STRAWBERRY CAKE

1694 Words
Orchard Park, Apartment Parking. 07.25 p.m. Sekembalinya Valgar ke mobil. Ia tak banyak bicara. Bahkan ponsel yang dari tadi berdering pun sama sekali tak mengganggu lamunannya. ‘’Tuan Muda … Tuan Muda …’’ Panggilan pertama dan kedua sama sekali tidak berpengaruh. ‘’Tuan Muda Valgar.’’ Yang ketiga kalinya barulah Valgar tersadar. ‘’Ada apa?’’ ‘’Ponselmu dari tadi berdering, Tuan.’’ Agzek menoleh ke arah Tuannya yang berada di kursi belakang. Ponsel yang masih berdering itu pun buru-buru diangkat olehnya. ‘’Aku berada di parkiran, kemarilah segera.’’ Titahnya kepada seseorang yang meneleponnya. 07.35 p.m. Seseorang yang menutupi wajahnya dengan masker, membuka pintu mobil dan duduk di samping Valgar. ‘’Jangan sampai ada yang mengetahui bahwa aku memberikan dokumen ini padamu.’’ Pintanya setelah menerima koper jinjing berwarna hitam dari Valgar. ‘’Kau dapat mempercayaiku.’’ Setelah mendengar pernyataan Valgar, pria itu pun bergegas meninggalkannya. Agzek memperhatikan Tuannya melalui rear-vision mirror. Sebuah file yang cukup tebal sedang diperiksa setiap halamannya. Ia juga menulis namanya di sudut atas pada cover dokumen itu. ‘’Agzek, jika Ayah bertanya padamu mengenai progress apartemen ini, katakan bahwa aku membutuhkan waktu satu minggu untuk menyelidikinya.’’ Titahnya yang sedang memasukkan kembali dokumen tadi ke dalam amplop. ‘’Sesuai instruksimu, Tuan.’’ Jawabnya tegas. Mobil yang dikendarai mereka meninggalkan parkiran. Sementara Ambar sedang menikmati strawberry cake di meja makan sambil menanti telepon dari orang tuanya. Axiar tidak akan menghubungi ke ponsel mereka masing-masing, namun melalui telepon rumah. Hal itu untuk memastikan apakah anak-anaknya memang benar tidak kemana-mana. Bukan tanpa alasan Ratva meninggalkan Adiknya sendirian di rumah sebesar itu, Ambar selalu berkata bahwa dia akan baik-baik saja dan dapat menjaga dirinya walau tanpa pengawasan Kakak dan Orang Tuanya. Merasa Adik Bungsu di keluarganya sudah bukan anak kecil lagi, Ratva pun menuruti kemauannya. Sejam berlalu, akhirnya Axiar menelepon. Ambar berlarian menuju ruang tamu di mana telepon itu berada. Baru saja ingin menyapa, suara di seberang sana sudah duluan berbicara. ‘’Halo sayang, bagaimana keadaan kalian?’’ ‘’Baik-baik saja, Bu. Apa kau menikmati pestanya?’’ tanyanya. ‘’Sangat, Ayahmu membelikan salah satu perhiasan yang dipamerkan. Tidak sia-sia Ibu bersikeras mengajaknya,’’ Ambar tertawa mendengar suara Ibunya yang kegirangan itu. ‘’Baiklah sayang, Ibu tutup dulu.’’ ‘’Bye Ibu.’’ Ambar mengembalikan gagang telepon ke tempatnya. Baru saja ia kembali ke meja makan, telepon di ruang tamu sudah berdering lagi. ‘’Halo, selamat malam?’’ sapanya. Saat Ambar selesai bertanya, tiba-tiba saja panggilan itu ditutup. Dengan wajah keheranan Ambar juga menutup telepon itu. Kedua kalinya telepon itu berdering lagi, untuk yang ketiga kalinya ia memutuskan untuk tidak mengangkatnya. Setelah telepon berhenti berdering, tak lama bel pintu berbunyi. ‘’Apa kakak sudah pulang?’’ Saat ia mengintip dari balik pintu, tidak ada siapapun di depan sana. Wajahnya yang kebingungan kian bertambah bingung. Saat ia membuka pintu rumah, benar saja tidak ada seorangpun yang ditemuinya. Untuk memastikan lagi, ia keluar dan melihat sekitar lorong di lantai apartemennya. Namun lagi-lagi tidak ada siapapun di sana. Kondisi lorong yang lurus tidak dapat membuat siapapun bersembunyi. Di lantai lima puluh satu terdapat tiga kepala keluarga. Di ujung kiri adalah hunian Keluarga Davis, ujung sebelah kanan ditinggali oleh keluarga Volet, sedangkan di tengah-tengah dihuni oleh keluarga Andrew yang sekaligus berhadapan langsung dengan lift. Ambar kembali menutup pintu rumahnya. Dia berlarian ke ruang belajar untuk mengambil stick baseball, berjaga-jaga jika seseorang ingin mengusiknya. Setelah ia kembali, bel berbunyi lagi. Tongkat baseball yang berada di pundaknya membuatnya sangat waspada. Cepat-cepat ia membuka salah satu daun pintu untuk menangkap tersangka yang memencet bel rumahnya. Lagi-lagi tidak ada siapapun. Namun sebuah kotak berisi strawberry cake dari store yang sama seperti pemberian Kakaknya mengalihkan pandangannya. Ambar meletakkan stick baseball di belakang pintu, setelah itu dia mengambil kotak tersebut dan membawanya ke lobi. Seorang staf wanita yang mengenali Ambar menyapanya. ‘’Selamat malam Nona Muda. Ada yang bisa ku bantu?’’ Ambar meletakkan kotak itu ke atas meja resepsionis. ‘’Selamat malam, apa kau melihat seseorang membawa box cake ini selain aku?’’ Tanyanya menyelidik. ‘’Tidak Nona. Apa ada masalah?’’ ‘’Tidak sama sekali, aku hanya ingin memberikan ini padamu. Aku harap kau mau menerimanya.’’ Wajah wanita itu langsung terlihat girang. ‘’Dengan senang hati aku akan menerimanya. Terimakasih Nona.’’ Seorang pria yang baru saja datang berdiri di samping Ambar, ia juga memasuki lift yang sama. Ambar yang terlihat murung mengetik sebuah pesan di ponselnya. ‘’Kak, pulanglah. Aku takut.’’ Sejenak berpikir, pesan itu buru-buru dihapus olehnya. Ia tidak ingin mengganggu. Lantai sepuluh, pria yang berdiri di belakang Ambar keluar di lantai tujuannya. Sesampainya di lantai lima puluh satu. Ambar memperhatikan pintu dan telepon di rumahnya. Ia berharap keduanya tidak berbunyi lagi. Namun ia masih penasaran mengenai cake itu. ‘’Siapa yang mengirimkannya?’’ Valgar yang masih berada di area parkir Orchard Park rupanya tadi pergi ke store bakery terdekat. Agzek menceritakan semua yang terjadi. Karena terdapat tiga hunian di lantai lima puluh satu, ia mencoba menghubungi nomor yang diberikan Tuannya untuk memastikan di mana lokasi deringan itu berasal. Apalagi saat ia bolak-balik bersembunyi di lift. Hal itu membuat gadis yang dapat mecuri perhatian tuannya sedikit ketakutan. ‘’Lalu cake itu diberikan kepada seorang wanita di respsionis, Tuan.’’ Jelasnya yang sekaligus mengakhiri cerita tersebut. Valgar tertawa usai mendengar cerita dari Pengawalnya. ‘’Dia tidak menerima pemberianku rupanya. Tidak ku sangka dia memiliki sikap yang sangat hati-hati,’’ Mengingat Agzek sempat bercerita bahwa ia melihat Ambar membawa pemukul baseball di pundaknya. Tidak biasanya ia tertawa seriang itu. ‘’Baiklah, kita kembali ke rumah.’’ Kali ini Valgar benar-benar pulang. Minggu pagi yang cerah, Valgar bangun lebih awal. ‘’Selamat pagi sayang, tumben sekali.’’ Ucap Ibunya. Kemunculan Valgar yang masih mengenakan piama itu sontak mengalihkan perhatian Ayahnya yang sedang fokus membaca koran. ‘’Apa ayah tidak salah lihat?’’ Jika hari libur biasanya Valgar akan bangun lebih siang. Ia yang sedang sibuk mengucek-ngucek matanya itu tidak menjawab sapaan serta pertanyaan dari Orang Tuanya. Saat dirasa nyawanya sudah terkumpul semua, barulah ia menyapa dan menjawab pertanyaan Ibu dan Ayahnya. ‘’Selamat pagi Ibu, selamat pagi Ayah. Jangan keheranan begitu, aku hanya ingin bangun lebih awal saja, tidak lebih.’’ Jawabnya singkat. Tara, asisten rumah tangga Keluarga Johnson meletakkan segelas s**u dan sepiring pancake di hadapan Tuan Muda rumah itu. ‘’Terimakasih.’’ ‘’Sama-sama Tuan Muda.’’ Dengan sigap ia menyiapkan sarapan saat melihat Valgar keluar dari kamarnya. Keluarga kecil itu sedang duduk di halaman belakang menikmati matahari pagi yang menyinari kediaman mereka. ‘’Kemana Agzek, Bu?’’ tanyanya. ‘’Ibu belum melihatnya. Mungkin karena biasanya kau bangun agak siang hal itulah yang menyebabkannya belum kemari.’’ Jawab Adeline yang tengah asik merangkai bunga yang berasal dari mini garden miliknya. ‘’Apakah sebegitu menyenangkannya menyiksa pengawalmu setiap hari?’’ Tanya Ayahnya yang tengah asik membaca koran. Valgar hanya tertawa mendengarnya. ‘’Aku akan pergi berolahraga.’’ Ia beranjak dari kursinya setelah menghabiskan makanannya. ‘’Tapi Agzek belum datang, Nak!’’ Cegah Adeline. ‘’Aku bisa menyetir sendiri, Bu.’’ jawabnya. ‘’Tapi …’’ ‘’Biarkan saja. Dia bukan anak kecil lagi.’’ Sergah Johnson. Menggunakan celan pendek, topi dan sepatu kets berwarna hitam serta jumper training berwarna putih, Valgar siap untuk pergi. Menuju taman di kawasan Orchard Park yang ramai didatangi orang untuk lari pagi. Jauh-jauh ke sana ia ingin melihat gadis yang ditemuinya semalam. Sepertinya keberuntungan berpihak padanya. Ia mendapati Ambar yang baru saja keluar dari pintu lobi seorang diri. Orchard Park Garden, Misi Hari Pertama. 07.45 a.m. ‘’Itu gadisku.’’ Mengenakan tanktop berwarna hitam serta jeans panjang dengan sling bag yang disilangkan di tubuhnya, penampilan Ambar lagi-lagi sukses mencuri perhatian Valgar. ‘’Selamat pagi Nona Muda Ambar.’’ Sapa security di pintu lobi. ‘’Selamat pagi.’’ Balasnya sembari tersenyum. Ambar berjalan kaki menuju sebuah kursi yang terletak di pinggir taman. Valgar yang melihat itu pun berlari menuju Gadisnya. ‘’Padahal tidak terlalu tebal, namun mengapa butuh waktu yang lama sekali untuk menyelesaikannya.’’ Ambar mengeluarkan sebuah buku dari tasnya. Valgar yang melihat gadisnya tengah asik dengan dunianya mengurungkan niatnya untuk duduk di sampingnya. Ia merasa akan sangat canggung jika tiba-tiba mengajaknya berkenalan. Jadi ia memutuskan untuk berpura-pura jogging di depannya. Semilir angin memainkan rambut hitam yang sengaja di gerai itu. Namun Ambar sama sekali tidak merapikannya. ‘’Bagaimana aku memulainya,’’ Valgar menggaruk kepalanya yang tidak gatal. ‘’Hai, aku Valgar. Aku sangat menyukaimu. Tidak, dia akan lari mendengarnya.’’ Saat melewati Ambar, Valgar masih berpura-pura lari dengan pandangan lurus ke depan. Sudah setengah jam Ambar membaca dan setengah jam itu pula ia berlari. Di timpa terik matahari yang setiap menitnya semakin tinggi membuatnya mulai merasa kehausan. ‘’Aku lupa membawa minuman.’’ Ia melihat ke sekelilingnya. Ada sebuah coffe shop tidak jauh dari tempat ia duduk. ‘’Mau kemana dia?’’ Ia melihat Gadisnya beranjak dari tempat duduknya. Saat sedang memesan satu gelas eiskaffe, Ambar melihat seorang gelandangan berjalan kaki di area taman. ‘’Tolong tambah segelas lagi dan sepuluh bagel.’’ Pintanya pada barista yang melayani pesanannya. ‘’Baiklah.’’ Ia berlarian membawa dua gelas kopi dan bungkusan berisi bagel dan melewati Valgar yang sedang berlari untuk menghampiri gelandangan tua yang baru saja duduk di bawah pohon tanpa alas apapun itu. ‘’Selamat pagi Tuan. Bolehkah aku duduk bersamamu?’’ Tanyanya ramah. Gelandangan itu menengadahkan kepalanya. Dilihatnya seorang gadis muda tengah berdiri di depannya. Kebanyakan orang-orang yang berada di sekitarnya menjauhi dirinya dan tidak ingin berurusan dengannya. Namun entah angin apa yang membuat gadis ini mau berada di dekatnya. ‘’Silakan, Nona. Tapi pakaianmu akan kotor jika duduk di sini.’’ Ambar memberikan kopi dan bagel yang tadi dibelinya. ‘’Tidak apa-apa.’’ Matanya berkaca-kaca begitu menerima pemberian tersebut lantaran sudah dua hari ini ia tidak makan. ‘’Terimakasih, Nona.’’ Valgar tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Bukan hanya dia saja, orang-orang yang berada di area juga bereaksi sama halnya seperti Valgar. Padahal ia melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa gelandangan itu banyak dijauhi oleh orang-orang yang berada di sekitarnya. Melihat hal itu, Valgar berhenti berlari dan duduk di kursi yang tadi diduduki oleh Gadisnya. Ambar menikmati minumannya dan memakan bagel dari paper bag yang sama. Mau pria itu kotor atau pun tidak, ia benar-benar tidak perduli. Yang ingin ia tunjukkan kepada orang-orang yang melihatnya adalah bahwa ia baik-baik saja berada di dekat gelandangan ini. Karena itulah jangan menjauhi pria ini seperti melihat hama yang berada di sebuah ladang. Bersikaplah sewajarnya saja. ‘’Tuan, boleh aku bertanya sesuatu?’’ Tanya Ambar memecah keheningan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD