Gulat

1865 Words
“Macam-macam kamu ya.” Seringai jahat terlihat di wajah menyeramkan yang di lengannya dipenuhi banyak Tato. Warja memasang kuda-kuda meskipun dia berharap akan ada sedikit pertolongan datang. Kenapa jalan ini benar-benar lengang hingga sedari tadi tidak ada satu pun yang lewat. “Maju,” tantang Warja menggerakkan jemarinya mengundang sang preman untuk menyerang terlebih dulu. Baku hantam tidak terelakan, adu tendang dan saling pukul berlangsung di depan mata sang gadis yang berada di dalam mobil. Ponsel milik Warja berkedip, segera dia mengangkat telepon tanpa merasa perlu meminta izin terlebih dulu pada si empunya yang sedang beradu tenaga dengan preman yang tdai menyamar sebagai tukang ojek, “Halo, halo tolong. Tolong kami,” teriak si gadis begitu sambungan terhubung. “Warga yang membantu sedang ke sana, kalian masih aman?” tanya Wahyu tanpa menanyakan siapa yang mengangkat teleponnya. “Itu yang punya mobil sedang bergulat, premannya pegang pisau,” lapor si gadis membuat Wahyu menepuk pundak Tarman agar memacu motor dengan cepat. “Tunggu, kami segera sampai,” ujar Wahyu. Telepon dia matikan sepihak. “Man, cepat. Si Warja adu gulat, premannya bawa pisau.” “Ini sudah cepat, kamu telepon pak Kades sama perangkat desa. Suruh mereka ke sana rombongan, telepon polisi juga. Dari pada suruh aku cepat-cepat mulu.” “Wahyu tidak menjawab, segera dia menghubungi beberapa nomor yang tadi disarankan Tarman. Pikirannya sudah berkecamuk. Rasa khawatir membuat dia terus saja menelepon orang-orang meminta bala bantuan. Sementara Warja masih berjuang mempertahankan diri. beberapa sayatan pisau runcing sudah membuat lengannya mengeluarkan darah. Namun, dia tidak mau menyerah. Dia kalah, berarti dua nyawa yang akan jadi korban malam ini. Tawa menggema terdengar amat mengerikan dengan keringat yang bercucuran di wajah dan sekujur tubuh sang preman. “Menyerah saja b*****h! Kamu tidak akan mampu melawanku,” ujarnya melihat Warja mulai kewalahan. Warja mundur hingga badannya mengenai bagian depan mobil, si preman maju menyerang dengan pisau lurus teracung ke arah perut Warja. Si gadis di dalam mobil sudah menjerit melihat pemandangan yang disangkanya bakal membuat Warja tumbang. Namun Warja melompat dengan kedua tangan berpegangan pada bagian depan mobil, kedua kakinya berhasil menendang dan membuat si preman jatuh ke tanah dengan pisau yang terlempar entah ke mana. Suara motor dengan lampu yang menyala membuat Warja sigap melompat dan duduk tepat di paha sang preman untuk menahan agar dia tidak kabur. “Ja, kamu baik-baik saja?” Halim yang masih kerabat Warja langsung berlari mendekat dan membantu mengunci tangan si preman yang terus meronta. Pak Kades dengan beberapa warga dan perangkat desa yang ditelepon Wahyu pun ikut datang. “Ini ada korban tidak, Ja?” tanya pak Kades mengingatkan Warja pada gadis yang dia suruh bersembunyi di dalam mobil. “Belum ada pak, itu di dalam mobil. Belum terjadi apa-apa, baru kerudungnya saja yang terlepas,” beber Warja sesuai dengan apa yang dia tahu. Pak Kades meminta beberapa warga membawa preman yang sudah berhasil diringkus menuju kantor polisi terdekat. Sementara dia mengajak Warja menuju mobil untuk menanyai identitas gadis yang sudah diselamatkan warja malam ini. Warja mengetuk pintu mobil meminta si gadis membuka kunci mobil. Auratnya sudah kembali tertutup meski ketakutan masih terpancar jelas dari wajahnya. “Terima kasih, Mas. Terima kasih,” ujarnya dengan terbata-bata dan bersiap turun dari mobil dengan memeluk tas di depan tubuhnya. Badannya masih bergetar, matanya awa melirik semua yang masih bertahan di sana. Takut masih menyelimuti, tapi dia yakin kalau orang-orang yang kini ada di dekatnya bukanlah orang jahat seperti sang preman tadi. “Adik ini dari mana?” tanya pak Kades membuat perhatiannya beralih fokus, kepalanya bergerak perlahan menuju ke arah pak Kades berdiri. “Dari pesantren Al Hikmah, Pak. Mau pulang ke rumah,” jawabnya masih dengan suara bergetar. “Ini adik tidak dijemput orang tuanya?” Dia menggeleng, kali ini dia mengaku salah karena kepulangannya bukan hanya tanpa diketahui orang tua. Namun, dia kabur pulang dari pondok tanpa berpamitan dengan Bu Nyai dan para pengurus. Inilah akibat yang dia dapat dari sikap sembrono dan mementingkan keegoisannya. Untung Warja datang tepat waktu, kalau tidak. Dia sendiri tidak bisa membayangkan apa yang akan dilakukan si preman padanya. “Adik tinggal di mana?” tanya pak Kades lagi. “Di Sana pak, di blok Tengkur Lor dekat dengan pabrik selip.” “Oh, anaknya wa Dulah ya, Nok,” tebak Halim yang kenal dekat dengan orang tua si gadis dan pernah mendengar kalau salah satu putrinya mondok dan ngaji di pesantren Al Hikmah. “Inggih, Mang. Aku Isma, anak kedua bapak Dulah,” akunya memperkenalkan diri. “Ya sudah kalau begitu Warja sama kamu antar dia pulang, Lim, naik mobil. Nanti biar motor kamu dibawa sama Sapri, bagaimana Pri?” “Siap pak Kades, aku yang bawa motor Halim. Kamu antar si Warja ke rumah Wa Dulah. Itu kasihan si Nok masih ketakutan. Cepat antar pulang, Ja,” suruh Sapri. Warja kembali membuka pintu mobil dan meminta Isma naik kembali, tapi belum juga Warja naik ke dalam mobil motor Wahyu dan Tarman tiba di sana. “Ja, bagaimana Ja? Kamu tidak apa-apa?” tanya Wahyu melihat di lengan Warja terlihat banyak luka. “Ya Allah, Ja. Aku sampai tidak ngeh kalau kamu berdarah begitu. Yu, Warja pulang saja ke rumahmu sama Tarman. Kamu antar Isma ke rumah Wa Dulah,” perintah pak Kades menunjuk Isma yang sudah berada di dalam mobil. “Tahu, tahu, Pak. Biar aku saja yang antar dia pulang. Kamu pulang ke rumahku dulu, Ja. Biar Lelis obati kamu baru pulang ke rumah Mak. Takutnya Mak dan bapak malah was-was lihat kamu penuh luka begini.” “Baik, Mas. Aku sama Mang Tarman pulang dulu,” pamit Wahyu langsung naik ke boncengan motor Tarman. “Pak Kades, ini apa tidak sebaiknya pak Kades antar ke rumah Wa Dulah juga. Aku ya bingung menjelaskan kalau aku sendirian ke sana,” pinta Wahyu dengan tidak enak hati. “Oh, ya sudah hayu. Aku di depan ke rumah Wa Dulah antar kamu. Yuk, bubar sudah selesai,” ujar Pak Kades sembari menuju motornya. Mereka bergerak kembali menuju desa. Di dalam mobil Isma terus diam dengan memeluk erat tas yang dia bawa. Sesekali Wahyu meliriknya meskipun tidak berani mengeluarkan satu tanya pun. Pak Kades sudah sampai terlebih dulu di rumah Dulah, begitu mobil Wahyu berhenti Isma langsung keluar dan berlari memeluk sang ibu yang baru saja keluar dari dalam rumah. “Mimi, maafkan Isma, Mi. Mimi, Isma takut, Isma takut,” isaknya dengan badan bergetar menangis dipelukan sang ibu yang dipanggil Mimi. “Ini kenapa toh, Pak Kades? Wahyu? Isma ini kenapa?” tanya Ranti-ibunda Isma. “Aku juga tidak paham, Wa, ini pak Kades yang tahu.” Wahyu melempar tanya Ranti pada Pak Kades. “Ya sudah, masuk dulu, Pak Kades, Wahyu, kita ngobrol di dalam,” ajak Dulah membuka lebar daun pintu rumahnya. Wahyu sebenarnya ingin langsung pulang, tapi apa yang terjadi berkaitan dengan sang adik sehingga dia memutuskan ikut masuk dan duduk di samping pak Kades. “Tadi aku sedang di rumah sakit sama Tarman, Wahyu telepon. Dia bilang dengar jeritan minta tolong di toang, aku suruh dia lurus saja karena takutnya itu jebakan. Eh, ternyata itu Isma yang meminta tolong.” Wahyu mengawali ceritanya setelah mereka semua duduk di kursi ruang tamu rumah Dulah. Hanya Isma saja yang duduk di lantai dengan wajah yang terbenam di pangkuan Ranti, badannya pun masih terus bergetar menandakan kalau tangisnya belum usai. “Terus setelah itu aku tidak apa yang terjadi Wa. Di sana aku telepon si Halim buat ajak warga susul si Warja ke toang. Pas aku telepon lagi itu yang angkat sudah Isma, dia bilang Warja duel gulat sama preman, paniklah aku. Aku telepon saja pak Kades dan lainnya,” lanjut Wahyu. “Pas kamu telepon aku sudah di jalan, makanya tidak diangkat, Yu. Ini pas kami sampai itu preman juga sudah kalah sama Warja. Lebih jelasnya Wa Dulah sama Wa Ranti tanya saja sama Nok Isma,” sambung pak Kades. Hanya saja melihat Isma yang masih terus menangis dan belum bisa ditanya apa pun. Pak Kades dan Wahyu langsung berpamitan. Wahyu segera tancap gas membawa mobil ke rumahnya untuk memastikan keadaan Warja. Begitu tiba di rumah, Warja sedang meringis saat Lelis membubuhkan antiseptik untuk membersihkan luka Warja. “Ya Allah, Ja. Kamu sudah beneran mirip jagoan kalau penuh luka begitu,” ujar Wahyu begitu masuk ke dalam rumah. Lelis memberikan botol cairan antiseptik pada Wahyu, dia beralih duduk di kursi lain dan membiarkan Wahyu yang mengobati luka adiknya. “Ini bagaimana ceritanya sih Mas. Kok bisa kamu jemput Warja, tapi dia malah pulang sendirian.” Lelis setengah mengomel karena suaminya sore tadi berpamitan untuk menjemput Warja, bukan ke rumah sakit bersama Tarman seperti apa yang tadi Warja ceritakan. “Aku kasihan sama Tarman, Lis. Lagian aku pikir si Wahyu itu naik mobil, amanlah dia bawa mobil sendirian lewat toang. Mana aku tahu kalau kejadiannya malah seperti ini.” “Terus itu cewek yang katanya anak wa Dulah siapa Mas? Ismatul Maula siswaku bukan?” tanya Lelis mengingat nama Isma yang dulunya cukup aktif di kelas yang dia ajar dan setelah lulus SMP dia melanjutkan sekolah sekaligus mondok di pesantren Al Hikmah. “Iya, Isma yang itu. Aku saja pangling, Lis. Dia sudah gadis, dulu sering bolak-balik ke sini.” “Terus Isma tidak apa-apa, Ja?” Lelis beralih menatap Warja. Yang masih meringis setiap kali kapas yang dipegang Wahyu mengenai luka sayatan pisau di lengannya. “Mungkin shock saja, Mbak, baru kerudungnya saja yang terlepas.” “Alhamdulillah, kamu datang tepat waktu ya Ja?” Warja mengangguk, ketiganya terus saja membahas kejadian di toang tadi. Sementara di rumah Isma, kini tangisnya sudah terhenti. Perlahan dia mengulang reka adegan saat di toang tadi. Berawa dari dia mengira si preman itu tukang ojek dan Isma tidak melihat tato di lengan sang preman karena jaket yang dia kenakan. Berlanjut si preman bilang hendak buang air kecil dan berhenti di semak-semak, hingga dia kemudian diancam dan akan diperkosa. Namun, beruntung Warja datang menolongnya hingga tidak terjadi apa pun pada Isma. “Ya Allah, Nok. Mimi utang budi ini sama si Warja. Kalau dia tidak datang, entah seperti apa kamu ini. Lain kali kalau pulang itu izin dulu, Nok. Minta jemput sama kakakmu. Jangan kabur seperti ini, tidak berkah, malah begini jadinya.” “Maaf, Mi. Isma salah, maaf,” sesal Isma. Dulah muncul di ambang pintu sembari membawa ponsel di tangannya. “Bapak sudah telepon Bu Nyai dan bilang kalau Isma pulang tanpa izin.” Isma menunduk semakin merasa bersalah pada ibu dan bapaknya, juga pada Umi Nyai yang pasti ikut mengkhawatirkannya. “Kamu istirahat dulu, Is. Besok kita main ke rumah Warja buat terima kasih sama mereka. Ayo, Mi, kita keluar dulu. Biarkan Isma istirahat.” Dulah mengajak Ranti keluar dari kamar putri mereka. “Pak.” Lirih Isma memanggil Dulah hingga kedua orang tuanya berdiri serampak memandang Isma. “Kenapa, Nok. Kamu sudah aman di sini. Insyaallah tidak akan terjadi apa pun sama kamu,” ujar Ranti mengerti ketakutan dan trauma yang mungkin dirasakan Isma. Isma menunduk, jemarinya saling bertaut memainkan ujung baju yang dikenakan. “Kalau memang harus balas budi, aku bersedia jadi istri mas Warja,” cicitnya membuat Dulah dan Ranti saling melempar tatapan penuh tanya mendengar pernyataan putri mereka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD