Ia menatap Agzek sinis.
‘’Aku memberimu kesempatan untuk pergi. ’’ Valgar serius dengan ucapannya.
‘’Apa aku berbuat kesalahan?’’ Agzek tampak bingung.
‘’Aku memberimu pilihan bukan pertanyaan.’’
‘’Aku belajar tentang kesetiaan dari orang-orang yang mengkhianatiku. Tuan Muda tidak pernah berbuat demikian. Jadi aku tidak memiliki alasan untuk pergi.’’ Jawabnya tegas.
‘’Baiklah.’’ Meninggalkan Agzek dan perlahan-lahan mulai menaiki medan.
Ucapan Ayahnya tadi pagi membuatnya sedikit terganggu.
Walau ia menyiksa Agzek dengan semua sikap buruknya, namun jika Agzek memilih untuk tetap tinggal dan bertahan, berarti perlakuannya selama ini benar-benar tidak mengganggu Pengawalnya.
Jadi, ucapan Ayahnya tersebut hanyalah argumen tanpa bukti yang tidak berdasar.
Agzek bertanya-tanya. Mengapa setelah dua puluh dua tahun ia mengabdi baru muncul pertanyaan seperti ini?
Ia membuang pikiran-pikiran buruk yang terlintas di kepalanya. Ia terus memperhatikan Tuannya yang dengan cepat sudah berada lima meter di atasnya.
Di stable, Ambar yang baru saja memasang horse riding helmet di kepalanya bergegas menaiki kuda jantan berwana hitam yang dari tadi sudah berada di hadapannya.
Valgar yang dari tadi menggunakan teknik hooking yaitu mengangkat kedua kakinya untuk mengurangi beban di area tangan telah berada di ketinggian lima belas meter.
Matahari yang menyinari tubuhnya memperlihatkan otot-otot kekar serta abs yang berada di tubuhnya.
‘’Walk.’’ Teriak Ambar.
Kuda bernama Archer itu menuruti apa yang dikatakan Ambar. Ia berjalan lambat seperti yang diperintahkan. Ambar mengapit kedua kakinya ke tubuh Archer dengan kuat.
Di atas Valgar terdapat celah vertikal berukuran lebar. Ia berusaha keras untuk memasuki celah yang berada di ketinggian dua puluh tiga meter tersebut.
Kondisi tangan yang berkeringat menyulitkan Valgar untuk terus bergerak. Ia terus berkutat dengan kesulitan yang ada hingga berhasil masuk ke celah tersebut dan menempelkan punggungnya ke salah satu sisi tebing. Teknik chimneying yang ia gunakan membantunya melalui medan sulit yang terdapat di Cave of Arc.
‘’Trot.’’ Ambar berteriak lagi.
Archer yang berlari lebih cepat membuat tubuh Ambar naik turun karena mengikuti gerakan kuda yang ditungganginya itu.
Di saat yang bersamaan banyak Rider pemula sedang melintas di dekat trek yang digunakan Ambar.
‘’Siapa gadis itu?’’ Tanya salah seseorang kepada pelatih lain yang berada di sampingnya.
‘’Ambar.’’
‘’Dia terlihat sudah sangat mahir.’’
‘’Tentu saja. Dia berlatih sejak umur delapan tahun.’’ Ia berlalu menuju trek lain yang akan ia gunakan bersama rider pemula, termasuk seseorang yang bertanya tadi.
Celah yang lumayan besar tadi dapat dilalui Valgar bukan tanpa kesulitan. Ia harus menggerakkan tubuhnya perlahan-lahan lantaran tidak mengenakan baju.
‘’Ah … susah sekali.’’ Napas Valgar tersengal.
Jika bergerak terlalu cepat, punggung yang bersentuhan langsung dengan bebatuan datar itu akan mendapat banyak luka goresan.
‘’Canter.’’ Untuk yang ketiga kalinya Ambar berteriak.
Archer berlari kencang dan lebih cepat dari sebelumnya. Ambar memegang tali kekang lebih erat. Melihat Archer yang sangat mematuhi perintah Ambar membuat pelatih yang menemaninya terlihat senang.
‘’Good job, Lady. Keep your horse on track.’’ teriaknya.
Valgar menambah kecepatan, celah yang dilaluinya tadi menjadi penanda bahwa sebentar lagi ia akan mencapai puncak.
Empat puluh lima menit berlalu, sesi berlatih telah usai.
‘’Jeff, bisakah kau mengantarkan Archer ke kandangnya. Aku harus bergegas pergi.’’ Ambar menepuk-nepuk seraya mengelus leher Archer.
‘’Baiklah.’’
‘’Terimakasih.’’
Sebelum pergi, Ambar yang sudah melepas helmet dan menggerai rambutnya itu menyempatkan diri untuk memeluk Archer.
‘’Pergilah, dia akan baik-baik saja di sini.’’ Ucap Jeff.
Ambar hanya tersenyum dan tidak berkata apa-apa.
Terlebih saat Archer membalas pelukan tersebut dengan menundukkan kepalanya serta menaikkan kaki kirinya ke punggung pemiliknya itu.
‘’Aku menyayangimu. Sampai jumpa minggu depan, Teman.’’ bisiknya.
Tinggi tebing yang terdapat di Cave of Arc kurang lebih mencapai dua puluh delapan meter. Karena sudah terbiasa menanjak tebing yang sama selama beberapa tahun, dengan cepat Valgar dapat menaklukkannya. Tidak sampai satu jam ia sudah berhasil tiba di puncak.
Dengan napas yang terengah-engah serta matahari yang begitu terik membuat tubuh yang dipenuhi keringat itu terasa panas. Valgar dapat merasakan sensasi segar saat semilir angin menerpa tubuhnya.
Dari atas sana terlihat perbedaan yang sangat signifikan.
Hamparan pepohonan yang begitu lebat mengelilingi perbukitan di mana tebing tempat Valgar berdiri sebagai puncaknya.
Tidak jauh dari puncak tebing terdapat sebuah jalan setapak yang mengarah ke hunian milik Valgar.
Di temani oleh semilir angin yang mengalahkan teriknya matahari, satu persatu ia melepas peralatan climbing yang berada di tubuhnya.
Dalam perjalanannya, Valgar melihat bayangan Ambar yang sedang tersenyum ke arahnya dengan mengenakan gaun yang sama seperti kemarin malam. Saat bayangan itu menghilang. Valgar mengucek-ngucek matanya berulang kali dan baru menyadari bahwa ia hanya berhalusinasi,
‘’Aku tidak bisa berhenti memikirkan dia.’’ gerutunya.
Ia terus menuruni bukit agar segera sampai ke mansion miliknya. Setibanya di depan pintu ia langsung merangsek masuk dan berbaring di sofa.
‘’Jack.’’ teriaknya.
‘’Selamat siang, Tuan Muda. Aku sudah menyiapkan segelas mangoberry favoritmu.’’ Jack menghampiri Valgar dengan membawa nampan yang berisi minuman yang disebutnya tadi.
Valgar cepat-cepat mengambil jus tersebut dan meneguknya. ‘’Ahhhhh …’’ Hilang sudah rasa haus di tenggorokannya.
Ekspresinya yang begitu lega membuat Jack menggigit lidahnya lantaran tidak ingin menertawakan Tuannya.
‘’Aku juga sudah menyiapkan menu makan siang untukmu di meja makan.’’ ucapnya.
‘’Terimakasih Jack. Si mana Agzek?’’ Valgar melihat ke sekelilingnya namun ia tidak mendapati Pengawalnya itu sama sekali. Seharusnya Agzek sudah berada di atas sini sebelum ia selesai
Bentuk Cave of Arc yang menyerupai bukit kecil itu memiliki akses jalan menuju puncak yang tidak terlalu curam. Sehingga memudahkan kendaraan untuk dapat mengaksesnya.
‘’Dia sedang berada di lantai atas, Tuan Muda.’’ Lebih tepatnya memeriksa kamar milik Valgar. Itulah hal penting yang sedang dilakukan Agzek di atas sana. Speak of the devil. Baru saja dibicarakan, tak lama ia muncul.
‘’Aku sudah memeriksa secara detail. Semuanya aman. Tuan Muda sudah bisa menempatinya.’’
Valgar yang sedang berbaring di sofa itu berkata. ‘’Baiklah.’’
Rumah modern yang berada di atas bukit itu memiliki fasilitas kolam renang yang terdapat di luar rumah.
Di lantai pertama, terdapat sebuah ruang tamu yang berhadapan langsung dengan akses pintu keluar masuk.
Masih di lantai yang sama, pada sisi sebelah kanan terdapat meja makan yang menyatu dengan dapur. Sedangkan di sisi kirinya di isi dengan ruang kerja, kamar Jack dan ruang ganti serta jalan keluar menuju kolam renang.
Di lantai dua hanya berisi empat kamar yang salah satunya di tempati oleh Valgar.
Tingginya langit-langit ruangan memberi sirkulasi udara yang sangat baik, walau di luar sangatlah terik.
Beda halnya jika sudah berada di dalam, tanpa menggunakan ac pun seluruh ruangan sudah terasa sejuk, terlebih jika semua kaca yang mengelilingi rumah itu dalam keadaan terbuka.
‘’Apa ada yang kau butuhkan lagi, Tuan Muda?’’
‘’Tidak, aku mau istirahat saja.’’ Bangkit dari tempat ia berbaring dan menaiki tangga.
Agzek memberi isyarat kepada Jack agar tidak membantah apa yang Tuannya katakan. Padahal Jack sudah menyiapkan makan siang untuknya.
Seluruh jendela kaca dan tirai yang terdapat di kamar utama dalam keadaan tertutup.
Lampu yang menerangi ruangan itu memperlihatkan luasnya kamar utama yang menjadi kamar Valgar tersebut.
Jack menggunakan set sprei termasuk selimut berbulu yang sudah tertata rapi di ujung kasur itu dengan warna yang disukai Valgar, yaitu hitam.
Ruangan berukuran sepuluh kali lima belas meter itu memiliki view kolam renang yang berada di bawahnya. Di samping kanan tempat tidurnya terdapat akses jalan menuju wardrobe room yang bersebrangan langsung dan berjarak tiga meter dengan kamar mandi.
Valgar menanggalkan seluruh pakaian yang masih ia kenakan.
Kedua tangan yang di letakkan ke tembok dengan kepala tertunduk tersebut sedang menikmati setiap tetes air yang menghujani tubuhnya tanpa henti.
‘’Apa yang sedang ia lakukan?’’ Ucapnya yang terus memikirkan gadisnya.
Ambar sedang melewati pepohonan pinus yang berada di sisi kanan dan kirinya. Kondisi jalanan yang lengang membuatnya sangat waspada.
Ia terus memperhatikan jalan dan sesekali melihat maps melalui ponsel yang terletak di depannya.
‘’Apa tidak salah? Mengapa jalanannya sangat sepi? Sejak kapan hutan pinus berada di sini?’’
Valgar memejamkan matanya. Berusaha mengingat Ambar yang sedang mengenakan white gown dan tersenyum ke arahnya.
Ambar yang terlihat khawatir itu berusaha untuk tetap tenang lantaran pohon pinus yang di laluinya dari tadi belum juga sampai pada ujungnya.
‘’Gadisku.’’ lirihnya.
‘’Kakak.’’ Ucap Ambar.
‘’Aku sangat ingin bertemu denganmu lagi.’’ Ucap Valgar penuh harap.
‘’Di manakah aku dapat menemukanmu?’’ Keluh Ambar yang berharap bisa segera bertemu dengan Ratva.
Valgar yang menengadahkan kepalanya ke langit-langit lagi-lagi membayangkan awal pertemuan singkat itu. Dengan mata terpejam ia tertawa kecil mengingat Ambar yang ia kira tersenyum kepadanya.
Ambar yang akhirnya menemukan ujung dari hutan pinus itu dapat bernapas lega. Pemandangan baru memanjakan matanya. Pohon pinus digantikan dengan pohon kelapa yang berbaris rapi di sepanjang jalan. Terdengar suara deburan ombak di sepanjang jalan yang ia lewati.
Ia menurunkan jendela kaca seraya berkata. ‘’Keren sekali. Apa ini yang ingin Ayah dan Ibu tunjukkan?’’
Namun dari tadi ia belum menemukan Kakak dan Kedua Orang Tuanya. Sekali lagi ia mengecek posisi maps, ia sudah berada di posisi yang benar.
Sejak Ambar berada di tengah-tengah pesisir pantai, dari kejauhan ia melihat tembok tinggi sepanjang jalan yang terhubung dengan gerbang hitam sebagai ujungnya.
Dengan tinggi mencapai sepuluh meter, Ambar tidak perduli dengan apa yang terdapat di balik gerbang itu. Ia hanya tertarik melihat pantai yang berjarak tidak jauh darinya.
Pantai itu berhadapan langsung dengan tembok yang tadi dilaluinya. Yang mana terletak di sebelah kanan dari pintu gerbang.
Tepat di depan gerbang itu terdapat hamparan pepohonan kelapa yang tanahnya lebih tinggi dibandingkan pantai di sebelahnya.
Antara tanah pepohonan kelapa dan pasir pantai terdapat karang besar yang menjalar dari atas hingga ke bawah laut di tengah-tengahnya.
Walau deburan ombak tak henti-hentinya, jernih dan birunya air laut memperlihatkan betapa besarnya karang yang berada di bawah sana.
Karena penasaran dengan pemandangan di bawah sana, ia memutuskan untuk melangkah sedikit lagi ke tepi.
Namun ia tak sengaja menginjak kerikil yang membuat dirinya tergelincir. Beruntung ia tidak langsung terjatuh. Tapi masalah baru muncul. Dalam posisi serba salah, ia harus mengimbangi tubuhnya agar tidak bergabung dengan karang yang berada di bawah sana.