Pagi hariku di sambut oleh senyuman manis Kenan. Benar-benar terasa seperti mimpi. Hatiku bahkan bergetar hebat saking bahagianya melihat dia lagi.
"Pagi, Bi." Menyapa diriku dengan begitu manis.
Sial! Kenapa dulu hatiku sangat sulit untuk menerimanya?! Padahal dia sangat tampan, kaya, perhatian, bucin, dan setia.
Aku berdehem sejenak. Mengenyahkan penyesalanku sebelum terlarut dan berakhir mengabaikannya.
Bangkit dari kasur, beringsut mendekatinya, memeluk lehernya manja, dan melayangkan sebuah kecupan singkat di pipinya.
"Pagi juga, suamiku." Balasku sambil tersenyum lebar.
Wajah Kenan merah padam. Matanya melotot kaget sedangkan tubuhnya menegang kaku.
Semengejutkan itu kah tindakanku sampai dia bereaksi berlebihan?
Padahal aku kan hanya mencium pipinya, bukan bibirnya.
Ah, bagaimana jadinya kalau aku mencium bibirnya ya?
Apakah dia akan lebih terkejut lagi?
Aku jadi penasaran.
Ughh, aku ingin mencobanya sekarang. Belum lagi, wajah kaget, gugup, dan malunya membuatku semakin ingin mencobanya.
Aku beralih duduk di atas pangkuannya dengan berani dan menyatukan bibirku dengannya.
Hatiku terasa meleleh begitu saja kala merasakan bibir hangat nan lembutnya. Seperti inikah rasa berciuman dengannya? Sangat menyenangkan dan mendebarkan!
"Morning kiss." Cengirku setelah melepaskan pagutan kami.
Kenan menelan salivanya susah payah. Tatapannya terlihat sangat terkejut. Tubuhnya seolah kehilangan kesadaran.
Aku menepuk kedua belah pipinya pelan. "Kamu kenapa?" Tanyaku sok polos.
Kenan mengerjap pelan. Tingkahnya membuatku merasa sangat gemas. Berakhir mencubit kedua pipinya. "Ya ampun, suami Bianca imut banget sih."
Kenan tiba-tiba menangkap kedua tanganku. Wajahnya masih memerah. "Jangan mencubit pipiku lagi, Bi. Sebaiknya kamu siap-siap pergi ke kampus. Nanti kamu telat dan dimarahi dosen loh." Ujarnya sedikit gemetar. Jelas sekali sedang dilanda kegugupan.
"Oh iya, jam berapa aku masuk kuliah?"
"Jam 07.30, Bi."
Aku sontak menatap jam dinding dan melotot horor saat melihat jarum jam menunjukkan pukul tujuh lewat sepuluh menit. "Astagaa!! Aku akan terlambat!" Teriakku heboh dan langsung bangkit dari atas pangkuannya.
Kenan tertawa geli. "Maaf, aku hanya bercanda. Kamu masuk jam delapan pagi, Bi."
Aku terdiam mendengar perkataannya. Hampir saja jantungku copot karena mendengar ucapannya tapi ternyata aku diprank! Menyebalkan.
"Kamu marah?" Tanyanya sedih.
Aku langsung menggeleng kuat. "Mana mungkin aku marah. Aku hanya sedikit kesal." Jujurku.
Kenan mengenggam kedua tanganku dan mengecupnya pelan. "Maaf."
Kenan oh Kenan. Kenapa dirimu begitu manis dan menggemaskan? Kamu membuatku tidak bisa kesal lama-lama denganmu.
"Oh ya, kamu kok belum berangkat kerja?" Tanyaku mengalihkan pembicaraan.
"Rencananya mau pergi setelah membangunkanmu, Bi."
"Ya sudah, pergilah sekarang dan berhati-hatilah di jalan."
Kenan mengangguk. Kemudian, berdiri.
Aku terpaksa mendongak akibat perbandingan tinggi kami yang sangat jauh berbeda. Tinggiku hanya sebatas dadanya saja. Di hadapannya kadang aku merasa seperti kurcaci.
Kenan mengecup keningku tanpa terduga. Membuatku sangat terkejut dan refleks memegang keningku. "Aku pergi dulu, Bi." Pamitnya.
Aku mengangguk sedangkan dia langsung keluar dari kamar dengan langkah besarnya.
Tak dapat kupungkiri, hatiku terasa berbunga-bunga oleh kecupan singkatnya.
Andaikan saja aku sadar dari dulu, pasti aku tidak akan memiliki akhir yang menyedihkan.
Tapi ya sudahlah, aku telah diberi kesempatan untuk mengubah masa depanku. Tentu saja aku tidak akan menyia-nyiakannya. Aku akan membuat orang yang berpotensi menjadi sumber penderitaanku hancur sebelum mereka sempat melakukannya.
Kebetulan sekali, hari ini aku kuliah. Aku bisa membalas Dino dan Meli secara bersamaan jika mereka muncul di hadapanku.
Aku akan membuat mereka malu, terutama untuk Dino!
Awas saja kalau mereka muncul di hadapanku. Bersiaplah untuk menanggung malu.
Ah, aku lupa. Urat malu mereka kan sudah putus!
"Bianca! Cepat bangun atau kamu akan terlambat ke kampus!" Teriak Mommy mengagetkan.
****
Tak terasa aku sudah sampai di kampus. Pak Lio membukakan pintu untukku.
Tadi, aku dipaksa mommy berangkat ke kampus bersama sopir karena baru keluar dari rumah sakit. Mommy takut aku kenapa-napa kalau mengendarai mobil sendirian.
Penolakan yang ku ucapkan juga berakhir percuma sebab mommy orangnya tidak bisa dibantah. Sekali berkata A, maka harus A! Apapun caranya!
"Pak Lio pulang aja dulu. Nanti kalau perkuliahan sudah selesai, aku akan menelpon Pak Lio."
Kasihan Pak Lio menunggu lama diriku di sini karena mata kuliahku ada dua hari ini. Jam 8 Pagi dan jam 2 siang.
Aku berencana untuk main di kos kedua sahabatku dulu sambil menunggu jam kuliah siang dimulai.
Baru saja memikirkan tentang sahabatku, aku langsung melihat mereka berdua.
"Aku pergi dulu, pak. Byee!" Seruku sambil berlari menghampiri kedua sahabatku. Sofia dan Disa.
Mereka berdua adalah sahabat terbaik yang kumiliki. Sampai akhir hidupku, mereka tidak pernah mengkhianatiku. Mereka selalu ada untukku. Di dalam kondisi dan situasi sesulit apapun.
"Sofia!! Disa!!" Panggilku penuh semangat seraya merangkul bahu keduanya sehingga membuat mereka terlonjak kaget.
Mereka berdua refleks menatapku kesal dan menjitak kepalaku bergantian. Aku sontak menjauh dari mereka. Kemudian mengelus kepalaku sebal.
"Astaga, kalian jahat banget sih sama aku. Bukannya disambut dengan pelukan, kalian malah menyambutku dengan jitakan." Omelku.
Mereka memutar bola mata malas. "Salah siapa yang membuat kami terkejut?" Sentaknya bersamaan.
"Kompak banget sih kalian." Kikikku.
"Oh ya, tumben sekali gak berangkat sama si dinosaurus?" Sofia celingak celingukan mencari keberadaan pria itu.
Biasanya aku memang sering berangkat ke kampus dengan Dino.
"Heh, Fia! Jangan ngadi-ngadi ya kamu. Si Bianca kan udah menikah dengan Kenan, bagaimana mungkin dia masih menjalin hubungan dengan Dino?" Disa bersuara.
Di antara kami bertiga, memang Disa lah yang paling bijak. Berbeda dengan Sofia yang sangat blak-blakan dan suka mencari masalah.
"Ya kan siapa tahu si Bianca masih tetap pacaran dengan dinosaurus b******k itu." Tukasnya.
Disa melotot kaget. "Astaga, Fiaa! Mulutmu kok pedas banget sih?"
"Hoho, fakta terkadang memang sangat pedas dan menyakitkan, Sa."
Aku hanya bisa terkekeh geli melihat perdebatan mereka.
Dari dulu, Sofia memang tidak suka dengan pacarku itu.
Dia sering menyuruhku untuk putus dengan Dino tapi aku mengabaikannya.
Sempat merasa kesal dengannya tapi aku tidak bisa menjauh darinya karena dia sangat baik meskipun mulutnya terlalu ceplas ceplos dan nyelekit di hati.
"Udahlah, guys. Jangan bahas dia lagi. Aku tidak tertarik lagi padanya karena suamiku jauh lebih baik daripadanya." Leraiku.
Mereka menoleh ke arahku dan tersenyum menggoda.
"Ciee, sudah mulai ada rasa dengan Kenan nih ya." Kikik Disa.
"Uhuyy! Jangan-jangan kamu sudah melakukan malam pertama dengan Kenan? Makanya bisa tertarik dengannya. Bagaimana rasanya malam pertama? Apakah sakit seperti yang tertulis di dalam novel-novel?"
Aku langsung menabok lengannya kuat. "Apa-apaan pertanyaanmu itu?"
Sofia menyengir seraya mengelus lengannya pelan. "Habisnya aku penasaran sih. Jawab dong rasa penasaranku selama ini."
"Heh! Kalau mau tahu rasanya gimana, langsung nikah dong, Beb!" Seru Disa.
Sofia mengembungkan pipinya kesal. "Nikah sama siapa? Aku kan jomblo."
Aku dan Disa terbahak mendengar jawabannya.
"Bukannya kemarin kamu pacaran dengan Dirga ya? Nikah sama dia aja." Cetusku.
"Aku udah putus sama dia."
Aku mengerutkan kening heran. Perasaan baru seminggu deh mereka jadian. "Kenapa putus?"
"Biasalah. Dia membosankan dan hanya membuatku tertekan. Makanya aku putusin dia."
Disa tertawa geli. "Bilang saja dia tidak sesuai dengan tipe idamanmu."
"Hehe. Itu salah satu alasannya." Cengirnya tanpa dosa.
"Jangan jadi playgirl lagi, Fia. Nanti kamu kena karma nangis." Ledekku.
"Tidak apa-apalah. Sesekali aku ingin merasakan kena karma supaya hidupku menjadi dramatis. Bosan aku hidup flat kek gini terus."
Aku dan Disa menggeleng-gelengkan kepala heran mendengar jawaban anehnya.
"Semoga aja kena karma!" Seruku.
"Ya. Semoga aja!"
Sofia melotot ke arah kami. "Kenapa kalian jahat padaku? Cepat tarik doa kalian!" Rajuknya.
Aku dan Disa saling bertukar pandang.
"Perasaan tadi ada yang ingin kena karma deh?" Celetukku.
"Tau tuh. Si Sofia plin plan banget. Udah kita doain malah minta ditarik doanya." Ketus Disa.
Aku tertawa geli melihat Sofia merenggut kesal.
"Udah ah, kita ke kelas aja. Nanti dosen ke buru masuk dan menuliskan absen di kehadiran kita."
"Iya juga! Apalagi sekarang kan pelajaran Bu Arina." Seru Sofia panik.
Mendengar nama dosen yang disebut Sofia, aku pun ikutan panik.
"Mampus! Kita bakal ditatap setajam silet oleh Bu Arina kalau telat!"
Aku langsung berlari menaiki tangga. Aih, aku memang takut dengan dosen satu itu. Tatapannya mematikan dan mengintimidasi. Suaranya membuat bulu kuduk merinding. Suasana belajar dengan Bu Arina sangatlah horor dan bisa membuat kita jantungan dadakan.
"Biancaa!! Tungguin kami!!"
Akhirnya kami bertiga pun lari-larian di sepanjang koridor kampus. Menaiki tangga dengan langkah besar. Mengabaikan tatapan aneh para mahasiswa lainnya karena yang paling terpenting adalah bisa sampai di kelas secepatnya.
Setiba di depan kelas, kami saling berpandangan pasrah karena Bu Arina sudah duduk manis di dalam kelas.
"Sa, masuk duluan gih!" Pintaku pelan.
Disa mengusap peluh di keningnya. "Aku takut, guys." Bisiknya lirih.
Kami berdua beralih menatap Sofia yang sedang sibuk mengatur nafasnya. "Kalau gitu kamu aja yang masuk duluan, Fia," kata kami kompak.
Sofia menatap kami memelas. "Aku tidak memiliki keberanian untuk melakukannya. Kalian saja lah, guys."
Kami bertiga bertatapan pasrah.
Takutnya kalau masuk duluan ke dalam kelas langsung kena semprot atau pun ditatap tajam.
"Cabut aja yok!" Ajakan Sofia membuatku menoleh heran ke arahnya.
"Memangnya berani?"
Sofia menyengir gaje dan menggeleng.
Aku berdecak tak habis pikir.
"Baiklah, aku yang akan masuk ke dalam kelas terlebih dahulu tapi kalian harus mengikutiku," kata Disa. Anak yang paling rajin di antara kami. Mana mungkin dia mau menorehkan kata absen di dalam daftar kehadirannya.
"Oke, Sa."
Disa mengambil nafas dalam-dalam. Menguatkan tekadnya untuk mengetuk pintu kelas. Tindakannya membuatku tersenyum geli. Sudah seperti hendak menghadap malaikat maut saja kami.
"Permisi, Bu. Bolehkah kami masuk?" Tanya Disa sesopan mungkin. Sedangkan aku dan Sofia memasang wajah paling polos kami.
"Masuk!"
Suara Bu Arina sangat menggetarkan jiwa. Untung aku bisa mengendalikan diri dengan baik.
Kami bertiga langsung masuk ke dalam kelas. Duduk di kursi kosong yang berada tepat di hadapan Bu Arina. Gini amat sih nasib kami!
"Apa materi perkuliahan kita hari ini, Sofia?"
Pertanyaan mendadak Bu Arina membuat tubuh Sofia menegang. Sepertinya dia tidak membaca buku kemarin malam.
"Bianca, apa materi perkuliahan kita hari ini?" Bu Arina melempar pertanyaan padaku kala Sofia tak kunjung menjawab.
Aku berusaha mengingat sejenak. "Latar, Bu." Jawabku cepat sebelum diberikan senyuman remeh.
"Disa, apa yang kamu ketahui tentang latar?"
Sepertinya Bu Arina tidak akan melepaskan kami hari ini karena terlambat masuk dalam kelas.
"Latar adalah tempat terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam novel, Bu. Latar ada 3 yaitu latar waktu, latar tempat, la--"
"Benar yang dibilang teman kamu, Sofia?" Potong Bu Arina tanpa membiarkan Disa menyelesaikan ucapannya.
"Benar, Bu." Jawab Sofia tanpa ragu.
"Lalu, apa saja jenis latar yang kamu ketahui?"
Sofia menjawab dengan lancar.
Aku pikir, Bu Arina akan melepaskan kami setelah menjawab tapi nyatanya tidak! Kami terus-terusan ditanyai selama pembelajaran berlangsung. Tak membiarkan kami bernafas lega selama di dalam kelas.
Setelah ini, aku tidak akan pernah terlambat lagi dengan Bu Arina. Kalau perlu, jam setengah delapan aku sudah berada di dalam kelas.
Aku kapok!
Kapok ditanyai dan ditatap tajam terus.
-Tbc-