04. Nesh

824 Words
Nesh (adj.) soft, tender, delicate  *** Trey tidak pernah menyayangi seseorang sebesar ini selain Mama sebelumnya. Malam itu, ketika akhirnya dia berani mendekati seseorang yang duduk menyendiri sambil menyantap popmi, seseorang yang Trey lihat selalu memakai kaus pendek dan celana selutut, dengan tatapan yang kadang kosong menerawang menembus gelapnya malam. Cowok itu aneh, ia sama sekali tak tampak risi dengan kehadiran Trey di sana, ia bahkan tidak mempertanyakan mengapa Trey duduk di sana sedangkan ada banyak meja lainnya yang kosong. Ia hanya diam, sambil terus lanjut makan tanpa menganggap kehadiran Trey di sana. Begitu pula dengan dirinya. Trey juga ikut cuek saja, toh mereka berdua juga tidak saling kenal, yah, meskipun diam-diam, dia sesekali melirik cowok disampingnya. Kelihatannya, mereka sebaya. Lagian cowok itu lumayan ganteng juga. Ya gimana, memangnya ada, anak cewek yang gak suka kalau duduk dekat-dekat cogan? Lama-lama, Trey sadar jika cowok itu suka nongkrong di teras minimartket bahkan sampai larut malam. Pertemuan-pertemuan yang awalnya tak sengaja jadi disengajakan sampai akhirnya jadi kebiasaan. Trey jadi suka ikut nongkrong sampai malam. Bodo amat mau dicap cewek gila juga. Trey sudah terlanjur penasaran. Hari-hari berlalu, tetapi Trey tidak pernah lagi melihat orang itu. Jujur saja, ia sempat merasa kehilangan sekaligus menyesal karena tidak pernah menanyakan keadaan cowok itu bahkan hanya untuk sekadar berkenalan pun Trey tak berani. Jika sudah begini, Trey jadi bingung apa yang harus ia lakukan. Ketika pada akhirnta Trey berani bercerita pada Mama soal alasannya selalu menongkrong di minimarket sampai larut malam, Mama memberitahunya jika mungkin saja, orang itu sudah pindah rumah. Jadi, ia mencari minimarket yang lain untuk membeli popmi dan eskrim rasa vanilla. Trey yang kala itu masih kelas delapan hanya mengangguk mencoba untuk mengerti. Lalu, seperti yang Mama bilang, akhirnya, cowok itu kembali ke rutinitas seperti biasanya. Tetapi kali ini, Trey merasakan sesuatu yang berbeda, orang itu makin tidak terlihat baik-baik saja, bahkan lebih buruk daripada biasanya. Masih duduk di didepan wadah bekas popmi dan bungkusan plastik bekas es krim rasa vanilla, cowok itu hanya memunduk sambil melihat ke arah ponselnya. Sebuah foto yang memuat empat orang terpampang di sana. Salah satunya, cowok yang kini duduk di depannya dan masih belum Trey tau namanya. Trey santai saja membuka kitkat belanjaannya tadi, lalu mekannya sedikit-sedikit. Sama seperti yang dilakukannya ketika mereka bertemu beberapa bulan lalu, Trey hanya diam, dan lanjut makan. Dia juga membuka keripik kentang yang tadi dibelinya. Memakannya dengan tenang. Setelah semua makanannya habis, Trey tidak langsung pulang. Malam itu, dia tiba-tiba ingin menunggu sampai cowok itu pulang lebih dulu, takut malam itu jadi malam terakhir mereka bertemu. Trey menatap orang itu lekat-lekat dan terkejut sesaat ketika mata orang itu balik menatapnya. Matanya memerah, sesuatu menggenang di pelupuk matanya itu, lalu perlahan bahunya terguncang pelan, sebelum ia menunduk, dan larut dalam sedu sedan. Lagi-lagi, Trey terkejut untuk yang kedua kali, tak menyangka orang itu akan menangis di hadapannya. Satu-satunya hal yang bisa ia lakukan hanya menepuk-nepuk pundaknya, sambil berbisik, “Don't worry, I'm here.” “Kenapa orang dewasa susah buat dimengerti?” tanya cowok itu. Trey yang masih duduk di bangku SMP, dibuat bingung akan pertanyaan seperti itu. Masalahnya, jadi dewasa saja belum pernah, jadi bagaimana caranya Trey bisa tau apa yang salah dengan mereka? “Aku ... nggak ngerti.” Cowok itu hanya mengngguk, mengerti, dan tak berusaha bertanya lebih jauh lagi. “Kenapa?” “Apanya yang kenapa?” Trey yang kebingungan balik bertanya. “Kenapa suka duduk di sini?” Trey salah tingkah. Tidak menyangka bakal mendapatkan pertanyaan seperti itu. Namun pada akhirnya, ia jawab juga. “Supaya kamu nggak merasa sendirian.” Begitu katanya. Mulai malam itu, mereka memutuskan untuk menjadi teman. *** Trey baru saja keluar dari kelasnya karena bel pulang sekolah memang baru saja dibunyikan. Cewek itu kelihatan begitu repot karena mengemban beberapa jenis map di tangan. Langkahnya kini terarah menuju tukang fotokopi yang berada tepat di seberang sekolahnya. Hari ini, Trey kebagian jadi pengajar materi di kelab ekskulnya mengingat dia sudaah kelas sebelas. Tentunya, Trey diberikan kepercayaan itu karena dianggap sudah mumpuni. Trey meluangkan waktu untuk chatting dengan Rama sebentar, sembari menunggu berkas-berkas difotokopi. Trey: Ram Rama:  Iya.  Kenapa, Trey? Trey: Lagi apa? Rama: Baru selesai kelas, sih. Kenapa? Trey: Enggak. Aku Cuma nanya aja. Emangnya gak boleh? Rama: Boleh. Kamu udah makan siang? Trey: Udah. Tapi aku udah laper lagi. Paling nanti beli roti. Rama: Dasar. Tapi gak apa-apa Makan yang banyak, ya. Biar cepat tumbuh besar. Haha Trey: ... Garing tau, Ram. Rama: Biarin. Yang penting aku sayang kamu. Trey, udah dulu, ya? Jana udah marah-marah gara-gara aku main hp terus dari tadi. See you soon. Trey: See you. Trey mematikan layar ponselnya, tak lama, fotokopiannya selesai. Setelah membayarnya, Trey berlalu pergi kembali ke sekolah, namun sebelumnya, ia sempat mampir di minimarket terdekat untuk membeli roti dan sekotak s**u. *** Trey tidak mengabari Rama jika ia menjadi pemateri di acara ekskul hari ini karena Trey pikir, waktu ekskul akan kelar jam empat sore. Nyatanya, sampai mentari sudah mau kembali ke peraduan, ekskul itu belum juga selesai. Tak biasanya, kali ini para alumni datang, entah ada urusan apa. Cuma, beberapa dari mereka sejak tadi sibuk menceritakan pengalaman masing-masing ketika duduk di bangku SMA. Jujur saja, Trey bosan, apalagi beberapa dari mereka terlihat begitu menyombongkan diri sebab masuk universitas ternama dengan jurusan kedokteran. Trey akhirnya mengabari Rama jika ia tak bisa datang ke apartemennya sore ini. Ya, tak bertemu sehari tak apa lah ya, nanti malam kan bisa video call-an  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD