL!” cewek itu berkacak pinggang. “Eh, bau apaan nih?” Bhanu mendorong bekal roti bakarnya. Dharma dan Cecil melotot lalu menyerbu, menyisakan satu untuk Bhanu. “Wah enak, mayan nih ada untungnya berangkat pagi, hahahaha.” Jawab Dharma. “Lo ngapain duduk dibelakang? Kemarin bukannya di depan kemarin?” tanya Cecil. “Oh… mau ngerjain pr yaaa?” cewek itu usil lalu membalik kursinya. “Sini, kita ngerjain bareng yuk.” “Emangnya Bhanu elu, Cil. Ngerjain pr di sekolah.” Cibir Dharma. “Emang lo kenapa mau kasih surat ke kak Sakti?” Pertanyaan Bhanu membuat Cecil dan Dharma saling melihat. Cewek itu mendesah dan melipat tangannya. “An underdog need a maddog to punch a topdog.” Katanya. “Call me weirdo, I don’t care. Tapi, gue lebih suka sama orang-orang yang nggak terlalu mencuri perhatian.” Dharma malah berkomat-kamit mengatai Cecil aneh dan menyuruh Bhanu tidak terlalu mendengarkan gadis itu. “Tujuan gue kan mau suratnya dibaca, dinotice, terus dia juga kalo perlu ngerasa berharga. Kalo ngasih ke yang famous doang sih, kita emang dapet balesan? Kan, enggak. Yah buang-buang tenaga dong nulis, ya nggak?” ia menyenggol tangan Bhanu. “Lagian tuh, Kak Sakti juga berhak dapet surat. Perannya yang minor itu juga ikut andil kok. Semua orang itu penting dan berharga.” Ocehnya panjang dan cukup bijak. Bhanu termenung. “En ander apa?” “An underdog.” Ulang Cecil. “Math… math, matematika? Apa sih?” Bhanu tidak nyambung. “Maddog, mad… M-A-D mad gila, bukan M-A-T-H Math matematika.” Cecil menerangkannya dengan halus. Mengira orang di depannya ini masih belum terkumpul nyawanya. “Maksudnya gimana sih? Anjing gila sama di bawah anjing? Lo bahas-bahas anjing?” Dharma tertawa geli, “Maksudnya Cecil itu underdog istilah buat seseorang yang kalah dalam kompetisi sedangkan topdog itu pemenang. Dan, mad dog itu si penolong underdog biar nggak terus-terusan dikucilkan. Nih anak bahasanya suka aneh-aneh dah!” Dharma menoyor kepala Cecil. “Bingung, kan anak orang pagi-pagi!” Bhanu tertegun. Kenapa Cecil mau capek untuk jadi mad dog? Tiba-tiba ada suara segerombolan cewek-cewek datang memasuki kelas. Suasananya jadi semakin riuh dan ramai karena cewek-cewek itu berkicau bak burung yang habis diberi makan pisang di pagi hari. Rumpik sekali. “Look, a weirdo trying to bite her victims!” sindir Karina. Bhanu tersentak, ada masalah apa gadis itu dengan Cecil sampai wajah cewek yang duduk berhadapan dengan Bhanu itu tersenyum miring dan menggeleng. “Ugh, C’mon. You can’t be normal without US, normal!” teriak Cecil acuh, tak melihat lawannya. “Lo mah kalo kalah pinter sama gue nggak usah ngebully juga, Rin! Lari ngemis sama bapak lo sana buat nyogok guru-guru.” Cecil tertawa mencibir sampai Karina menggebrak mejanya marah. “Awas lo!” “Gue tungguin, Rin.” Seusainya dia tertawa mengejek sambil melihat Karina dan teman-temannya pergi keluar kelas. Dharma diam saja, cowok itu menikmati pertengkaran adu mulut barusan sedangkan Bhanu hanya melongo. Cecil cewek gila, rupanya. “Dia memang gila, tapi jangan khawatir.” sahut Dharma pada Bhanu yang masih plonga-plongo. “Gue padahal nggak gigit, lho. Dianya aja yang lebay. Hadeh, princess syndrome. Alergi gue!” Cecil mengumpat pagi-pagi. Bhanu menatap Cecil penuh kagum. Do I need this mad dog to protect me?, batinnya. Cecil berani, Dharma nampak acuh melihat temannya ribut. Bukannya menghindari tekanan, Cecil malah mencemooh balik Karina yang punya banyak pengikut. “Gue besok duduk sini ya?” Bhanu. “Ya terserah elo lah.” Dharma tertawa. “Siapa juga yang ngelarang. Tapi, jangan salahin kalo kena getah dari Cecil ya?” Bhanu menggeleng lalu menatap Cecil penuh kagum. Gadis itu sangat berani kepada orang-orang yang menindasnya. Yang mana Bhanu sama sekali tidak pernah berani melakukannya. Cewek bername tag Cecilia Putri Regina dan cowok di sebelahnya adalah Dharma Siddartha. Bhanu termenung sewaktu mendengar keduanya saling melempar opini mengenai kelakukan kakak kelas yang super lebay kepada anak-anak baru  yang memicu sisi agresif terhadap lawan jenis, iya pubertas. Yang mana, pembicaraan itu mereka utarakan dengan lantang, tak seperti Bhanu yang lebih baik menyimpan rapat karena takut tidak ditemani. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD