02. Just a Little Thing

1046 Words
“Sometimes the smallest things take up the most room in your heart.” *** Meski tidak tau apa artinya, Jana pernah berpikir bahwa namanya terlalu ribet dan terkesan berat untuk dia miliki. Maksudnya, coba pikirkan, Mahajana Janardana. Nama itu kedengaran terlalu keren. Jana heran, kenapa Ayah memberikan kata Jana di setiap kata dalam namanya? Kan jadi ribet kalau misalnya ada yang bertanya, Jana yang mana? Terus orang yang ditanyai akan menjawab: “Itu loh, si Jana Mahajana Janardana.” Kan Jana jadi kasihan kalau lidahnya sampai terbelit. Yah, meski orang yang bernama Jana bisa dibilang cukup jarang adanya. Tara, teman dekat Jana juga pernah bilang, jika Jana tidak pantas menyandang namanya itu. Secara, namanya sudah berwibawa, tetapi kelakuannya seperti satwa. Makanya, Tara dan Rama memanggil Jana dengan sebutan Nana, awalnya mereka tidak tahu jika Nana adalah nama kecil Jana, eh Bunda malah keceplosan waktu mereka sedang main bersama di rumah Jana. Meski Tara bilang kelakuan Jana seperti satwa, Jana ternyata punya pribadi yang kelewat ramah, sampai-sampai semua anak gadis digodanya sampai pipi mereka bersemu merah. Jana juga suka sekali menolong orang, pernah sekali, ia menolong anak kucing yang terjebak di parit, kesulitan untuk naik. Untungnya saat itu sedang musim kemarau, jadi tidak ada air yang mengalir, hanya menggenang semata kaki. Jana harus terima omelan ibunya sebab seragamnya jadi kotor dan beraroma tak sedap. “Jana! Ya ampun, baju kamu kok jadi kotor gitu?” “Bun, ini yang dipikirin cuma bajunya? Nananya enggak?” “Kamu kalo kulitnya robek bisa dijahit.” “Ya apalagi baju, Bun!” “Loh kok jadi kamu yang marah sama Bunda?” Jana kicep. “Maaf, Bunda, tadi Nana nolongin kucing, kasian.” Tatapan Bunda melembut. Sebetulnya, Bunda tidak masalah jika seragam Jana kotor. Ia hanya ingin tau sebab anaknya pulang dalam keadaan seperti itu. Jana bukan tipikal anak nakal yang suka mancing ikan cupang di comberan, jadi pasti ada penyebabnya lain. Dan Bunda senang, penyebabnya adalah kucing yang terjebak di selokan. Meski berstatus sebagai anak tunggal, Jana merasa beruntung sebab ia tak pernah merasakan kesepian. Orang tuanya kentara sekali menyayanginya lebih dari apa pun di dunia ini. Ya, namanya juga anak satu-satunya, laki-laki pula. Bagi Ayah, Jana adalah jagoannya. Sedangkan bagi Bunda, selamanya, Jana akan selalu jadi malaikat kecilnya. Supaya tidak cepat-cepat pulang ke rumah, Jana kerap mengikuti organisasi di sekolah, sebab kedua orang tuanya masih aktif bekerja dan baru akan sampai rumah sekitar pukul tujuh malam. Hari ini, Jana punya jadwal rapat bersama anggota OSIS dan baru selesai sekitar pukul setengah lima sore. Mereka semua sedang bekerja keras untuk acara yang akan diadakan beberapa bulan lagi. Ini juga akan menjadi projek terakhir bagi Jana selaku ketua OSIS sebelum periodenya berakhir. “Eh pokoknya, acara nanti kudu sukses melebihi tahun kemarin.” Jana masih berbicara soal acara yang akan mereka adakan dua bulan mendatang. “Hadeuh, Na. Atuh rapatnya juga udah bubar. Jadi stop lah, ngomongin proyeknya.” Tara menanggapi. “Iya, kan gue cuma ngomong aja, biar nggak sepi.” “Ya tapi gak usah ngomongin itu juga.” “Ya terus apa? Ngomong status lo yang sampe sekarang masih jomlo juga?” “Ai sia!” Tara akhirnya tersulut emosi dan sedikit menjitak kepala Jana yang lebih tinggi. Rama diam saja, malas menanggapi keributan kecil diantara dua sahabatnya itu. Ketiganya berjalan menuju mal yang paling hanya berjarak beberapa meter dari sekolah mereka. Jana dan Rama sih tidak punya keperluan apa-apa, tapi Tara ngotot memaksa mereka untuk ikut dengannya, dengan alasan tidak mau dibilang jomlo kesepian yang tidak punya teman. Bagitu tiba di swalayan yang berada di lantai paling bawah, Tara langsung mengibrit menelusuri rak-rak tinggi entah mencari apa. Rama pergi membeli Jasmine tea, sedangkan Jana, tadinya ia berencana menuju deretan lemari yang menjual minuman dingin, ia merasa haus sebab banyak bicara saat rapat tadi. Sayangnya, suara barang-barang yang berjatuhan mengalihkan perhatiannya. Akhirnya ia tak jadi menuju lemari pendingin, malah berjalan mendekati sumber suara. Seorang gadis yang tengah membereskan barang-barang belanjaannya yang berserakan terlihat di sana. Jana tidak bisa tidak menolong orang itu, maka akhirnya ia menawarkan diri untuk membantu, sedetik setelah mata mereka bertemu, Jana dibuat membatu. *** Jana jadi orang pertama yang pulang ke rumah. Cowok itu buru-buru membersihkan diri begitu sampai. Jana memutuskan untuk mandi air hangat supaya bisa merilekskan dirinya. Cowok itu sedang mengeringkan rambut ketika ponselnya berdering. Sebuah panggilan videolah yang jadi penyebabnya. Wajah pacarnya, Rina, terpampang di sana. Buru-buru, Jana mengusap layarnya dan mengarahkan kamera ke wajahnya. “Hai,” sapanya lebih dulu. Cewek di seberang sana membalas dengan senyum yang tak kalah semringah. “Jana lagi apa?” “Baru selesai mandi.” “Kok mandinya malem-malem begini?” “Ini belum malam kali, Yin.” Sumpah. Kalau Tara dan Rama ada bersama Jana sekarang, bisa dipastikan dua orang itu sebentar lagi bakal mati kegelian melihat kelakuan seorang Mahajana Janardana. Menurut mereka, Jana itu lebay. Mereka tahu pasti Jana itu nggak cadel. Tetapi setiap bicara dengan pacarnya, sikapnya berubah seratus delapan puluh derajat jadi setara anak kecil yang sering mengimut-imutkan suaranya. “Tapi matahari kan udah terbenam. Artinya udah malam.” “Ah, masa sih? Aku masih lihat tuh.” “Ngaco kamu.” “Beneran, Ayin.” “Mana coba, mau lihat juga.” “Bentar. Aku mikirin dulu caranya.” Jana terlihat berpikir sebentar. “Di kamar kamu ada kaca nggak?” “Ada, kenapa?” “Coba deh, ngaca.” “Nggak mau ah. Mager.” Rina yang lagi maskeran sambil rebahan mendadak bad mood. “Ih, cepetan! Katanya mau lihat.” Rina mengalah, dengan langkah gontai, dia berjalan menuju meja riasnya, mengalihkan fungsi panggilan ke kamera belakang. “Udah, tuh.” “Nah, itu dia mataharinya!” “Mana?” “Kamu. My sunshine.” Kata Jana sambil tersenyum cerah. Aduh, untung saat ini kamera tidak mengarah ke wajahnya. Ya, meskipun nggak ngaruh juga sih. Kan Rina lagi pake masker yang lagi viral itu. “Udah?” tanya Rina. Nadanya dibuat seperti orang malas bicara. “Apanya?” “Liat mataharinya.” “Belum lah. Masih kangen.” “Lebay.” Mereka lanjut mengobrol ringan, sampai kedua orang tua Jana pulang, yang menyebabkan Jana  dengan berat hati memutuskan menyudahi panggilan video tersebut, dan sepakat untuk kembali melakukan video call nanti malam, yang sayangnya nggak jadi terlaksana. Soalnya Rina kayaknya udah tidur saat Jana meneleponnya tadi. Entah ada angin dari mana, Jana tiba-tiba kepikiran seseorang yang tadi tak sengaja ditemuinya di swalayan ketika ia mulai rebahan. Jana tau siapa cewek itu. Namanya Lakshi. Jana juga tau, dia anak kelas IPA 3. Namun ia hanya sebatas itu. Lakshita Warjamani, IPA 3. Jana tidak tau hal-hal tentang Lakshi yang lainnya, karena keduanya memang tak pernah saling mengenal, hanya tau eksistensi satu sama lainnya. Hanya saja, ketika mata mereka kembali bertemu tadi sore, Jana bisa lihat sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang entah bagaimana bisa begitu menggangu pikirannya saat ini. Sukar unuk terdefinisi. Cowok itu mengernyitkan keningnya, masih heran kenapa dirinya tetap kepikiran. Jana tak pernah tahu, ada seseorang yang bilang: Sesuatu sekecil tatapan mata bertemu, ternyata bisa jadi sesuatu yang paling berkeliaran dalam pikiranmu. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD