Kebetulan

1621 Words
“Jangan-jangan kita jodoh ....” “Ah, apa?” tanya Adinda dengan membelalakkan mata bulat kecil yang semakin membuatnya terlihat menggemaskan di depan Warja. “Nggak apa-apa, Dinda. Lupakan saja,” kekeh Warja dengan mengibaskan tangannya. “Saya turun di Jatibarang, kamu tu-” “Jatibarang juga,” potong Dinda sebelum Warja melanjutkan kalimatnya. “Kok bisa sama ya, ini kebetulan yang sangat menyenangkan,” celetuk Warja yang hanya ditanggapi senyum malu-malu dari Adinda. “Tujuanmu kemana?” “Aku mau ke ... kemana ya? Lupa ...,” kekeh Adinda menggaruk tengkuknya dengan senyum salah tingkah. “Kok bisa lupa? Terus nanti dari stasiun kemana?” tanya Warja yang semakin tertarik untuk terus mengobrol dengan Adinda untuk menghilangkan rasa suntuk di perjalanan yang biasanya dia rasakan. “Dijemput sama teman-teman. Mereka sudah tiba di sana sejak kemarin, tapi dari Bogor aku pulang dulu ngambil sangu mas,” aku Adinda dengan memamerkan senyum yang memperlihatkan deretan gigi putihnya yang tersusun rapi. “Oh, KKN?” tebak Warja dari jaket yang Adinda pakai tertangkap tulisan KKN. “Iya, Mas.” Obrolan terus berlanjut apalagi ternyata Adinda kuliah di Institut Pertanian Bogor dan yang lebih mencengangkan lagi, dia juga sama seperti Warja yang mengambil ilmu proteksi tanaman. Sebuah kebetulan yang terus saja membuat mereka terlibat obrolan hangat hingga panggilan saya kamu pun berganti menjadi aku kamu sebagai tanda kalau sudah tidak ada lagi kecanggungan di antara mereka berdua. “Ini kalau kebetulan seperti ini bisa berlanjut ke pelaminan mah Bagus ya, Din,” canda Warja di tengah obrolan mereka yang langsung membuat Adinda membulatkan matanya dengan kening yang berkerut. Tawa Warja kembali menggema hingga beberapa penumpang melirik ke arah mereka. Dinda yang menyenggol kaki Warja membuat Warja menutup mulutnya seketika. “Tawa kamu mengganggu tahu. Lihat, orang-orang jadi kepo kan,” bisik Adinda lirih. “Sorry ... sorry ... habis ekspresi kamu lucu,” timpal Warja dengan menekan suaranya agar tidak terdengar penumpang lain. Lima jam perjalanan di kereta kali ini benar-benar menyenangkan untuk Warja. Adinda memang cukup humble hingga membuat Warja merasa nyaman bersamanya. Adinda juga banyak bertanya pada Warja tentang pengalaman Warja semasa KKN, bagaimanapun Warja sudah lebih berpengalaman dibandingkan dirinya hingga Adinda merasa perlu mendengarkan cerita Warja selama masa KKN dan menjalankan proses skripsinya. Tak terasa, kereta sudah berhenti di stasiun Jatibarang-Indramayu tujuan mereka. Warja langsung menggendong tasnya, dia juga membantu Adinda menenteng tas jinjing yang cukup besar. Adzan magrib baru terdengar saat kaki mereka melangkah menuruni kereta. Adinda sudah dijemput teman-temannya yang melambaikan tangan sejak mendapati Adinda turun dari kereta. “Terima kasih ya, Mas. Semoga bisa bertemu lain waktu,” kata Adinda saat menerima tas jinjing yang diulurkan Warja. Badan mungilnya langsung berlari menuju ke arah teman-temannya. “Adinda ... nomor HP,” teriak Warja yang sudah tentu tidak lagi didenger Adinda yang sudah berjarak jauh dengannya. Warja hanya bisa menepuk dahi dan menyugar rambutnya dengan kasar. ‘Bodoh, kenapa bisa lupa tanya nomor HP,’ gerutunya memaki diri sendiri. Warja berjalan menuju musala yang berada di stasiun kereta. Dia langsung menghubungi Wahyu dan memberi tahu kalau sudah berada di stasiun dan akan salat magrib terlebih dahulu. [Sepuluh menit lagi.] Sebuah pesan balasan dari Wahyu langsung membuat Warja menuju tempat wudu dan bergegas menunaikan salat Magrib sebelum keluar dari area stasiun. Rumah mereka berjarak kurang lebih satu jam perjalanan dari stasiun kereta. Namun, dirinya sudah terlebih dahulu mengabarkan pada Warja saat kereta sudah semakin dekat dengan tujuan dia turun. Usai salat Warja langsung keluar stasiun dan langsung berjalan kaki untuk menunggu Wahyu di pertigaan jalan besar seperti yang diinstruksikan Wahyu padanya. Benar saja, Warja sudah melihat mobil bak milik Wahyu terparkir di samping jalan, dia segera berjalan menghampiri Wahyu yang sudah berdiri di samping mobil dan sedang mengobrol dengan Tarman, tetangga rumah mereka. “Mas ...,” sapa Warja yang langsung mencium punggung tangan Wahyu begitu dia berhadapan dengan sang kakak. “Wah, setahun tinggal di pegunungan jadi putih nih, Ja,” celetuk Tarman yang berdiri di samping Wahyu. Warja juga langsung berjabat tangan dengan Tarman dengan melemparkan senyum untuk menanggapi celetukan Tarman. “Ja, Mas mau ngantar Tarman ke rumah sakit nengok Ibu Iyus, kakak Tarman. Dia baru melahirkan. Kamu nggak apa-apa pulang sendiri?” tanya Wahyu pada sang adik. “Nggak apa-apa Mas, aman kan nggak punya Sim juga?” tanya Warja pada Wahyu. “Aman, tadi nggak ada polisi jaga kok.” “Ya, sudah, salam buat Ibu Iyus ya, Mas,” ucap Warja saat menerima kunci mobil dari Wahyu. Setelah Wahyu dan Tarman berlalu dengan sepeda motornya, Warja langsung masuk ke dalam mobil dan mengemudikannya ke arah rumah yang sudah setahun ini dia tinggalkan. Tak terasa waktu satu tahun begitu cepat berlalu. Selama satu tahun bekerja bersama Marjuki, Warja memang belum pernah sekalipun pulang ke rumahnya. Jarak dan perjalanan yang cukup jauh membuat Warja sungkan untuk pulang. Padahal sang ibu selalu menantikan kedatangannya meskipun setiap hari Warja selalu menyempatkan diri untuk melakukan panggilan video pada sang ibu. Namun, tetap saja itu sama sekali tidak mengurangi kerinduan yang Juminah rasakan pada sang putra. “Laper sih,” gumam Warja sembari mengusap perutnya. Dia lupa kalau belum makan sejak sarapan terakhir sebelum berangkat ke rumah Marjuki. Warja menghentikan mobilnya di depan salah satu rumah makanan langganan dia dan Wahyu saat masih rutin mengirim hasil pertanian dari desanya ke para pedagang di pasar Jatibarang yang tidak jauh dari stasiun kereta api. “Bi, nasi campur satu sama empal, minumnya teh tawar hangat,” pesan Warja sebelum duduk di meja yang terlihat kosong. “Eh, ini Mas Warja bukan sih?” tanya pemilik warung yang pangling melihat Warja yang terlihat lebih bersih saat mengantarkan pesanan Warja ke mejanya. “Iya, Bi. Lebih ganteng tah?” kekeh Warja dengan nada bercanda yang langsung ditimpali tawa pemilik Warung yang terdengar begitu renyah. “Selamat makan, Mas.” “Terima kasih, Bi,” ucap Warja sebelum menikmati makanan yang sudah terhidang di depannya. “Mantap,” desis Warja memuji empal gentong yang sedang dia nikmati. Tak perlu waktu lama untuk Warja bisa menghabiskan semua makanan yang dipesannya karena dia memang benar-benar merasa lapar. Warja langsung pulang begitu makanannya habis karena tidak mau terlalu malam tiba di rumah. Sang ibu pasti sudah sedari tadi duduk di depan teras menunggunya pulang sehingga Warja langung melajukan mobilnya dengan cepat menuju arah pulang. Begitu masuk ke jalanan yang menuju desanya, jalanan sudah cukup lengang. Tak banyak warga desa yang melakukan perjalanan malam karena memang jalan sepi yang Warja lewati kanan kirinya hanya sawah atau pepohonan rindang saja. “Tolong ... tolong ....” Sebuah teriakan yang lebih terdengar seperti suara wanita yang sedang merintih tertangkap telinga Warja. Sejenak Warja menghentikan mobilnya, dia harus waspada karena di jalan ini biasanya banyak begal yang berkeliaran. Jangan sampai dia tertipu jeritan permintaan tolong tersebut yang dia takutkan hanya sebuah jebakan untuk membuat dirinya keluar dari mobil. “To-long, jangan ... jangan ....” Kembali Warja mendengar suara teriakan yang kini terdengar bercampur dengan sebuah isakan. Kepalanya terus berputar mencari dimana sumber suara berasal. Suara seorang gadis yang terdengar begitu membutuhkan pertolongan. Warja meraih ponselnya untuk terlebih dulu menghubungi sang kakak. Seringnya begal beraksi di sini membuat Warja tidak gegabah mengambil sebuah tindakan yang takutnya malah membahayakan dirinya sendiri. “Mas ...,” sapa Warja dengan terburu-buru begitu Wahyu mengangkat panggilannya. “Mas aku ada di toang. Ini ada yang menjerit minta tolong,” sambung warja dengan segera. “Kamu lanjut saja, langsung pulang. Takutnya itu hanya jebakan saja,” suruh Wahyu memberi saran pada adiknya. “Tapi, ini kayak beneran butuh minta tolong Mas, aku dengar suaranya campur dengan isakan,” kata Warja yang sudah tidak tega mendengar jeritan suara gadis yang terus minta tolong. Sesekali dia juga mendengar suara tawa pria. “Aku keluar saja ya, Mas. Nggak tega aku dengarnya.” Warja langsung mematikan telepon. Dia mengambil sebuah pentungan kayu yang ada di bawah kakinya. Entah kenapa pentungan kayu besar ini ada di sana, yang jelas itu akan dia gunakan sebagai senjata. Perlahan dia keluar dari mobil dan mendekati sumber suara yang terus meminta tolong. “b******k ... kamu tidak akan bisa lolos dariku manis. Malam ini aku akan membuatmu puas dengan tonggakku,” ucap seorang pria disertai tawa yang begitu jelas tertangkap telinga Warja. Warja mematikan bunyi ponselnya, dia hanya mengirimkan lokasi terkininya pada Wahyu dan beberapa pemuda desa yang dikenalnya. Untuk segera meminta bantuan. “Jangan pak ... tolong jangan lakukan itu pak ...,” isak seorang gadis yang kini bisa Warja lihat dengan matanya. Seorang gadis yang terus berangsur menggeser pantatnya untuk berusaha menjauh dari pria berbadan besar dengan banyak tato di tangannya. Bukan hanya itu, Warja juga melihat kerudung dan tas yang mungkin milik si gadis tergeletak di semak-semak. Isaknya kini terdengar semakin menyayat hati saat si pria berhasil merobek bajunya hingga sebelah bagian d**a si gadis terlihat jelas karena bajunya yang koyak. “Ja-ngan ....” “Jangan lama-lama, tenang saja sayang lihatlah dia sudah besar hanya karena aku melihat dadamu yang mulus,” kekeh sang pria dengan menurunkan resleting celananya. “Ja-” Bugh ... bugh ... bugh .... Tiga kali Warja langsung memukul si pria hingga pingsan, dia langsung melepas jaket yang dia pakai dan memberikannya pada si gadis. “Pakailah, ayo kita pergi,” ajak Warja segera menuntun sang gadis dan memungut kerudung dan tas yang tergeletak di samping semak-semak. “Masuk, kunci pintunya,” perintah Warja pada gadis yang badannya masih gemetar karena ketakutan. Setelah memastikan pintu mobil terkunci, Warja langsung mengambil tali di bak mobil Wahyu dan kembali ke tempat dimana sang pria terkapar untuk mengikatnya sebelum dia sadar. Namun, naas untuk Warja, si pria ternyata sudah tidak lagi tergeletak di sana. Begitu dia berbalik untuk menuju mobil, sebuah pisau sudah di arahkan tepat di depannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD