BEAUTIFUL HEART

1638 Words
Gelandangan itu memberinya kesempatan untuk bertanya. ‘’Silakan.’’ Seraya menyantap makanan pemberian gadis yang kini duduk di hadapannya. ‘’Perkenalkan namaku Ambar. Tuan?’’ ‘’Panggil saja aku Edy.’’ ‘’Apa kau tinggal di sekitar sini? Aku belum pernah melihatmu sebelumnya.’’ Tanyanya sambil menikmati bagel. Ambar sama sekali tidak keberatan berbagi makanan dengan gelandangan yang siapapun dapat melihat, betapa kotornya pakaian gelandangan ini. ‘’Baru dua hari yang lalu aku mendatangi tempat ini. Sebelumnya aku tinggal di sebuah gudang tua, namun pemiliknya langsung mengusirku begitu melihatku.’’ ‘’Apa kau memiliki keahlian atau hal-hal yang kau senangi?’’ ‘’Aku senang sekali memasak. Namun sejak kematian istri dan anakku, keinginan dan semangat untuk melakukan hobi itu lagi seketika sirna.’’ Edy berusaha menahan tangis. ‘’Seseorang pergi dari kehidupanmu, tapi bukan berarti kisahmu berakhir. Yang berakhir hanyalah bagian mereka dalam kisah hidupmu.’’ ‘’Benar. Tapi hidupku sudah hancur berantakan. Aku tidak memiliki pekerjaan, uang, keluarga maupun tempat tinggal.’’ ‘’Jangan putus asa! Masa depan seseorang tidak ada yang mengetahuinya. Namun masa depan seseorang bergantung pada apa yang hari ini dilakukannya’’ ‘’Perkataanmu sungguh menenangkan hatiku, Nona.’’ Ucapnya yang tak dapat lagi membendung air matanya. ‘’Apa kau sungguh tidak ingin melakukan hal yang kau sukai lagi?’’ ‘’Ingin sekali. Jika aku memiliki kesempatan itu.’’ Isaknya pelan. Ambar berdiri dari tempatnya duduk sambil membersihkan celananya. ‘’Ayo ikut aku.’’ ajaknya. ‘’Kemana?’’ Tanya gelandangan itu. ‘’Aku akan menjelaskannya nanti.’’ Jelas Ambar. Tidak hanya satu atau dua orang, namun semua orang yang berada di sekitar mereka memperhatikan Ambar dan pria itu. ‘’Kau pasti malu berjalan dengan orang sepertiku, Nona.’’ ‘’Kau tidak akan pernah menjadi dirimu sendiri jika selalu mendengar perkataan orang.’’ tegasnya. Edy melihat sosok gadis yang berada di sampingnya saat ini penuh dengan hal-hal positif. Ia dapat menyentuh hati banyak orang hanya dengan perkataannya saja. ‘’Ini kawasan apartemen. Aku tidak diperbolehkan masuk, Nona.’’ Edy kaget saat Ambar membawanya ke pintu gerbang apartemen. Ambar sudah memberi kode kepada setiap security yang melihatnya untuk membiarkan dirinya membawa Edy masuk. ‘Tenanglah. Mereka tidak akan menyentuhmu.’’ Mereka terus berjalan hingga tiba di food court yang sejajar dengan area parkir di lantai bawah apartemen. Ambar menghubungi seseorang melalu ponselnya dan tak lama setelah itu datanglah seorang wanita dari bagian properti memberikan sebuah kunci kepadanya. Ambar membuka pintu sebuah gerai. ‘’Masuklah.’’ Ajak Ambar. Sebuah gerai kecil yang berukuran empat kali sepuluh meter itu dipilih oleh Ambar untuk memulai perubahan dari hidup Edy. ‘’Untuk apa kau membawaku ke sini?’’ ‘’Pertama-tama yang harus kau lakukan adalah membersihkan dirimu.’’ Nata, pelayan di rumahnya membawa peralatan mandi, beberapa pakaian, serta makanan instant seperti yang diperintahkan oleh Ambar. ‘’Baiklah, Nona.’’ Teriknya matahari membuat Valgar mulai merasa kepanasan. Ia berteduh di gerai kecil di sebelah gerai yang dimasuki oleh Ambar untuk membeli minuman. Valgar duduk dan menyenderkan punggungnya ke tembok berharap bisa mendengar percakapan gelandangan itu dan Gadisnya. Setelah mambersihkan tubuhnya, penampilan Edy sudah jauh lebih baik. Ambar mengajaknya pergi ke supermarket. Dia boleh mengambil apapun yang ia mau. Sementara di gerai, Nata dan Rena tengah sibuk menyiapkan peralatan memasak dan tempat tidur untuk Edy. Valgar yang masih menunggu di gerai itu tidak tau bahwa Ambar pergi. Pasalnya dia sedang fokus melihat jadwal kegiatannya esok hari di ponselnya. Sekembalinya mereka dari berbelanja, Edy mulai mengeksekusi bahan-bahan yang telah mereka beli. Ia membuat sebuah pancake sebesar piring yang disajikannya. Dihiasi dengan madu serta strawberry di atasnya. Dan tak lupa segelas s**u coklat lengkap dengan toping es krim vanilla. Bak pelayan di sebuah restoran, setelah menyajikan makanan itu Edy berdiri tidak jauh dari Ambar. ‘’Biasanya aku menyiapkan menu sarapan ini untuk putriku setiap pagi. Silakan dicoba.’’ ‘’Baiklah.’’ Wajah Ambar yang sangat antusias seketika berubah saat mencicipi hidangan yang disiapkan Edy untuknya. ‘’Bagaimana Nona?’’ ‘’Apakah aku berada di sebuah restoran terkenal?’’ Tanyanya sambil pura-pura memperhatikan keadaan sekitar. Edy tertawa melihat reaksi Ambar. ‘’Aku senang kau menyukainya.’’ ‘’Ini benar-benar enak, Ed. Sungguh! Aku sangat menyukainya,’’ Ambar secara tak sengaja melihat jam di tangannya kirinya. Ia teringat akan sesuatu yang harus membuatnya meninggalkan Edy. ‘’Kau bisa tinggal di gerai ini selama yang kau mau. Jika tidak keberatan, bisakah kau membuatkannya lagi untukku besok?’’ ‘’Tentu saja Nona. Dengan senang hati aku akan membuatkannya.’’ ‘’Besok pagi aku akan berkunjung, maaf aku tidak bisa menemani terlalu lama. Ada hal yang harus ku lakukan,’’ Ia bergegas pergi. Saat hendak melewati pintu gerai, Ambar menoleh ke arah Edy dan berkata. ‘’Kau tidak kehilangan bakatmu Ed, Makananmu sangat enak.’’ ujarnya. Ed melambaikan tangannya seraya tersenyum. ‘’Nona, kau sungguh orang yang sangat baik. Semoga hidupmu dipenuhi kebahagiaan.’’ ucapnya. Ambar hanya tersenyum dan melambaikan tangannya. Orchard Park, Parking Area. 09.55 a.m. Dugaan bahwa gadis itu akan pergi ternyata benar. Ia yang dari tadi menunggu di parkiran sangat senang melihat Ambar berlarian keluar dari pintu lobi. ‘’Mengapa dia berpakaian seperti itu dan terburu-buru?’’ tanyanya. Baru saja ia ingin mengikuti Ambar dari belakang, sebuah pesan dari Agzek baru saja masuk. ‘’Tuan Muda, aku sudah berada di Cave Of Arc.’’ Cave Of Arc adalah sebuah gua yang memiliki tebing curam dan dijadikan sarana olahraga yang dapat menguji adrenalin. Sebelum weekend Valgar berpesan kepada pengawalnya untuk mengingatkannya pergi ke sana pada hari minggu. ‘’Sial, aku lupa.’’ Ucapnya kesal. Akhirnya dia memutuskan untuk tidak mengikuti Ambar lagi dan pergi ke lokasi di mana Agzek berada. Bukan hanya Valgar, Ambar juga lupa bahwa ia memiliki jadwal untuk pergi ke Adra Stable di mana tempat ia biasa berkuda. Mobil mereka berada di jalur yang sama. Dari kejauhan Valgar melihat lampu merah dan ia cepat-cepat menyalip mobil yang berada di depannya agar berada di samping kiri Gadisnya. Ambar terus menerus melihat jam di tangannya, dia tidak memperhatikan bahwa ada seseorang yang dari tadi melihat wajah paniknya. ‘’Aku berharap dapat segera mengenalmu, Nona.’’ Terus memandangi Ambar. Lampu hijau, Ambar yang sudah berbelok ke kanan hilang dari pandangannya. Suara klakson yang berbunyi agar ia segera maju pun menyadarkan lamunannya. Ia segera berbelok ke kiri. Di persimpangan jalan itulah misi hari pertama berakhir. Penthouse, Living Room. 10.25 a.m. Axiar dan Davis sedang asik menonton televisi di ruang tamu. Merasa rumah itu cukup sepi, Axiar pun bertanya kepada suaminya. ‘’Ayah, Putra dan Putrimu kemana? Dari pagi tidak terlihat.’’ Tanya Axiar sambil melihat sekeliling rumah. ‘’Sulung sedang di ruang belajarnya. Bungsu pergi ke Stable.’’ Jawabnya singkat. ‘’Oh iya, tadi kan dia sudah pamit.’’ Axiar menepuk jidat. Karena setiap hari minggu Ambar akan pergi ke Adra Stable untuk mengunjungi Archer. ‘’Aku berjanji kepada Johnson untuk mengunjungi private house miliknya hari ini.’’ Davis menoleh ke arah Axiar yang sedang memandangi wajahnya. ‘’Apa kau bersungguh-sungguh ingin membelinya?’’ ‘’Tentu saja. Jika tempat itu sangat menarik seperti yang ia katakan.’’ ‘’Pukul berapa kita pergi?’’ ‘’Aku akan menghubungi Putri kita terlebih dahulu.’’ Davis mengambil gagang telepon dari meja yang berada di sebelahnya. ‘’Halo, Ayah.’’ ‘’Halo sayang, Apa kau sudah selesai berlatih?’’ ‘’Aku baru saja selesai warm up. Latihanku akan dimulai sebentar lagi. Ada apa, Yah?’’ ‘’Setelah selesai Ayah minta kau segera pulang.’’ ‘’Something wrong?’’ Tanyanya cemas. ‘’No. Ada yang ingin Ayah tunjukkan padamu.’’ ‘’Baiklah, setelah selesai aku akan segera pulang.’’ Dari suaranya yang terdengar riang, Ambar sangat tidak sabar dengan apa yang ingin Ayahnya perlihatkan. Davis menutup panggilan itu. ‘’Sekarang giliranmu.’’ Ucap Davis yang ingin Istrinya segera memberitahukan apa yang dari tadi dibahas kepada Putra mereka. Gantian. ‘’Baiklah.’’ Axiar tersenyum tipis. Tok … Tok … Tok. Seseorang mengetuk pintu. ‘’Silakan masuk.’’ Teriak Ratva. Ruang belajar berukuran sepuluh kali sepuluh meter itu didominasi oleh warna putih. Sisi ruangan yang membelakangi cahaya diisi dengan meja belajar di pojok kanan dan kiri. Serta rak buku yang berada di samping meja belajar itu masing-masing. Di tengah-tengah ruangan terdapat sofa berwarna hitam yang dibentuk menyerupai lingkaran. Dan untuk menambah kesan ramai, rak-rak kecil yang menempel di seluruh tembok diisi dengan potret serta piala-piala milik Adik Kakak itu. ‘’Apa kau sedang sibuk, Nak? Ada yang ingin Ibu tanyakan.’’ Axiar duduk di sofa menghadap ke arah Ratva yang tengah asik membaca buku. ‘’Tidak sama sekali, Bu,’’ Menutup buku yang sedang dibacanya. ‘’Dan aku juga sudah menjaga Ambar dengan baik.’’ Mengakhiri aktivitasnya dan menghampiri Ibunya. Axiar tertawa. ‘’Ibu tau. Namun bukan itu yang hendak Ibu tanyakan.’’ ‘’Lalu?’’ ‘’Ayah dan Ibu ingin mengajakmu melihat sesuatu.’’ ‘’Kapan dan di mana?’’ ‘’Setelah Adikmu pulang. Lokasinya berada di Teluk Orchard.’’ ‘’Mengapa tidak pergi sekarang saja?’’ Apa yang dikatakan Ratva ada benarnya. Jarak dari Orchard Park ke sana memakan waktu kurang lebih satu jam setengah. Sedangkan dari Stable hanya memakan waktu tiga puluh menit. Ambar yang biasa berlatih selama empat puluh lima menit itu dapat tiba lebih awal. ‘’Benar juga. Ambar hanya akan membuang-buang waktu jika pulang terlebih dahulu.’’ pikirnya. ‘’Aku akan bersiap-siap, Bu.’’ Cave Of Arc, Climbing Station. 11.30 a.m. ‘’Selamat siang, Tuan Muda.’’ Sapa Agzek yang melihat kedatangan Tuannya. ‘’Selamat siang.’’ Mengambil berbagai macam peralatan yang sudah disiapkan Agzek untuknya. Ketika Valgar berumur enam belas tahun, ia sering mengunjungi Cave Of Arc. Karena menyewa peralatan rock climbing memerlukan uang cash, Adeline kerap kali dimintai uang tunai oleh Putranya setiap minggu. Valgar yang sangat malas mengambil uang menggunakan debitnya mulai memicu kekesalan Ibunya. Dikarenakan hal itulah lahan seluas lima hektar tersebut sengaja dibeli oleh Johnson atas permintaan istrinya. Suatu hari ketika Ibunya mengunjungi Valgar di sana, ia menjumpai Putranya sedang berteduh di bawah pohon. Tak lama setelah kejadian itu, Johnson membangun sebuah hunian di sana. Walau Valgar tidak menginginkan semua fasilitas itu, mau tidak mau ia harus menerimanya. Setelah mengganti sepatu karet sebagai peralatan safety terakhir, Valgar juga melepas baju yang dikenakannya agar mudah untuk bergerak. ‘’Agzek, ada yang harus ku katakan padamu.’’ ‘’Dengan senang hati aku akan mendengarkannya, Tuan.’’ Jawabnya tegas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD