bc

Me, You, And Us

book_age16+
213
FOLLOW
1.1K
READ
family
playboy
arrogant
sweet
bxg
like
intro-logo
Blurb

Bagi Dya, Dheo itu orang asing yang sangat di bencinnya. Dheo itu terlalu sempurna. Dia tampan, sangat malah. Dheo jelas kaya raya karena Dya mengenal kedua orangtuanya. Dheo itu pintar, hampir jenius. kekurangan Dheo yang membuat Dya membencinya adalah sikap cowok itu. Titik.

Bagi Dheo, Dya adalah satu-satunya gadis yang ingin dia lindungi dan dia bahagiakan. Alasan? Bagi Dheo tidak ada alasan untuk melakukan itu. Dia hanya ingin melakukannya.

Bagaimana kalau ternyata Dya harus tinggal satu atap bersama orang yang dibencinya? Bagaimana kalau ternyata orang yang dia kagumi selama ini malah membuat Dya melihat sesuatu yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya? Bagaimana kalau Dya terjebak antara cinta dan fakta?

chap-preview
Free preview
1
    Hari ini entah untuk yang keberapa kalinya Papa dan Mama berangkat keluar negeri. Padahal aku sudah bahagia sekali karena mengira mereka akan menetap di Indonesia untuk selamanya. Mengingat dalam satu tahun belakangan ini mereka sama sekali gak ada melakukan perjalanan ke luar negeri dalam rangka kerja. Semua pekerjaan mereka selalu berkisar di daerah Jawa dan Bali. Tapi tiba-tiba tadi malam mereka bilang kalau siang ini mereka akan berangkat ke London dengan penerbangan pertama dan mungkin akan menetap selamanya disana. Siapa yang gak kaget coba? Aku mengerti kenapa Mama ingin menetap di sana, karena London memang tanah kelahirannya. Tapi Papa? Tapi bisa saja nanti sewaktu-waktu Papa pindah tugas lagi kan? Kan Papa sendiri yang bakalan repot.     Sebenarnya gak ada masalah aku tinggal sendirian di Indonesia. Toh Kanidya, sepupuku dari pihak Mama juga disini, dan dia juga tinggal di kos. Bisa aja kan aku mengajak dia untuk tinggal bersamaku dirumah?? Mama juga sudah memberikanku kartu kredit miliknya yang seingatku unlimited_walau masih agak gak yakin mama mau ngasih itu benda plastik dengan ikhlas. Yang jadi permasalahan adalah orang yang bakal mengawasi aku selama Mama dan Papa di London. Dia anak laki-laki dari rekan kerja sekaligus sahabat Papa sejak SMA. Kalau gak salah dia sekarang kuliah di Fakultas Kedokteran tingkat satu di salah satu universitas negeri. Aku cuma bisa berharap kalau dia gak bakal mengawasi aku seharian karena sibuk dengan kuliahnya. Tapi sepertinya itu hanya mimpi, karena....     “Ha? Papa serius?” Tanyaku gak percaya dengan apa yang barusan aku dengar.     Aku mengerjap-kerjap kedua mataku, meminta penjelasan dari Papa. Jauh di dalam hati aku lebih rela kalau saat ini aku menderita gangguan pendengaran daripada menghadapi kenyataan.     “Iya, tadi malam Papa sudah bicara dengan Om Armand dan Dheo, Om Armand bilang terserah apa mau Dheo, dan Dheo langsung setuju saat kami memintanya untuk menjagamu selama kami di London. Dheo bilang dia gak keberatan untuk mengawasi kamu.” Ujar Papa tenang sambil menyetir, seolah gak bakalan ada masalah kalau anak gadisnya dia titipkan begitu aja sama orang yang sama sekali gak ada hubungan saudara. Saudara aja enggak apalagi hubungan darah. Gak takut apa kalau anak gadisnya kenapa-napa. Ish, papa ini...     Ya, saat ini kami sedang dalam perjalanan ke bandara. Hari ini aku gak masuk sekolah karena harus mengantar kedua orangtuaku ke bandara. Siapa lagi yang bisa mengantar mereka kalau bukan aku? Secara aku ini anak tunggal mereka. Walaupun sudah menjadi bandara internasional, tapi Sultan Syarif Qasim II hanya melayani penerbangan Asia Tenggara, jadi karena Papa dan Mama mau ke Eropa, mereka tetap harus transit di Jakarta lebih dulu.     “Tapi, Pa.... Kasihan Dheo kan kalau harus bolak-balik dari rumah kita ke rumah dia. Lagian jarak rumah kita kerumahnya Dheo juga gak dekat. Terus, kalau cuma mengawasi, kan bisa siapa aja, gak mesti Dheo. Tetangga kita kan banyak. Papa juga boleh pasang kamera pengawas di seluruh penjuru rumah. Dan satu hal... Papa bilang selama kalian di London? Itu berarti selamanya Dya akan diawasi Dheo?” Ujarku berusaha memberikan alasan yang logis setenang mungkin.     “Itu juga sudah kami bicarakan, Dya. Dan Dheo setuju untuk tinggal dirumah kita untuk sementara. Lagian Dheo bilang jarak dari kampusnya dengan rumah kita jauh lebih dekat daripada jarak antara rumah mereka dengan kampus Dheo. Itu bisa membantu Dheo menghemat bensin mobilnya kan? Dan asal kamu tau, Dheo bukan hanya mengawasi kamu, tapi dia juga kami minta untuk menjaga kamu. Lalu, untuk pernyataan kamu yang terakhir. Dia gak akan selamanya mengawasi kamu. Karena mau gak mau, setelah tamat SMA, kamu harus ikut kami ke London. Mana bisa mama ninggalin kamu hidup sendiri selama itu.” Ujar Mama akhirnya buka suara.     “Dheo yang mau, Ma! Dya enggak! Dya udah besar, Ma. Dya bisa jaga diri.” Protesku. ”Lagian apa Mama sama Papa gak takut kalau nanti Dya kenapa-napa? Mama dan Papa percaya gitu aja sama Dheo? Dheo itu laki-laki dewasa, Ma! Mana boleh cowok sama cewek yang gak punya hubungan darah tinggal satu atap! Kalau nanti terjadi apa-apa gimana? Apa Mama sama Papa gak takut? Apa kata tetangga coba?” Seruku kuat, dan pertama kalinya dalam hidupku aku bicara sekuat ini pada kedua orangtuaku.     Mama sama sekali tidak mempermasalahkan nada suaraku yang bisa dibilang kurang ajar itu. Sumpah, baru kali ini aku bicara sekuat itu pada kedua orangtuaku, dan sepertinya mama bisa memakluminya.     “Dheo itu anak yang baik. Kami percaya kalau dia gak bakal macam-macam sama kamu. Lagipula untuk hal yang satu ini, Mama percaya kalau kamu gak bakal mengkhianati kepercayaan yang sudah kami berikan. Kalaupun dia macam-macam sama kamu, kita kan tinggal minta pertanggung jawabannya saja. Kalau Dheo gak mau tanggung jawab, kita tuntut orangtuanya. Gak susah kan? Yah kalau kamu memang gak mau tinggal sama Dheo, belum terlambat kok untuk ikut kami ke London. Mama masih bisa memesankan tiket untukmu pada teman Mama yang punya penerbangan ini.” Ujar Mama tenang, seakan seandainya aku dan Dheo married by accident pun gak jadi masalah buat mereka. Hal itu mungkin jauh lebih baik daripada mereka dipanggil ke sekolah gara-gara aku meninju Kepala Sekolah.     Ini dia!     Sudah dari tadi malam kedua orangtuaku membujukku untuk ikut mereka ke London. Bahkan mereka sampai menawariku hal-hal_yang mereka tau dengan pasti_sangat kuinginkan. Tapi itu tidak mungkin! Kalau aku ikut mereka ke London, terus gimana dengan Radith? Radith itu cowok yang aku sukai sejak SMP. Anaknya cakep, tinggi, dan ramah. Dan karena dia juga aku masuk ke SMA Dharma Yudha, tempat Dheo dulu sekolah, kalau enggak karena Radith, jangan harap aku mau masuk ke bekas sekolahnya Dheo. Pokoknya sebisa mungkin aku gak mau berhubungan dengan apapun yang ada sangkut pautnya dengan Dheo. Walaupun SMA Dharma Yudha adalah satu-satunya sekolah di Pekanbaru.     I hate him with all of my life.     “Ya udah deh, Ma. Dya setuju Dheo tinggal dirumah, tapi Kanidya juga tinggal di rumah kita yah? Biar Dya lupa kalau dirumah masih ada Dheo. Biar Dya gak kesal liat dia.” Putusku akhirnya.     “Itu sih terserah kamu. Kalau Kanidya mau, itu malah lebih baik, karena kalian akan lebih ramai tinggal di rumah. Yang jelas kalau nanti Papa sama Mama mendengar kamu buat masalah disini, Papa akan langsung jemput kamu. Dan Papa gak akan mendengarkan apapun alasan yang kamu berikan. Walaupun itu berarti kami akan membawamu dengan paksa ke London. Mengerti?” Ucap Papa tegas.     “Iya, Papa. Dya ngerti.” Sahutku malas sambil menatap jalan Sudirman yang cukup ramai pagi ini. Mama menoleh kebelakang, ”Kenapa kamu begitu gak suka dengan Dheo, Dya? Menurut Mama, Dheo itu sosok yang sempurna sebagai seorang anak. Dia gak pernah menyusahkan kedua orang tuanya. Dia juga dengan mudah dapat membuat kedua orang tuanya bangga. Mama yakin banyak sekali perempuan yang ingin menjadi kekasih Dheo. Apa yang kamu gak suka dari dia?” Tanya Mama akhirnya.     Aku menghela nafas panjang, ”Gak tau juga, Ma. Dya sebenarnya gak benci sama dia. Hanya saja Dya gak begitu suka liat semua tingkah laku dia yang sok sempurna. Padahal semua orang tau, kalaupun dia ada melakukan kesalahan, itu wajar. Dia cuma manusia, bukan malaikat yang sempurna. Tapi dia selalu mementingkan kesempurnaan dia di hadapan semua orang. Dya gak suka liat orang yang nge-sok gitu. Udah gitu dia cuek banget Ma sama Dya.” Jelasku.     Mama sama Papa gak ada berkomentar apapun mengenai jawabanku barusan. Kami sama-sama diam hingga tiba di bandara. Aku rasa penjelasanku barusan tidak mengubah apapun. Mama dan Papa masih tetap menyukai Dheo.     Setelah Papa dan Mama berangkat, aku pulang dengan mengemudikan mobil orangtuaku. Lihatkan kalau aku gak kekurangan apa-apa? Aku bisa nyetir mobil (kalau masalah aku berangkat sekolah yang ditakutkan orangtuaku), aku pernah ikut karate sewaktu SMP dan sekarag udah sabuk hitam (kalau masalah jaga diri yang mereka takutkan), dirumah jelas masih ada pembantu (kalau masalah makan yang mereka cemaskan), apalagi coba yang harus mereka khawatirkan? Yang kurang sama aku cuma kepercayaan. Kedua orangtuaku kurang percaya kalau aku bisa jaga diri sendiri. Yah, kalau melihat kejadian yang udah-udah, rasanya emang wajar kedua orangtuaku sangat mengkhawatirkan aku.     Pada dasarnya aku juga sih yang salah. Kalau gak salah, seingatku dulu waktu aku masih duduk di bangku kelas 5 SD, Mama dan Papa pergi ke Berlin karena ada telepon dari sana yang mengabarkan kalau Nenek dari pihak Papa jatuh sakit. Saat itu aku gak diajak karena sedang ujian kenaikan kelas. Saat selesai ujian, aku nekad membawa mobil Mama untuk hang out bareng temen SD dan eng ing eng.... Kami nabrak pohon, mobilnya rusak berat sementara itu aku masuk rumah sakit selama 3 minggu. Ya memang sih yang nyetir saat itu salah satu temanku yang berhasil meyakinkanku bahwa dia memang sudah bisa menyetir. Untung cuma nabrak pohon dan bukannya orang lain. Kalo sempat aja kami nabrak orang lain, gak tau deh apa yang terjadi. Aku bahkan belum cukup umur untuk mendapatkan SIM.     Papa yang mendengar kabar kalau aku tabrakan langsung pulang ke Indonesia meninggalkan Mama disana. Seminggu kemudian barulah Mama menyusul pulang dan aku dimarahi selama sisa hariku di rumah sakit. Mana udah gitu datang cowok yang ngaku-ngaku pernah dekat sama aku lagi. Ya walaupun kuakui dengan berat hati kalau cowok itu cakep. Anaknya cukup tinggi, kulitnya kuning langsat dan bersih. Dan aku curiga, di tempat dia bersekolah, pasti gak sedikit cewek yang naksir dia dan rela melakukan apa aja untuk mendapatkannya. Tapi tetap aja, kedatangannya membuatku tambah kesal aja. Aku sama sekali gak ingat pernah kenal cowok seperti dia. Lagian kalau memang dia kenalan aku, bahkan kami pernah akrab, gak mungkin dong aku bisa ngelupain keturunan adam yang perfect itu. Dan kalian tau siapa cowok itu? Yap! Dia Dheo. Sekarang sifatnya berbalik 180 derajat dengan pertama kali kami bertemu di rumah sakit itu.     Pada dasarnya kedua orangtuaku bukan orangtua yang otoriter. Mereka hanya terlalu menyayangiku karena hanya aku yang mereka miliki. Dan sebagai puncaknya, setelah berbagai kecelakaan yang aku alami, mereka tambah protektif terhadap keselamatanku. Tapi untuk beberapa hal, mereka cukup pengertian. Seperti aku bebas memilih sekolah mana yang aku inginkan, aku bebas memilih les dan privat dimana saja. Bahkan kalau aku gak mau les atau privat mereka juga gak masalah. Mereka memberiku kebebasan untuk memilih hal-hal yang menurut mereka, aku-lah yang harus menentukan, bukan ditentukan. Mereka selalu memberikan semua yang terbaik yang masih bisa mereka berikan untukku. Aku juga selalu sadar dalam memilih dan meminta. Sampai saat ini, aku belum pernah meminta hal yang gak bisa diberikan orangtuaku. Aku menyayangi mereka.     Sangat.    Sekarang gak ada jalan lain. Kanidya harus tinggal bersamaku. Kalau enggak.... Bisa-bisa sebelum meninggal aku udah ngerasain gimana rasanya neraka kalau cuma tinggal berdua dengan Dheo. Padahal, Dheo itu cuek banget sama aku, tapi Mama sama Papa selalu percaya sama Dheo.     Pernah dulu waktu aku masih SMP, Mama sama Papa lagi-lagi keluar negeri, dan meminta Dheo untuk menjagaku. Tahu gak apa yang terjadi saat itu? Waktu aku mau menyebrang jalan, ada mobil yang melaju ke arahku. Aku-nya udah shock duluan makanya jadi gak bisa gerak. Dan untungnya ada abang-abang yang nolongin aku. Tau gak saat itu Dheo lagi ada dimana? Dia ada di dalam mobil di seberang jalan, dan dia sama sekali gak bertanya apakah aku baik-baik saja atau enggak, padahal aku yakin banget kalau dia mengetahui kejadian itu. Dingin banget kan? Padahal kata Mama, waktu kecil kami akrab banget sampai umurku 8 tahun, saat itu umur Dheo sudah 11 tahun. Dheo pindah ke Singapore di usianya yang segitu karena Om Armand pindah tugas kesana, tapi 5 tahun kemudian dia balik dan....     Ya itu, sikapnya mulai berubah total. Hanya sama aku dia bersikap dingin. Kadang-kadang aku sering bertanya, apa ada hal yang seharusnya gak kulupakan tapi malah aku lupakan? Soalnya sejak kecelakaan sewaktu aku kelas 5 SD itu, ada beberapa keping kenangan yang hilang dari ingatanku. Dan aku juga sudah mencari semua benda yang dapat mengingatkanku dengan Dheo. Tapi benda itu gak ada satupun. Aku gak menemukannya dimanapun, diseluruh bagian rumahku. Seharusnya, kalau aku memang pernah sangat akrab dengan Dheo, setidaknya ada satu lembar saja photo kami berdua. Tapi kalau sekarang ditanya apa aku menyesal? Jawabannya_yang dapat kujawab tanpa berpikir lagi, kalau kenangan itu ada hubungannya dengan Dheo, aku gak menyesal. Tapi kalau gak ada hubungannya dengan Dheo, yah apa boleh buat. ***     “Akhirnya.... Sampai juga di kos Didi. Anak itu ada di rumah gak yah? Mudah-mudahan dia gak sekolah.” Ujarku sambil keluar dari mobil.     Aku udah sampai di kos Didi, panggilanku atau siapapun yang mengenalnya untuk Kanidya. Niatnya sih mau ngajak Didi tinggal bareng aku. Tapi aku juga belum yakin Didi mau apa enggak. Masalahnya kalau Didi tinggal bareng aku, itu berarti dia berangkat kerja sambilan ke tempat kerjanya jadi tambah jauh. Walaupun kami akhirnya bisa berangkat sekolah bersama. Yah, secara gitu, Didi tuh sekarang cuma tinggal sendiri. Kos-nya aja Mama yang bayar. Soalnya, kedua orangtuanya udah lama meninggal, dan sejak masuk SMA, Didi lebih memilih tinggal sendiri di kos, daripada tinggal bersama kami sekeluarga. Katanya sih biar mandiri dan gak mau merepotkan orang lain. Aku akui biaya sekolah di SMA Dharma Yudha gak murah. Untuk pengajar bahasa asingnya aja langsung didatangkan dari negara yang bersangkutan. Jadi aku sih ngerti-ngerti aja kenapa Didi gak mau terlalu bergantung sama keluargaku. Asyik juga kalau aku diperbolehkan untuk mengatur hidupku sendiri_dalam artian aku boleh tinggal di kos sendiri. Gak kayak sekarang, semua gak bisa, orangtuaku aja kurang percaya sama aku (kalau soal keselamatan). Seandainya aku bisa berubah menjadi Didi, akan kupergunakan waktu yang ada sebaik yang kubisa.     Aku membuka pagar kos dan memasukkan mobilku ke halaman. Setelah memastikan pagar kembali tertutup aku segera naik ke lantai dua tempat kamar kos Didi berada. Dengan mudah aku mengenali pintu kamar Didi yang terdapat gantungan strawberry bertuliskan Assallamualaikum. Aku mengetuk pintunya perlahan hingga mendengar jawaban.     “Tunggu sebentar....”sahut sebuah suara jernih dari dalam dan hanya semenit kemudian pintu itu terbuka.     “Lho, Dya? Lu gak sekolah?” Tanya seorang cewek cantik yang hanya mengenakan kaos longgar plus celana pendek, heran melihat kedatanganku ke kos nya, padahal dia sendiri juga gak sekolah.     “Hai...” Sapaku ringan, “Gw gak sekolah. Tadi habis ngantar Mama sama Papa ke bandara. Boleh masuk gak nih?” Tanyaku karena sepertinya Didi terlalu kaget sehingga lupa menyuruhku untuk masuk.     “Oh boleh kok.” Ujarnya cepat, ”Jadi ceritanya Om sama Tante pergi keluar negeri lagi yah? Kali ini sampai kapan?” Tanya Didi saat kami sudah duduk di kamarnya.     “Yep, betul. Tapi kali ini mereka menetap disana. Itulah alasan yang ngebuat gw pagi-pagi gini udah muncul di rumah lu. Lu pindah ke rumah gw ya? Itung-itung lu nemenin gw. Kan sepi banget tuh kalau cuma gw sama bik Umi aja yang tinggal. Bisa-bisa ntar rumah gw dibilang rumah hantu lagi.” Ucapku to the point.     “Pindah? Enggak ah! Pergi kerja jadi jauh atuh, Non. Mau berangkat jam berapa gw dari rumah lu? Jam 5? Ogah deh.” Tolak Didi cepat.     “Eh itu bisa diatur. Ntar biar gw yang ngantar lo pergi kerja.” Saranku     “Dya, sepupu gw yang lemot. Mikir dong sayang. Mana ada orang pergi kerja sambilan naik mobil? Apalagi waitress kayak gw. Bisa-bisa baru turun dari mobil gw langsung dipecat.” Ucap Didi geli.     “Lu kan bisa ngasi alasan yang kuat sama mereka. Bilang itu mobil teman kek, mobilnya tetangga kek. Apa susahnya nyari alasan sih, Di?”     “Tapi Dya, itu gak semudah yang kamu kira. Zaman sekarang, membuat orang percaya sama kita itu susah tau.”     “Ayolah, Di. Masa’ lu tega liat sepupu lu tersayang hidup dalam neraka pengawasan Dheo? Dheo loh, Di! Dheo! Dheo yang gak pernah ramah, Dheo yang gak pernah baik, Dheo yang gak pernah senyum walaupun disenyumin, Dheo yang gak pernah ngebalas sapa’an orang itu lho. Dheo yang terlalu sadar kalau dia menarik sampai selalu menebarkan feromonnya kemana-mana hanya dengan lirikan.” Bujukku sebisa mungkin.     “Ha ha ha.... Jadi Dheo lagi nih masalahnya? Lu bener-bener butuh bantuan yah?”     “Ya iyalah! Kalau enggak ngapain juga gw kesini. Please.... Tolongin gw. Kalau bukan lu, siapa lagi yang bisa nolongin gw?? Cuma lu cewek yang tahan sama pesona Dheo. Apa yang lu mau gw kasih deh.”     “Lu kok segitu gak sukanya tinggal bareng Dheo? Padahal tampang Dheo jauh lebih menjual dibandingkan Radith. Lu juga bisa pamer sama orang. Banyak lho untungnya kalau Dheo tinggal di rumah lu. Mana denger-denger, Dheo itu populer banget loh di kampusnya.” Goda Didi, ”Lagian lu sendiri kan juga tahan dengan pesona Dheo...”     “Tampang dia emang menang, tapi kalau soal pribadi, jelas Radith yang menang. Radith selalu ramah sama semua orang, gak pandang bulu, murah senyum. Eh, coba liat Dheo, gw yang gak ada salah apa-apa malah sering dipelototinnya, udah gitu kalau ngomong nyalak terus lagi, anjing tetangga aja gak pernah nyalak sama gw.” Gerutuku kesal. Entah pakai jampi-jampi apa dia sampai semua cewek pasti naksir dia.     “Lagian ya, jelas lah dia populer di kampusnya. Kampusnya cuma seupil doang di sebelah RS gak ada saingannya.”     “Ha ha ha... Itu berarti anjingnya naksir elu tuh.” Canda Didi, ”Ya..... Berhubung gw kasihan sama lu, bolehlah. Kalau gw gak salah dirumah lu ada motor nganggur kan?”     “Ada 2, kenapa?”     “Gw pinjam yah, buat berangkat kerja.”     “Oh, tentu. Semua punya gw juga punya lu kok. Jadi, apapun yang mau lu pakai, pakai aja. Gw belum     buat hukum resmi kok yang ngelarang orang-orang minjam barang-barang gw.”     “Thank’s banget. Ngomong-ngomong kapan gw mesti pindah?”     “Sekarang dong! Kalau besok kita udah sekolah. Mana sempat ngambil barang-barang lu. Bawa baju sekolah sama yang penting-penting aja. Yang lainnya l bisa pakai punya gw. Lebih cepat lebih baik, soalnya disebelah kamar gw ada kamar kosongnya. Lu harus menempati kamar itu sebelum Dheo duluan yang menempatinya.” Jelasku. “Lagian lu kok gak sekolah sih?”     “Gw lembur tadi malam, capek banget, jadi tadi izin sakit ke sekolah.” Sahut Didi cepat. “Emang kalau Dheo yang nempatin kenapa?”     “Wah... Lu nyuru gw mimpi buruk terus nih.”     Tanpa banyak protes seperti di awal, Didi langsung mengemasi barang-barang yang akan dibawanya. Satu jam kemudian kami sudah sampai di rumahku. Di rumah cuma ada Bik Umi sendiri. Didi belum sempat melihat kamarnya karena harus langsung berangkat kerja. Karena aku gak ada kerjaan lain, ya sekalian itung-itung balas budi, aku yang membereskan barang-barang Didi. Tapi ternyata saat aku masuk ke kamar yang seharusnya ditempati Didi itu, sudah ada makhluk yang berbeda jenis denganku yang hanya mengenakan handuk putih terlilit di pinggang sedang berdiri di depan kaca lemari sambil menyisir rambut dark brown-nya yang agak panjang itu.     KKKKKKKKYYYYYYYYAAAAAAAAAAAA” Teriakku sehisteris mungkin.     “Heh, diam!” Hardik sebuah suara bariton yang gak lain gak bukan adalah milik Dheo.     “Ngapain lu disini?? Terus apa maksudnya lu cuma pakai ‘itu’?” Ujarku ketus sambil menunjuk handuk yang dikenakannya di pinggang sehingga memperlihatkan tubuh bagian atasnya yang telanjang. Sumpah baru ini ngeliat dari deket d**a telanjang laki-laki. Dan...     WOW!     Ini benar-benar seksi! Ish, apa sih yang aku pikirin? Ini Dheo lho! Itu badan Dheo lho! Ya ampun! Gak sia-sia dia dapat darah Mexico neneknya. Semua yang ada di tubuh Dheo itu menarik perhatian.     Yasalam!     “Om Yoga sama Tante Denise gak bilang kalau gw bakal tinggal disini?” Tanya Dheo dingin. ”Dan lu gak tau ini apa?” Tanya Dheo sambil menunjuk handuk putih yang dikenakannya     “Bilang sih, tapi.... Ngapain lu milih kamar ini? Kamar lain kan banyak! Kamar ini kan mau dipakai sama Didi.”     “Ya udah. Kan udah tau, kenapa harus sehisteris itu sih? Berisik banget jadi cewek.” Jawab Dheo ketus, ”Dan masalah kamar, gw cuma suka kamar ini. Gw gak suka kamar yang lain, makanya gw ambil ni kamar. Gw rasa Didi juga gak keberatan kalau dia gak pakai kamar ini. Oh ya, lu bisa keluar gak? Gw mau pakai baju. Tapi kalau lu gak mau keluar juga gak masalah, gw gak keberatan kalau lu liatin. Tapi tolong tutup pintunya, lu gak mau berbagi tontonan sama Bik Umi kan? Bik Umi udah banyak pengalaman loh. Tapi gw yakin, kalau lu ngajak Bik Umi, dia juga gak bakalan nolak nonton pameran gratis.”     “Huh! Siapa juga yang mau liat lho pakai baju. Gw gak mau lama-lama disini! Bisa rusak mata gw!” Dengusku kesal sambil menghentakkan kaki dan berlalu keluar dari kamar itu. Kenapa sih dia mandi gak ngunci pintu?     Pamer?     ***     Sepertinya hidupku bakalan benar-benar kelam. Didi harus tidur di kamar tamu lantai satu karena kamar tamu yang seharusnya ditempati Didi sudah diambil alih makhluk paling menyebalkan di dunia! Sebenarnya Dheo itu cakep abis loh! Dadanya bidang (tadi keliatan sih) seperti yang kata orang six pack, kulitnya agak gelap dan bersih, rambut dark brown-nya lebih panjang dari rambut cowok seharusnya, mungkin rambutnya itu udah bisa diikat (untuk gak pernah kena pangkas gratis di kampusnya), wajahnya tampan dan kemampuan otaknya juga cemerlang (bukannya aku terlalu memuji dia, tapi memang itulah keadaan dia sebenarnya). Mungkin kalau sikapnya gak menyebalkan, dia udah saingan sama malaikat karena kesempurnaannya, dan tentunya aku pasti udah falling in love sama dia. Tapi ada bagusnya aku gak falling in love sama dia. Aku gak bisa ngebayangin gimana jadinya kalau aku sampai memuja dia.     Wah wah....     Gak kebayang deh. Pasti aku bakal kayak cewek-cewek di sekolahan. Rela ngantri di depan mobilnya hanya untuk ngasi dia coklat valentine. Ih... Gak banget deh. Belum ada di dalam kamus seorang Dya rela nunggu ujan panas di parkiran demi cowok.     Bagusan aku tidur karena besok aku sudah harus masuk sekolah, karena orangtuaku hanya meminta izin ke sekolah hanya untuk satu hari saja, daripada harus berdebat kembali dengan makhluk aneh nan arogan di kamar sebelah itu. Coba kalau bisa libur beberapa hari aja, aku seneng banget tuh. ***     Pagi ini mungkin adalah pagi yang paling menyebalkan sedunia! Gimana enggak coba! Aku tuh gak bisa bawa motor. Tapi yang ada di rumah malah cuma sepeda motor dan mobil Dheo. Mobil mama entah kenapa gak mau dihidupkan, sedangkan mobilku sudah sejak 2 hari yang lalu masuk bengkel gara-gara aku menabrak pagar rumah teman. Yang paling membuat aku tambah kesal adalah Didi sudah berangkat pagi-pagi sekali karena harus kerja sambilan sebelum sekolah. Dia harus ngambil koran dari penerbit dan mengantarkannya ke beberapa toko koran yang menjadi cakupan wilayahnya. Coba kalau dia gak kerja sambilan pagi, aku bisa berangkat sama dia. Sekarang mau gak mau aku harus minta tolong pada Dheo, pasang wajah ramah.         Mudah-mudahan dia udah bangun....     Aku naik lagi ke lantai dua, ke kamar Dheo. Pintu kamarnya terbuka dan kulihat Dheo sedang menelepon seseorang. Dia terlihat serius, dan demi semua makhluk ganteng, Dheo terlihat sangat ganteng pagi ini. “Dheo...” Danggilku pelan, tapi yang dipanggil malah menaruh jari telunjuknya di bibir sebagai isyarat tangan untuk diam.     Tuh kan! Ngeselin kan? Untung aja aku bener-bener butuh bantuan. Coba kalo enggak, udah pingsan dia aku lempar sepatu. “Iya.... Cuma kalau gw gak ada aja. Gw takut kalau dia kenapa-napa. Gw lebih peduli dengan keselamatannya dari pada keselamatan gw sendiri. Gimana? Bisa kan? Oke deh, thank’s guys!” Ucap Dheo mengakhiri pembicaraannya di telepon,”Ada apa?” tanya Dheo kemudian padaku.     “Anu.... Itu.... Mmmhhh.... Mobil mama gak mau nyala, lo tau sendiri mobil gw masuk bengkel dan gw juga gak mungkin naik motor, jadi lo mau gak ngantarin gw ke sekolah? Please...” Tanyaku sesopan mungkin dengan raut wajah sedikit memelas. Percayakan padaku untuk memasang wajah memelas.     Bahkan guru paling killer di sekolah tidak bisa menolak permohonanku kalau sudah memasang wajah andalanku itu. Malu sih, masa cewek cantik pasang wajah begitu. Tapi percayalah, dalam keadaan terdesak, apapun halal untuk dilakukan.     “Lo udah siap kan? Gw gak mau nunggu lama-lama, gw ada kuliah pagi, kita berangkat sekarang.” Ujar Dheo lalu mengambil tas ranselnya.     Untung banget dia ada kuliah pagi, jadi aku gak terlalu berhutang budi karena udah minta tolong padanya. Aku langsung berlari ke kamar mengambil tas dan menuruni tangga bersama Dheo, tapi tiba-tiba Dheo merebut tasku dan berjalan lebih cepat ke mobilnya. Saat aku sampai di bawah, Dheo sudah berada dalam mobilnya. Melihatku datang, Dheo keluar dan membukakan pintu mobil untukku. Akupun langsung masuk ke dalam sedan Cyan metaliknya yang_menurut pendapatku secara pribadi_sudah di utak atik di sana sini sehingga terlihat jauh lebih keren. Saat aku sudah masuk, tiba-tiba Dheo menjulurkan tangannya_ke tempat yang seharusnya bangku penumpang, tapi kini udah disulap menjadi tempat sound system_untuk mengambil kotak makanan.     “Nih makan! Kata Bik Umi elu belum sarapan. Gw gak mau disalahkan sama Om dan Tante kalau saat mereka pulang, putri semata wayangnya tambah kurus. Walaupun menurut gw, lu itu udah kurus banget nyaris nyamain tipisnya papan penggilesan. Makanya ga ada cowok kan lu sampe sekarang.” Ujar Dheo datar sambil menyerahkan kotak makanan itu padaku.     Ya Allah, Ya Rabbi… Jahat banget tuh mulut… Cobek mana sih? Pengen gw sumpelin ke mulut dia.     “Makasih.” Ucapku pelan, tanpa menanggapi kalimat terakhirnya yang benar-benar gak di saring Asal tau aja yah, aku gak kurus-kurus amat kok. Dengan tinggi 163, beratku sudah 63 kg. Itu udah kelebihan 5 kg dari berat ideal yang seharusnya. Jadi wajar kan kalau aku tersinggung dibilang mirip papan penggilesan? Bagian-bagian lain tubuhnya juga proporsional. Setidaknya dadaku cukup besar walau gak sebesar melon dan tidak juga rata.     Gak lama kemudian kami sudah di jalan raya. Dheo menyetir dengan tenang tapi dengan kecepatan yang gila-gilaan. Gak ada satupun gerakan mobil yang sia-sia, seperti mengerem mendadak ataupun membanting stir tiba-tiba. Dheo seperti sudah menyatu dengan mobilnya dan sudah sangat hapal jalur mobil di jalan raya itu. Dalam hitungan menit, kami sudah sampai di sekolah. Dheo memasukkan mobilnya sampai ke halaman sekolah. Setelah berhenti_dan asal tau aja, Dheo tuh berhentinya tepat di depan bangunan kelas aku_Dheo keluar dari mobil dan membukakan pintu buatku_jadi penasaran, apa dia selalu gini kalau sama cewek yah? Gentle banget. Tapi saat aku mau keluar, aku mengalami masalah dengan safety belt-nya. Aku harus berkutat dulu dengan safety belt sialan itu karena dia menolak untuk membuka.     “Kenapa?” Tanya Dheo heran melihatku gak turun-turun karena berkutat setengah mati untuk melepaskan safety belt mobilnya.     “Gak mau dibuka nih....” Jawabku jujur sambil menunjuk ke arah safety belt.     “Sini.” Ujar Dheo lalu membungkuk untuk membantuku membuka safety beltnya. Saat Dheo membantuku membuka safety belt, kepalanya begitu dekat sehingga wangi shampo yang dipakainya tercium olehku. Saat aku lagi asyik-asyiknya menikmati wangi shampo yang dipakainya dan sibuk memikirkan apa shampo yang dipakainya, tiba-tiba Dheo mendongak.     “Udah, tuh” Ucapnya tanpa ekspresi lalu kembali berdiri. “Udik banget sih lu.” Gumamnya dan dapat kudengar dengan jelas.     Sabar Dya. Sabar! Namun kekesalanku seketika hilang saat momen beberapa detik tadi kembali melintas di kepalaku. Otomatis mukaku langsung memerah seperti kepiting rebus. Karena walaupun cuma sesaat, saat Dheo mendongak tadi, bibirnya begitu dekat dengan bibirku. Akupun langsung mengucapkan terima kasih lalu keluar dari mobilnya.     “Eh, lu ntar pulang sama siapa?" Tanya Dheo cepat.     “Gak tau, mungkin naik angkot.” Jawabku asal. Walau sebenarnya aku juga belum pernah yang namanya naik angkot sendirian.     “Tunggu aja disini, ntar gw yang jemput.” Seru Dheo cepat lalu masuk kedalam mobilnya dan segera pergi.     Sepeninggal Dheo, aku berjalan memasuki kelas, tapi sepertinya aku melupakan sesuatu. Sesuatu yang sangat penting.     “DYAAAAA!!!!” Teriak para cewek di kelasku.     “Apa?” Tanyaku bingung melihat sikap mereka yang langsung saja, tanpa dikomando siapapun, langsung mengelilingi mejaku, membuat lingkaran manusia dengan rapi.     “Yang tadi itu Kak Dheo kan?” Tanya Nila, teman sebangku ku.     “He eh” Sahutku masih belum mengerti apa yang terjadi. Kutatap wajah mereka satu per satu.     “Beneran Dheo Anggara? Dheo Anggara yang itu? Kok bisa lo diantar sama dia?? Dia kuliah dimana sekarang? Udah punya cewek belum? Tinggalnya dimana? No hp-nya berapa? Ukuran bajunya? Sepatunya? Makanan favoritnya? Minumannya?” Tanya Ikke cepat kayak petasan, cewek yang paling sok cantik_dan emang terbukti cantik_di kelas.     AHA!!     Aku ingat sekarang! Dheo adalah alumni sekolahku yang merupakan satu-satunya siswa yang mendapat julukan Prince of The End Century. Gila kan julukannya? Kayak yang punya julukan bakal ngasi hadiah gede aja kalau mau muji-muji dia. Lagipula, kenapa harus pakai julukan segala? Dheo kan punya status yang sama dengan seluruh siswa yang ada di sekolah. Walaupun gak bisa disangkal kalau Dheo itu amat sangat populer sekali di kalangan penghuni sekolahku_malah denger-denger gak cuma disini aja di ngetopnya, tapi hampir di seluruh SMA sekota-ku. Bahkan guru-guru perempuan ada yang pernah ngajak Dheo kencan!     Gimana gak populer coba. Dheo itu pinternya gak ketolongan deh, otaknya muter lebih cepat daripada puteran ban mobil F1, udah gitu dia tajir, cakep, cool lagi dan kedudukan dia selama di SMA lah yang membuat dia terkenal gak hanya disekolahan, bahkan sampai ke seluruh SMA di Pekanbaru. Dheo adalah Ketua dari Dewan Siswa di SMA Dharma Yudha yang mempunyai ruang kerja sendiri. Dan ruang itu sampai sekarang gak pernah lagi dipakai, karena gak ada satupun dari penerus Dheo yang menyamai prestasi Dheo dalam membawa nama sekolah sampai ke tingkat Internasional. Denger-denger sih katanya_dari berbagai sumber yang entah bisa dipercaya atau enggak_asal pinter cari muka di depan dia, Dheo bisa jadi orang paling perhatian sedunia. Sempurna banget kan?? Aku aja sampai bingung, kok ada yah orang yang perfect kayak dia? Eh ralat!! Dheo gak perfect kok! Anaknya gak asyik. Terutama sama gw.     “Dheo tinggal di rumah untuk sementara, soalnya orangtua gw keluar negeri lagi. Kalau gw gak salah nih, Dheo kayaknya belum punya pacar deh tapi gak tau juga yah.” Jawabku sambil meng-flash back pembicaraan Dheo tadi pagi di telepon.     Sepertinya dia minta tolong sama seseorang untuk menjaga seseorang yang dicintainya. Ada ya, yang tahan sama Dheo? Aku jadi penasaran, siapa sih yang ingin Dheo jaga sampai harus meminta orang lain menjaganya kalau dia gak ada. Pasti orang itu spesial banget. Jadi pengen tau... Siapa sih cewek yang bisa membuat Dheo jatuh cinta?     “Dia kuliah di Fakultas Kedokteran. Dan untuk hal-hal pribadi yang kayak kalian tanya tadi, sumpah, gw gak tau. No hp-nya aja gw gak tau.” Ujarku sebiasa mungkin.     “Mana boleh kalian tinggal serumah!” Ujar beberapa cewek bersamaan, kompak gitu, kayak paduan suara. Ingatkan aku untuk mendaftarkan mereka pada klub paduan suara.     “Yang bilang mereka cuma tinggal berdua siapa?” Sela Didi sangat tiba-tiba dari jendela di koridor. Membuat semua kepala yang tadi terfokus padaku, dengan spontan langsung menatap Didi.     “Maksudnya?” Tanya Ella yang duduk pas di dekat jendela koridor.     “Di rumah Dya kan masih ada gw sama Bik Umi.” Jelas Didi     “Tapi kan sama aja! Dheo gak punya hubungan apa-apa sama kalian! Mana boleh kalian tinggal serumah! Cewek sama cowok yang gak ada hubungan apa-apa gak boleh tinggal serumah.” Tukas Ikke sewot karena gak suka cowok impiannya tinggal satu atap bareng cewek lain.     “Jangan mentang-mentang lo dinobatkan jadi Princess Dharma Yudha 2 tahun berturut-turut lo bisa seenaknya tinggal bareng cowok. Lo pasti bakal kena hukuman dari sekolah!” Seru Nania, cewek yang tempatnya sebagai cewek terpopuler di Dharma Yudha direbut Didi.     “Masalah itu tanya langsung sama Dheo aja yah! Dia kok yang mau tinggal di rumah gw, bukan gw yang minta, gw malah bersyukur banget kalau diantara kalian ada yang bisa membuat Dheo, dengan keinginannya sendiri buat pindah dari rumah gw tanpa harus gw yang nyuruh, dan tolong jangan tanya-tanya tentang Dheo ke gw, gw gak tertarik sedikitpun dengan semua hal yang berbau Dheo.” Ujarku mengakhiri pembicaraan karena pada saat yang sama bel masuk berbunyi.     Gerombolan cewek pecinta berat Dheo itupun langsung membubarkan diri. Emang sih watu kami baru masuk ke SMA ini, saat itu Dheo baru tamat. Jadi kami memang gak begitu tau mendalam tentang dia. Aku malah bersyukur banget gak pernah bareng Dheo. Tapi yang aku benar-benar salut dari Dheo, dia jelas baru saja menamatkan sekolahnya, namun Dheo sukses membuat hampir semua anak kelas satu berani alias nekad buat ‘nembak’ dia. Dan sepanjang pengetahuanku, gak seorangpun dari mereka yang diterima Dheo. Soalnya mereka bilang kalau Dheo ngomong gini sama mereka...     “Maaf... Saat ini aku masih menunggu seseorang. Aku gak bisa menerima perasaan kalian sampai aku memastikan kalau hati cewek itu memang bukan buatku. Aku akan menunggu dia kembali ke sisiku. Sampai kapanpun... Karena itu, aku gak mau nyakiti kalian dengan menerima ajakan kalian untuk pacaran, walaupun hanya seminggu...” *** 16 tahun yang lalu...     Disebuah kamar di sebuah rumah sakit swasta...     “Wah wah... Kelihatannya Dheo beruntung banget yah? Baru umur 3 tahun dia sudah punya calon mempelai perempuan.” Ujar seorang wanita cantik yang lagi menggendong anak laki-lakinya yang berumur 3 tahun.     “Kamu benar, Nia. Coba anak yang kulahirkan ini laki-laki. Dheo bukannya punya mempelai perempuan, tapi dia cuma punya seorang saudara laki-laki. Dan aku yakin pasti akan terus terjadi keributan setiap harinya. Aku gak bisa membayangkan barang-barang apa saja yang bakalan pecah di rumah. Dan seberapa banyak laporan tetangga yang menyatakan kalau mereka berdua sudah mengganggu ketertiban.” Sahut wanita lain dengan suara lemah yang saat itu terbaring di tempat tidur karena baru saja selesai melahirkan beberapa jam yang lalu.     “Kalian sudah punya rencana untuk nama anak ini?” Tanya wanita yang diketahui bernama Nia itu. Seorang pria mengeluarkan beberapa gulung kertas yang bertuliskan calon nama anaknya, ”Sudah, tapi kami masih bingung memilih yang paling tepat. Kami berdua sudah menyiapkan lebih dari sepuluh nama untuknya.” Sahut Yoga sambil menunjukkan gulungan kertas itu pada Nia.     “Gimana kalau Dheo saja yang disuruh memilihnya, Pa? Kan nantinya dia yang akan menjaga anak kita.” Saran wanita yang berada di tempat tidur.     “Ide bagus, sayang.” Ujar pria itu sambil tersenyum lalu menyodorkan semua gulungan kertas itu pada anak laki-laki yang di gendong Nia.     “Dheo... Ambil kertasnya, sayang.” Ujar Nia lembut yang langsung dituruti oleh Dheo. Dheo mengambil sebuah gulungan yang kemudian langsung di ambil lagi oleh Nia. Nia membuka gulungan itu dan membaca nama yang tertulis disana dengan cukup jelas.     “Laudya Avera.”     “Baiklah, sudah diputuskan, nama anak ini adalah Laudya Avera”     “Aku suka namanya” Ujar wanita yang terbaring di tempat tidur itu dengan senyum bahagia menghiasi wajahnya.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Suamiku Calon Mertuaku

read
1.4M
bc

Married with Single Daddy

read
6.1M
bc

Possesive Ghost (INDONESIA)

read
121.4K
bc

Mrs. Rivera

read
45.5K
bc

Mrs. Fashionable vs Mr. Farmer

read
422.5K
bc

Om Bule Suamiku

read
8.8M
bc

Enemy From The Heaven (Indonesia)

read
60.7K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook