Di mobil.
‘’Ibu dan Ayah tidak tau tentang kejadian yang menimpaku kan?’’
‘’Tidak.’’ Ratva menoleh sebentar.
‘’Lalu bagaimana kau bisa menemukanku di sana?’’ Tanya Ambar penasaran.
Ratva terus mengikuti mobil Orang Tuanya dari belakang. ‘’Saat sudah tiba di depan gerbang, aku hanya melihat mobilmu saja. Jadi aku mempersilakan Orang Tua kita masuk terlebih dahulu dan memutuskan untuk mencarimu.’’
‘’Karena khawatir’’
‘’Tentu saja.’’
‘’Manis sekali. Lalu bagaimana kau tau aku berada di sana?’’
‘’Jejak dari sepatu berkudamu sangat membantuku.’’ Jelas Ratva.
‘’Terimakasih, Kak.’’ Ambar tersenyum memandangi Ratva. Ia merasa sangat beruntung memiliki seorang Kakak yang selalu menjaganya dan juga selalu ada untuknya.
Penthouse, Dining Room.
03.00 p.m.
Sesampainya di rumah. Ambar yang sudah membersihkan diri itu segera bergabung ke meja makan.
‘’Bagaimana private house? Apa kalian menyukainya?’’ Davis membuka pembicaraan.
‘’Aku sangat menyukainya.’’ Jawab Axiar.
‘’Mengapa ayah ingin membelinya?’’ Tanya Ratva yang tengah asik makan.
‘’Apa kita akan pindah ke sana?’’ Tambah Ambar.
Rena dan Nata yang mendengar pertanyaan Ambar spontan melihat ke arah meja makan.
Saat Davis ingin menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, tiba-tiba saja bel pintu berbunyi. Nata dengan sigap membuka pintu. Ambar yang teringat kejadian kemarin malam itu pun menghentikan aktivitasnya yang sedang menggigit buah.
‘’Siapa yang datang?’’ Tanya Axiar.
Ambar berpikir. Mungkinkan si pengirim strawberry cake itu?
Tak lama seorang gadis mengenakan gaun hitam muncul di depan keluarga mereka. Rupanya tunangan Ratva, Rana.
Ambar bernapas lega dan langsung menyapa Rana. ‘’Halo calon kakak ipar.’’
‘’Haiii.’’ Jawabnya sambil tersenyum ramah.
Ratva berdiri dari kursinya dan menyambut Rana. ‘’Agzek menjemputmu?’’
‘’Tentu saja. Padahal aku sudah berkali-kali mengatakan bahwa aku bisa membawa kendaraan sendiri.’’ jawabnya.
Saat Ratva dan keluarganya pergi ke Teluk Orchard, ia sengaja tidak membawa Agzek bersamanya lantaran Pengawalnya itu diberi perintah untuk menjemput Tunangannya.
Ratva membawa Rana menghampiri kedua orang tuanya. ‘’Cantik sekali Menantuku.’’ Ucap Axiar.
‘’Terimakasih, Bu. Aku dengar rumah yang baru saja dikunjungi sangatlah menarik.’’ Rana tersipu malu namun ia berusaha mencairkan suasana.
‘’Benar sekali. Semoga Calon Ayah Mertuamu mau membelinya.’’
Mendengar itu Davis langsung pura-pura batuk.
Ambar sengaja berpindah posisi ke samping Ibunya agar Rana dapat duduk di samping Ratva.
‘’Terimakasih, Adik.’’ Ucap Ratva yang melihat itu.
‘’Anytime.’’ Ambar terus melanjutkan makannya.
‘’Aku akan menemani Rana ke acara yang ingin dihadirinya. Ayah dan Ibu tidak pergi keluar lagi bukan?’’
‘’Kami akan pergi ke wedding party sahabat Ibu yang sedang menggelar pernikahan putrinya. Pergilah kemanapun kau suka. Tapi ingat, sebelum jam sebelas malam kau harus sudah pulang.’’ Davis menggerak-gerakkan telunjuknya memberi tanda peringatan.
‘’Dengan senang hati aku akan mengingatkannya.’’ Jawab Rana.
Ratva tersenyum menatap Rana.
***
Johnson Residence, Living Room.
06.00 p.m.
Johnson berada di pangkuan Istrinya yang dari tadi asik mengelus-elus kepalanya. Menonton televisi di ruang tamu atau sekedar bercerita satu sama lain dengan posisi demikian adalah hal yang paling disukai oleh pasangan suami istri itu.
Tak heran jika hal itu sering membuat Valgar cemburu.
‘’Tadi Matt menelepon. Dia bilang Davis sudah melihat-lihat rumah di Teluk Orchard.’’ Ucap Adeline.
‘’Benarkah? Aku yakin sekali dia akan menyukainya. Terlebih Axiar.’’ Menyebut nama Axiar membuat Adeline dan Johnson tertawa. Karena sesuatu yang berhubungan dengan real estate sangat diminati oleh istri Davis itu.
‘’Apa Davis sudah menghubungimu, Yah?’’ Tanya Adeline menyelidik.
‘’Belum. Aku rasa dia akan membahasnya besok. Bagaimana dengan Axiar?’’ Ujar Johnson.
‘’Dia juga belum menghubungiku,’’ jawabnya. ‘’Ngomong-ngomong aku belum memberitahu Valgar tentang ini. Apa dia akan menerima rumah masa kecilnya itu di jual?’’
‘’Sejak memiliki hunian di Cave of Arc dia mulai jarang mengunjungi Teluk Orchard. Hal itu dikarenakan ulahmu, Bu.‘’ Ledek Johnson.
‘’Itu juga atas persetujuanmu.’’ Adeline mencubit pinggang suaminya yang membuat Johnson berteriak kesakitan.
‘’Ah … sakit. Hentikan.’’ Pintanya sambil tertawa.
Pelayan di rumah itu berlarian mendatangi sumber teriakan. ‘’Ada apa dengan Tuan Besar, Nyonya?’’ Dengan wajah sedikit panik Tara memberanikan diri bertanya.
‘’Tidak apa-apa. Tolong siapkan makan malam ya.’’ Adeline bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
‘’Baik Nyonya Besar.’’
‘’Seandainya aku mengatakan di gigit badak liar bagaimana? Seisi rumah bisa panik karena ulahmu.’’ Johnson berdiri berjaga-jaga jika istrinya menyerangnya lagi.
‘’Kau bilang aku badak? Kau mau cari mati, Yah?’’ Adeline mengambil bantal di tangan kanan dan kirinya untuk melempar Johnson.
‘’Cintaku. Apa kau merasa aku mengatakannya untukmu? Kau mencubit, bukan menggigit. Benar bukan?’’
‘’Pintar sekali kau berkelit.’’ Adeline tertawa dan meletakkan kembali bantal yang tadi diambilnya.
‘’Kemarilah cinta dihidupku.’’ Johnson mengulurkan kedua tangannya di hadapan istrinya itu.
Adeline pun menyambutnya. ‘’Dari awal berkenalan, gombalanmu itu sama sekali tidak berubah. Aku berharap Valgar tidak mewarisi sifatmu yang genit ini.’’
‘’Rayuan itu hanya dilakukan pada orang yang dicintainya. Tidak sembarangan orang. Ah … aku sangat bahagia memilikimu dan anak kita.’’ Dalam pelukan suaminya, Adeline menepuk pelan d**a Johson, mereka tertawa dan berpelukan lebih erat lagi.
Tara yang sedang menyusun piring di meja makan senyum-senyum sendiri melihat pasangan suami istri yang saling mencintai itu.
Di sebrang tempat duduk Adeline, ia melihat sesuatu yang ganjil di tempat Valgar biasa duduk. ‘’Mengapa kau meletakkan piring di sana?’’ Tanya Adeline kepada Tara. Padahal Putranya itu sedang tidak berada di rumah.
Baru saja Tara ingin menjawab, seseorang mencium pipi kanan Adeline. ‘’Because i`m here, Mother.’’ Ujar Valgar.
‘’Sayang. Sejak kapan kau ada di sini?’’ Tanya Adeline.
‘’Sejak aku melihat pertunjukan Odysseus dan Penelope.’’ godanya.
‘’Kalau Penelope tidak bertemu selama dua puluh tahun dengan suaminya. Sedangkan Ibu bertemu setiap hari.’’ elaknya.
Valgar dan Johnson tertawa. ‘’Dari pagi kau keluar dan jam segini baru pulang. Hebat sekali Putraku.’’
‘’Aku ketiduran,’’ Jawabnya singkat. ‘’Ayah, senin sampai jumat aku selalu ada dalam pengawasanmu. Namun hari libur adalah kebebasanku. ’’ Valgar berusaha membela diri.
‘’Lihat, pintar sekali dia berkelit. Persisi sepertimu.’’ Ujar Adeline kepada Johnson.
Johnson hanya tertawa. Keluarga kecil itu makan malam bersama seperti biasanya. ‘’Bagaimana Orchard Park? Ayah dengar kau membutuhkan waktu satu minggu untuk menyelidiki apartemen itu.’’ singgungnya.
‘’Benar.’’
‘’Apa sesulit itu?’’
‘’Kenapa harus menyuruhku jika Ayah bisa mendapatkannya dengan mudah?’’
Adeline tertawa mendengar jawaban yang disertai pertanyaan itu.
‘’Kau memang pintar berkelit, Nak.’’ Johnson membenarkan ucapan Istrinya.
Valgar hanya tersenyum dan melanjutkan makan malamnya. ‘’Sayang, Ibu dan Ayah akan pergi sebentar lagi. Maukah kau ikut?’’
‘’Kemana, Bu?’’
‘’Wedding party.’’ Jawab Adeline.
‘’Tidak mau.’’
‘’Kenapa?’’ Jawabnya lagi.
‘’Aku ingin tidur saja.’’
‘’Bukankah kau baru pulang selarut ini karena ketiduran di sana?’’ Pertanyaan Adeline sungguh menjebak.
Valgar memejamkan matanya dengan ekspresi menyesal, dia salah bicara.
‘’Kena kau. Bersiap-siaplah setelah makan malam usai.’’ Cecar Johnson.
‘’Ayah, Ibu.’’ Memasang wajah memelas.
‘’Ibu tidak ingin mendengar selusin alasanmu itu.’’
‘’Ayah tidak bisa menolongmu, tinggal ikut saja apa susahnya sih.’’
Tidak ada yang bisa ia lakukan kecuali menuruti apa yang diminta oleh Orang Tuanya. Karena sesungguhnya ia tidak bisa mengeluarkan berbagai argumen lagi.
Setibanya mereka di parkiran wedding venue. ‘’Bu, haruskah aku keluar? Bagaimana jika aku menunggu di sini saja?’’
Sangking Valgar benar-benar harus pergi bersama ia dan suaminya, Adeline tidak memperkenankan Valgar mengendarai mobilnya sendiri. Bahkan Agzek dan Jordan tidak diizinkan ikut. Ia seperti anak kecil yang sedang duduk di kursi belakang dan memperhatikan orang tuanya mengobrol.
‘’Ayo keluarlah, Nak.’’ Pinta Johnson.
Valgar menurut untuk keluar dari mobil. Suami dan putranya mengenakan setelan jas, sedangkan Adeline mengenakan black dress. Adeline menggandeng mereka di kanan dan kirinya sekaligus lalu memasuki area resepsi. Begitu masuk banyak orang yang mengenali keluarga kecil itu.
‘’Johnson.’’ Seseorang melambaikan tangan dan menyapa Johnson.
Tak hanya satu, namun beberapa orang tampaknya sangat ingin berbicara dengan Orang Tuanya. Menyadari hal itu, Valgar pun melepas gandengan Ibunya dan membuntuti mereka dari belakang.
‘’Alesha, bagaimana kabarmu?’’ Tanya Adeline pada salah satu pasangan yang tadi memanggilnya.
‘’Johnson, kau kemari juga?’’
‘’Aku baik, bagaimana kabarmu?’’
‘’Sangat-sangat baik.’’ Adeline dan Alesha tertawa.
‘’Istriku yang mengajakku kemari. Apa kau baru kembali dari LA?’’
‘’Benar, aku baru saja tiba tadi pagi.’’
Percakapan terdengar samar-samar karena Valgar sudah pergi menjauh dari Orang Tuanya.
Ballroom hotel dihiasi dengan dekorasi yang sangat indah. Karpet merah yang bertabur berbagai macam bunga, lampu Kristal yang berada di langit-langit, singgasana pengantin yang sangat mewah, serta lampu-lampu berwarna warni yang menyinari ruangan itu dengan cantiknya.
Valgar yang sedang lewat diantara kerumunan orang membuatnya menjadi center of attention dari para tamu undangan. Postur tubuh yang tegap, wajah yang tampan ditambah mengenakan setelan jas serba hitam membuatnya terlihat sangat gagah dan keren.
‘’Siapa dia?’’
‘’Tampan sekali.’’
‘’Dia sendirian tidak ada yang mendampinginya.’’
Valgar yang mendengar semua bisikan-bisikan itu tidak memperdulikan mereka sama sekali. Sesampainya di tempat yang ia tuju, Valgar tersenyum melihat strawberry cake yang sudah di potong dadu. ‘’Ini kesukaanya,’’ Ia pun langsung mencicipinya. ‘’Enak.’’
Sebenarnya tujuan Valgar bukan ke food buffet, namun di sebelahnya yaitu wine table. Ia mengambil salah satu gelas wine dan meneguknya.
‘’Hai.’’ Seseorang menyapanya.
Sebenarnya ia sudah selesai meneguk, namun Valgar berpura-pura sedang minum yang mana ia masih menempelkan bibirnya di gelas.
Hal itu sengaja dilakukannya agar wanita yang menyapanya ini segera meninggalkannya.
Benar saja, trik itu berhasil. Baru saja ia bernapas lega namun datang satu orang gadis lagi yang menyapanya.
‘’Halo.’’
Mau tidak mau dia harus menjawab sapaan itu. ‘’Hai.’’ Jawabnya dingin.
‘’Kenalkan, namaku Sofia.’’ Mengulurkan tangan untuk bersalaman.
Dengan terpaksa ia harus menyambut jabatan tangan itu. ‘’Isac.’’ jawabnya.
Dari kejauhan Orang Tuanya melihat Valgar sedang mengobrol dengan seorang wanita.
‘’Isac, apa kau datang ke sini seorang diri?’’ Tanya Sofi.
‘’Tidak.’’ Jawabnya ketus.
Semakin dingin sikap Valgar, anehnya wanita ini malah tetap berada di hadapan Valgar.
‘’Apa kau seorang pengusaha muda?’’
‘’Aku diminta untuk menjaga dua orang yang ada di sana.’’ Menunjuk Ayah dan Ibunya.
‘’Kau seorang bodyguard?’’
‘’Aku hanya mengawal. Itu saja.’’
‘’Baiklah. Sampai jumpa.’’ Sofi yang awalnya sangat antusias bisa mengobrol dengan Valgar, kini malah bersikap sebaliknya.
Valgar sengaja membohonginya agar wanita itu tidak mengganggunya lagi. Walau gadis-gadis yang berada di acara itu mengenakan gaun-gaun mewah untuk dapat terlihat cantik, namun tetap saja tidak dapat menyaingi cantiknya gadis yang selalu ia pikirkan.
Sambil tertawa kecil Valgar terus meneguk wine yang berada di tangannya. Matanya menyapu semua tamu yang hadir mencari-cari keberadaan Orang Tuanya. Setelah menemukannya, Valgar ingin melanjutkan minum lagi. Namun keinginannya itu ia hentikan saat menyadari gadis yang membuatnya ingin kembali ke Orchard Park berada diantara keramaian itu.
‘’Dia …’’