My Second Life || 02

1277 Words
Resepsi diadakan malam hari di ballroom hotel milik Kenan. Tamu undangan tak terhitung jumlahnya karena Kenan adalah seorang pemilik perusahaan yang sangat berpengaruh, baik di dalam negri maupun di luar negri. Kenan Aditama seorang pria yang patut diacungi jempol. Di usianya yang masih 27 tahun, dia sudah berhasil mengembangkan perusahaannya menjadi sebesar sekarang. Tidak hanya hebat, dia juga tampan, berkharisma, tidak pernah dekat dengan perempuan selain diriku, sangat mencintaiku, selalu berusaha membahagiakanku, dan sangat perhatian padaku. Entah apa lebihnya aku sehingga dia sangat tergila-gila padaku, bahkan mengorbankan nyawanya sendiri untuk menolongku. Sungguh, betapa beruntungnya aku memiliki Kenan tapi aku malah mengabaikannya demi seorang sampah. Aku bodoh! Sangat sangat bodoh! "Bi, kenapa kamu banyak melamun sejak tadi? Apakah kamu benar-benar menyesal telah mengusir dan mempermalukan pria sialan itu dihadapan semua orang?" Pertanyaan sedih bercampur kecewa Kenan membuatku terhenyak. Ternyata tanpa disadari, aku banyak melamun hari ini. "Tentu saja tidak. Aku tidak akan pernah menyesal mengusir penganggu itu." Jawabku sungguh-sungguh dan meyakinkannya. Meskipun sangat mencintaiku, Kenan ini orangnya sangat posesif dan akan melakukan apapun selama membuatku bertahan disisinya. Bahkan mengancam ku sekalipun. Dulu aku membenci sikapnya itu dan selalu ingin lepas darinya tapi setelah mengetahui semuanya, pandanganku padanya telah berubah sepenuhnya namun sayangnya terlambat! "Benarkah? Kamu tidak berbohong padaku, 'kan?" Aku menghela nafas pelan. "Aku tahu, kelakuanku sebelumnya sangat keterlaluan tapi aku janji tidak akan seperti itu lagi. Aku janji akan berubah. Aku harap kamu bersedia mempercayaiku." Kenan terdiam sejenak sebelum mengangguk. "Ya. Aku mempercayaimu." Mulutnya memang berkata demikian namun tidak dengan sorot matanya yang masih mencurigaiku. Seakan aku sudah menyusun rencana lain dibelakangnya. Akan tetapi, aku tidak menyalahkannya. Aku tahu dia tidak mudah mempercayaiku setelah apa yang kulakukan selama ini. Aku selalu menolaknya, memarahinya, membentaknya, mengucapkan kata-kata kasar padanya, bahkan menyumpahinya cepat mati supaya hidupku kembali tenang. Kalau diingat-ingat, aku sungguh wanita yang Kejam. Bisa-bisanya aku berbuat seperti itu pada pria setulus Kenan. "Maaf, Kenan. Sikapku selama ini sangat buruk padamu." Ujarku bersalah. Kenan menggeleng sembari tersenyum manis. "Tidak perlu meminta maaf karena aku sudah memaafkan mu sejak dulu." Lihat? Betapa baik dan tulus dirinya. Sangatlah langka menemui pria seperti Kenan di muka bumi ini. "Terima kasih." Gumamku sedikit bergetar. Tiba-tiba saja aku ingin menangis akibat terlampau terharu. Kenan tersenyum gemas kemudian mengusap air mataku. "Jangan menangis lagi. Nanti riasanmu hancur." Aku terkekeh geli mendengarnya. "Biarkan saja. Kan ada mbak mbak tukas rias yang selalu siap sedia untuk memperbaikinya." Kenan tertawa. "Kasian mbak tukang riasnya tahu." "Biarin aja." Sahutku seraya meleletkan lidahku padanya. Kenan terlihat gemas dan ingin mencubit pipiku tapi tangannya terhenti begitu saja di udara. "Andaikan saja kamu tidak sedang memakai make up, pasti aku akan mencubit pipi chubbymu sampai aku puas." Desahnya pelan. Aku memukul lengannya pelan. "Tidak boleh menganiaya istri sendiri. " Kenan hendak berbicara tapi kedatangan seseorang membuat niatnya terhenti. "Sepasang pengantin baru sedang membahas apa nih? Serius banget kayaknya." Kekeh Meli. Kakak sepupuku. Rasa geram kembali menghantuiku. Dia salah satu dalang dari kehancuran ku. Dia membuat Dino mencampakkan ku! "Kenapa kamu menatapku seperti itu, Bianca? Apakah ada yang salah dariku?" Tanya Meli polos. Aku menggeleng seraya tersenyum manis. "Tidak ada yang salah, kak." "Beneran?" "Iya, kakak sepupuku tercinta." Sahutku riang. Aku pasti akan membalasmu, Meli! "Eh, ayo berfoto. Aku ingin mengabdikan moment adik sepupuku menikah." Ajaknya. "Baiklah." Setelah itu kami berfoto dan Meli kembali ke habitatnya. Menyisakan aku dan Kenan lagi. "Kenan, aku lapar." Aduku manja. Kenan tersenyum lembut. "Mau makan apa? Biar aku ambilkan." Mataku berbinar. "Aku mau kue." "Oke. Aku ambilkan dulu untukmu." "Terima kasih, suamiku," kataku girang dan memberikan kecupan lembut di pipinya. Kenan tersenyum bahagia dan pergi mengambilkan kue untukku. Aku tersenyum menatap punggung lebarnya. Dia, pria yang selalu ada dan setia di sisiku. Pria yang pernah kusia-siakan. Pria yang sangat kucintai. Kali ini, biarkan aku melindungimu, Kenan Aditama, suamiku. **** Sekujur tubuhku terasa sangat lelah setelah meladeni para tamu yang tak terhitung jumlahnya sedangkan wajahku terasa kaku akibat tersenyum terus sedari tadi. Setiba di dalam kamar pengantin, aku langsung masuk ke dalam kamar mandi. Kebetulan Kenan sedang tidak berada di sini. Pria itu sedang bersama orangtuaku. Entah apa yang mereka bicarakan. Selesai mandi, aku langsung memakai piyama tidur kesayanganku. Kemudian menghempaskan tubuhku di atas kasur. Membenamkan wajahku di bantal seraya menikmati suasana hening yang tercipta. Mendadak aku merasa takut. Takut bahwa semuanya hanya lah ilusi. Ilusi yang bisa hancur dalam sekejap mata saat aku sadar sepenuhnya. Mataku kembali memanas. Aku tidak ingin kehilangan Kenan. Aku tidak ingin kehilangan siapapun. Aku tidak ingin sendirian. Aku tidak ingin hancur berkeping-keping. Sesak. Dadaku rasanya sangat sesak mengingat kenyataan menyakitkan. Semua orang hancur karena kebodohanku. Kenan, keluargaku, dan semua orang yang menyayangiku. Bodoh, bodoh, bodoh. Berulang kali aku memaki diri sendiri tapi itu tak membuatku merasa lebih baik. Malah membuatku merasa semakin buruk dan tak berdaya. Sentuhan di kepalaku membuatku kembali tersadar akan realita. Setidaknya sekarang aku punya kesempatan untuk memperbaiki kesalahanku. Mengubah nasib buruk yang menimpa orang-orang di sekelilingku. "Jangan tidur seperti ini, Bi. Nanti kamu sesak nafas," kata Kenan penuh perhatian. Aku diam. Berlagak seperti orang tertidur. "Bi." Panggilnya penuh penekanan. Sepertinya dia tahu bahwa aku hanya pura-pura tidur. Tidak ada pilihan lain selain menuruti ucapannya tapi sebelum itu aku menghapus air mataku secepat kilat. "Kamu nangis?" Keningnya mengerut heran. Aku menggeleng dengan wajah cemberut. "Aku tidak menangis." "Tapi mata kamu berair dan memerah." "Ini karena ngantuk tahu." Alibiku seraya pura-pura menguap. Kenan menunduk dan mengecup kedua mataku lembut. "Tidurlah kalau begitu, Bi." Aku mengangguk patuh. Kenan tersenyum lagi. Mengambil selimut dan menyelimuti tubuhku hingga leher. Dia kembali menunduk serta mendaratkan sebuah ciuman hangat di keningku. "Selamat malam, Bi. Semoga mimpi indah." Sangat manis. Membuatku tak tahan untuk membalasnya. Saat dia hendak berdiri, aku mengalungkan kedua lenganku di lehernya dan mengecup pipinya sekilas. "Selamat malam juga, suamiku." Kekehku akibat melihat wajah nelangsanya. Aku menjauhkan kedua tanganku lalu memejamkan mata. Pura-pura melanjutkan tidur, padahal sedang menenangkan jantungku yang berdetak tidak beraturan. Saat mendengar pintu kamar mandi ditutup, aku kembali membuka mata. Mengalihkan pandanganku ke arah pintu kamar mandi yang menunjukkan bayangannya. Kenan membuka baju sehingga menampilkan lekuk tubuhnya yang sangat indah. Astaga, pintu kamar mandi ini sangat meresahkan. Untung saja aku sudah mandi lebih dulu. Kalau tidak, dia pasti juga bisa melihat bentuk tubuhku. Tak tahan lagi melihat bayangan tubuhnya yang sangat menggoda, aku memutuskan untuk berbalik. Tidur membelakangi pintu kamar mandi. Memejamkan mata. Berusaha tertidur. Meskipun aku mencintainya, aku belum siap untuk melakukan malam pertama. Aku tidak siap melakukan itu sebelum balas dendam dan tamat kuliah. Di masa mendatang, aku ingin menjadi sosok yang terhormat hingga tak bisa diinjak-injak oleh orang lain seperti terakhir kali. Jantungku berdetak tak nyaman saat Kenan selesai mandi. Aku sangat gugup! Inikah rasanya malam pertama pernikahan jika menikah dengan orang yang dicintai? Aku masih ingat dengan sangat jelas. Di kehidupan lampau, aku tidak segugup ini. Aku malah sangat berani dan berani mengusir Kenan keluar dari kamar jika tidak ingin aku melompat dari balkon lantai 10 ini. Alhasil, Kenan mengalah dan keluar dari kamar. Kalau dipikir-pikir, bukankah aku sangat konyol mengancam Kenan dengan menggunakan nyawaku sendiri?! "Bi, kamu belum tidur?" Mungkin pergerakanku disadarinya. Yah, Kenan orangnya memang sangat peka tapi bodoh karena cinta. Buktinya dia rela mengorbankan nyawanya untuk gadis tidak tahu berterimakasih sepertiku. "Belum. Aku tidak bisa tidur." Sahutku pelan. Aku masih tidak berani berbalik. Takutnya dia sedang memakai pakaian. Pasti akan sangat canggung jika hal itu terjadi. "Apakah ada yang menganggu pikiranmu?" Tanyanya begitu perhatian. Aku menatap jemariku yang bertengger di bantal guling. "Ya. Sangat banyak yang menganggu pikiranku." "Apakah Dino yang menganggu pikiranmu?" Pertanyaan bernada tidak sukanya membuatku segera berbalik. "Bukan!" Sergahku langsung. Kenan menaikkan kedua alisnya heran. "Lalu, apa yang menganggu pikiranmu?" Aku terdiam. Haruskah aku menceritakan semuanya ke Kenan? -Tbc-
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD